Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

August 18, 2010

KONSELING LINTAS BUDAYA: PRESPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA

Banyak hal saat ini dikendalikan oleh pemahaman tentang perubahan cepat menuju masyarakat multirasial, multikultural, dan multigual (Sue, 1991; Sue & Sue, 1990). Masa lalu masarakat berpola dengan cara pandang utama monokultural dan monoligual dan telah menjadikan “encapsulated counselor” (Wrenn, 1962)
1. Diversifikasi Amerika
Sensus amerika tahun 1990 (the 1990 U.S. sensus) mengungkap saat ini amerika berbeda dalam perubahan demografi yang radikal. Tren populasi ini disebut sebagai “diversitifacation of Ameica” sebagai akibat dari (a). Pola imigrasi saat ini dan (b). Perbedaan rentang kelahiran antara kulit putih dan ras serta etnis minoritas lain. Saat ini imigran terdiri dari keturunan Asia (34%), Latino (34 %) dan selebihnya ras lain, populasi yang tumbuh tercepat adalah penduduk Amerika keturunan Asia yang berkembang mendekati 80% pada tahun 1980an. Semetara Latino telah mencapai 55 juta dan akan menjadi populasi terbesar dalam 2025, sementara itu angka kelahiran kulit putih menurun dan lebih kecil dibanding ras dan etnis lainnya (White American = 2,9; African Americans = 2,4, Mexican Americans = 2,9; Vietnamese = 3,4; Latians = 3,6; Cambodians = 7,4; dan Hmongs = 11,9/per ibu).
Implikasi pertumbuhan ini berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan sosial termasuk ketenagakerjaan yang diwarnai latar belakang ras dan etnis yang berlainan. Para pendidik dan konselor akan menghadapi realita demografis didalam kerjanya.

2. Kenyataan Pelatihan Model Monokulltural
Beberapa literatur menyatkan bahwa pendekatan dan teknik konseling tradisional tidak efektif diterapkan pada ras dan etnis monoritas penduduk di Amerika (Bernal & Padilla, 1982, dkk). Profesional konseling memahami ras, kultur, dan etnik sebagai fungsi dan bukan dibatasi “hanya pada minoritas” tertentu saja. APA (Americans Psychologist Association) telah memberikan sinyal harapan dengan nilai memproses revisi anggaran rumah tangga dan etika dasar (Bylaws dan Ethical Priciples) untuk merefleksi perbedaan budaya. Pada musim semi 1990 sub komite budaya dan perbedaan individu telah me-review Criterion II of APA “Criteria for Accreditation” hasilnya mengambarkan bahwa multibudaya merupakan hal yang tidak terpisahkan, harus dikembangkan dan berbeda dalam seluruh program pelaksanaan.
3. Realitas Sosial Politik
Profesi konseling seringkali merefleksikan nilai-nilai masyrakat luas (Kats, 1985; Sue & Sue, 1990). Beberapa refrensi menyebut konseling sebagai “tangan utama status quo” dan “penyabung nilai-nilai masyarakat”. Hal ini mengidikasikan bahwa konseling memiliki potensi dalam sosial politik yaitu:
a. Cara pandang konselor dan klien terhadap dunianya pada akhirnya terkait dengan sejarah dan pengalaman terkini tentang rasisme dan tekanan AS (Atkinson, Morten & Sue, 1989, dkk)
b. Para profesional konseling perlu memahami bahwa pelaksanaan konseling tidak terpisah dengan peristiwa-peristiwa besar di masyarakat

4. Penelitian dan konsep tentang multikultural
Sistem nilai-nilai kelas menegah para kulit putih, seringkali terefleksi dalam penelitian konseling dan psikologi tentang ras dan etnis minoritas. Berdasar sejarah terdapat tiga model yang cukup hangat dalam mengkonseptualisasikan penelitian bertemakan ras dan bahasa kaum minoritas (Casas, 1987; Katz, 1985; Ponterotto, 1988; Sue & Sue, 1990). Pertama tentang inverioritas dan pathological. Premis dasar menyatakan bahwa para minoritas lebih rendah tingkat evolusioner-nya, (lebih primitiv) dan patologis dari pada kaum kulit putih, model kedua menyatakan para kulit hitam, ras, dan minoritas lain tidak cukup secara biologis dibandingkan dengan kulit putih. Sementara kaum minoritas lebih rendah secara biologis dan genetis, ketiga model penurunan budaya, yang menyatakan para ras dan kaum minoritas tidak memiliki “budaya yang bener”
Dalam sepuluh tahun terakhir, konsep-konsep baru berbeda model, muncul dalam literatur, seringkali muncul seperti: culturally different model (Katz, 1985; Sue, 1981), multicultural model (Johson, 1990), Culturally pluralistik model atau Culturally diverese model (Pototerotto & Cassas, 1991), model-model baru ini membuat beberapa asumsi:
a. Pertama keyakinan bahwa pendekatan budaya tidak sama dengan Deviancy, pathologi, atau inveriority.
b. Rasial dan minoritas etnis adalah bicultural dan berfungsi dalam dua kontek budaya yang berbeda
c. Bilcultural dipandang sebagai kualitas positif dan diharapkan memperkaya potensi kehidupan dalam segala lapisan
d. Individu-individu dipandang dalam hubungannya dengan lingkungannya dan kekuatannnya dan kekuatan sosial yang lebih besar, daripada secara individual atau kelompok minoritas


5. Isu-isu etika
Para fropesional tampa latihan dan kompetensi kerja dengan klien dengan latar belakang budaya berbeda, adalah tidak etis, jika percaya bahwa pandangan multikultural dapat dipandang sebagai malajustment dalam masyarakat yang pluralistik (Szapoeznic, Santisteben, Durtines, Pres Vidal & Hervis, 1983). Konselor yang tidak sadar akan basis perbedaan yang terjadi antara individu dan budayanya, akan menyalahkan karakteristik-karakteristik negatif dari suatu budaya, diperlukan kesadaran tentang kondisi konselor, kondisi kliennya, dan sistem sosial poliik agar konselor tidak terjebak dalam praktek yang tidak etis dan berbahaya.

B. KOMPETENSI DAN STANDAR KONSELING LINTAS BUDAYA
Jelaslah bahwa kebutuhan konseling lintas mudaya diperlukan dan sangat penting terkait penerapan etika dan kebutuhan kerja profesional konseling
1. Kompetensi konselor litas budaya
Sue & Sue (1990) mengorganisir karakteristik konselor dalam tiga dimensi:
a. Konselor yang berketarampilan budaya adalah seorang yang aktif berproses menjadi sadar terhadap anggapan-anggapannya tentang tingkah laku manusia, nilai-nilai, bias-bias, keterbatasan pribadi, dan sebagainya
b. Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif memahami pandangannya terhadap perbedaan budaya klien tampa penilaian yang negatif
c. Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif dalam proses pengembangan dan menerapkan secara tepat, televan, dan sensitif menggunakan startegi dan keterampilan intervensi sesuai dengan perbedaan budaya klien

2. Dimensi Kompetensi Kultural
Kompetensi konseling lintas budaya terbagai atas tiga dimensi yaitu: (a) Keyakinan dan sikap, (b). Pengetahuan, (c). Keterampilan (Carney & Kahn, 1984; Sue, 1982). Penjelasan dari tiga dimensi tersebut adalah:
a. Keyakinan dan sikap konselor terhadap ras dan etnis minoritas, kebutuhan meneliti bias-bias dan steriotipe, pengembagan menuju orentasi positif multikulturalisasi, nilai-nilai dan bias-bias konselor yang menghalangi efektifitas konseling lintas budaya
b. Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap cara pandangnya sendiri, memiliki pengetahuan khusus tentang budaya kelompok partner kerjannya, memahami pengaruh sosiopolotik
c. Memiliki keterampilan khusus bekerja kelompok minoritas


3. Kompetensi-kompetensi konseling litas budaya: sebuah kerangka kerja konseptual
Pembahasan kompetensi konselor lintas budaya dikembangkan atas kemungkinan 3 karakteristik X 3 dimensi sebagai dasar matrik pengembangan, dalam tiga karakteristik tersebut memiliki tiga dimensi dengan demikian secara keseluruhan terdapat sembilan kompetensi konselor litas budaya, untuk lebih jelas sebagai berikut:
a. Kesadaran konselor terhadap asumsi-asumsi, nilai, bias-biasnya sendiri
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya harus mengubah ketidaksadarannya menuju kesadaran budaya serta cukup sensitif terhadap warisan budaya sendiri untuk menilai dan menghormati perbedaan-perbedaan
- Konselor lintas budaya menyadari bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman, sikap, nilai-nilai, dan bias-bias berpengaruh pada proses psikologis
- Konselor lintas budaya dapat mengenali keterbatasan kompetensi kliennya
- Konselor lintas budaya menikmati perbedaan dirinya dengan klien mencakup ras, etnis, budaya, maupun kepercayaan
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus tentang rasial, warisan budaya, dan bagaimana hal tersebut secara pribadi dan secara profesional mempengaruhi pengertian-pengertiannya, bias-bias normalitas-abnormalitas, serta proses konseling
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana tekanan, rasial, deskriminasi dan striotipe mempengaruhi pribadi dan kerjanya
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dampak sosialnya berpengaruh pada orang lain. Mereka tahu tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gayanya bertentangan atau menunjang proses konselingnya, dan tahu bagaimana mengantisifasi akibat-akibatnya pada orang lain
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya mencari bidang pendidikan, konsultasi, dan pengalaman pelatihan dalam memperkaya pemahamannya dan efektifitas kerjannya dalam populasi budaya yang berbeda. Untuk mengenali keterbatasan kopetensinya mereka harus: berkonsultasi, studi atau latihan lanjutan, menjadi lebih berkualifikasi, terlibat dalam tiga aspek tersebut
- Konselor lintas budaya secara konstan mencari pemahaman dirinya sebagai rasial, berbudaya dan secara aktif mencari identitas non rasial

b. Pemahaman cara pandang terhadap perbedaan budaya klien
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik lain yang terbukti murugikan proses konseling
- Konselor litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi rasial dan kelompok minoritas lainnya
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
- Konselor lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan ketidaktepatan pendekatan konseling
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
- Konselor lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar seting konseling

c. Pengembangan strategi intervensi dan teknik-teknik yang tepat
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya menghargai keagamaan dan keyakinan klien serta keyakinan dan nilai-nilai fungsi-fungsi fisik dan mental
- Konselor lintas budaya menghormati praktek-praktek bantuan pribumi menghormati jaringan bantuan intrinsik masyarakat minoritas
- Konselor lintas budaya menghormati ke-dwibahasaan dan tidak memandang bahasa lain sebagai halangan untuk konseling
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang jelas, eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi dan bagaimana jika dia bertentangan dengan nilai-nilai budaya dari berbagai kelompok minoritas
- Konselor lintas budaya sadar akan hambatan secara lembaga yang menghambat para kaum minoritas memanfaatkan layanan kesehatan mental
- Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan tentang potensi bias alat-alat pengukuran dan menggunakan prosedur, mengiterprestasi temuan berdasar budaya dan karakteristik bahasa klien
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga para minoritas, herarki, nilai-nilai, dan keyakinan
- Konselor lintas budaya sadar akan relevansi perbedaan praktek-praktek pada tingkat sosial dan komunitas tertentu yang memungkinkan mempengaruhi kesejahteraan psikologis populasi yang mendapat pelayanan
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya memiliki keterampilan dalam berbagai macam respon verbal maupun nonverbal, mereka dapat mengirim dan menerima respon verbal maupun non verbal secara akurat dan tepat. Dia juga dapat mengatisipasi akibat negatif keterbatasan dan ketidaktepatan cara/gaya bantuannya
- Konselor lintas budaya dapat melatih keterampilan intervesi secara lembaga atas nama kliennya. Mereka dapat membnatu klien menentukan masalah mana yang bersumber dari rasisme, atau bias-bias lain, sehingga klien secara tidak tepat menyalahkan dirinya
- Konselor lintas budaya tidak menentang untuk mencari konsultasi secara tepat dengan para penyembuh tradisional, para religius, para pemimpin agama, para praktisi, dalam proses tretmennya pada klien yang berbeda budaya
- Konselor lintas budaya bertanggung jawab atas interaksi dalam bahasa-bahasa yang diminta klien; hal ini juga memungkinkan reveral ke pihak luar secara tepat. Permasalahan yang sering muncul adalah konselor tidak memiliki kemampuan bahasa sesuai dengan klien. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan: 1) mencari terjemah yang memiliki pengetahuan bahasa dan latar belakang profesi yang tepat, 2). Menunjuk konselor yang cakap dalam dwibahasa
- Konselor lintas budaya memiliki keahlian dalam menggunakan intrumen testing dan pengukuran tradisional
- Konselor lintas budaya dapat menghadirkan dan juga menghilangkan bias, prasangka, dan praktek-praktek diskriminasi
- Konselor lintas budaya bertanggungjawab membelajarkan klien dalam prose intervensi psikologi seperti tujuan, harapan, keabsahan, dan orentasi konselor.

C. Pendekatan Emic dan Etic
Konselor litas budaya memasukkan pendekatan informal adalah mengunakan kontributor terhadap konseling lintas budaya yaitu berusaha menyampaikan pengharapan conseli tentang latar belakang budaya berbeda, dengan mendorong kesadaran untuk menetralkan masalah dalam memperoses konseling lintas budaya bagi pengalaman klien. Konselor yang berorentasi emic dihasilkan berdasarkan konsep, dan pendekatan yang indigen terhadap budaya, sedangkan konseling berorentasi etik didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan antara budaya adalah kuantitatif dan konsep dasar diaplikasikan
Apa yang hendak didorong pengarang adalah pergeseran dari pandangan etic kepada emic, dan sebaliknya, melalui improvisasi dan pencampuran kreatif dua perspektif tersebut, kadang-kadang dengan mengintegrasikannya ke dalam konseptualisasi dan teknik. Orientasi yang mereka sampaikan menunjukkan tarik menarik dengan formulasi Berry (1969)

D. TEKNIK VERSUS HUBUNGAN
Generalisasi secara tentatif menyatakan bahwa hubungan variabel-variabel lebih kuat ketika ditransfer antar budaya daripada dalam teknik khusus, seperti yang disampaikan oleh refleksi perasaan, menonjol dan populer pada waktu itu. Beberapa pengarang menggabungkan pengakuan pentingnya ‘fleksibilitas teknik,... sensitivitas pribadi dan keterbukaan terhadap intervensi aktif dan langsung’ (Draguns, 1976), Untuk membantu konselor mengimplementasikan prinsip-prinsip umum ini, berikut disampaikan :
Dalam mengadaptasikan teknik (misalnya level aktivitas umum, mode intervensi verbal, konteks remark, nada suara) dengan latar belakang budaya dari klien; penerimaan komunikasi dan penghargaan klien dalam bentuk makna dan kepintaran di dalam kerangka budaya dia sendiri; dan keterbukaan terhadap kemungkinan intervensi langsung dalam kehidupan klien daripada etos tradisional yang ditentukan atau dibolehkan oleh konselor.

E. KONSELING BUDAYA SEBAGAI PROSES PEMBELAJARAN BILATERAL
Kontributor edisi pertama Konseling Lintas Budaya mengakui bahwa Konseling Lintas Budaya melibatkan pengalaman pembelajaran bilateral di mana baik konselor ataupun klien berpartisipasi, dan di mana keduanya terpengaruh, klien memperoleh perubahan menguntungkan. Namun kontak dan interaksi budaya di secara pribadi bermanfaat dan secara emosional mengisi hubungan, karakteristik pengalaman konseling selalu mempengaruhi konselor dengan baik. Pertama, terdapat pengalaman perbedaan yang tidak dapat dihindari. Dari ini seringkali terdapat reaksi yang sulit dan kadang-kadang menyakitkan, pikiran terbuka dan konselor perseptif dapat belajar banyak tentang dirinya dan pandangan mereka tentang budaya lain. Dalam proses tersebut, mereka dapat meningkatkan sensitivitas dan kompetensi lintas budaya.
Sebuah keuntungan insidental bagi konselor konseling lintas budaya ditemukan dalam pandangan klien yang menyampaikan pengalaman subyektif tentang budaya lain

F. KONSELING LINTAS BUDAYA SEBAGAI USAHA BERORIENTASI MASA DEPAN
Prince (1963) telah pergi ke Nigeria dan membawa kembali dua kesimpulan penting: berdasarkan irrelevansi teknik terapi barat yang tidak dimodifikasi dan tentang efektivitas intervensi pribumi (indigenous). Torey (1972) telah menyampaikan kasus untuk mengidentifikasi isi efektif psikoterapi dalam non barat tradisional dan psikoterapi Euro-American, Konsensus dalam bidang tersebut menekankan kesulitan-kesulitan lintas budaya dalam intervensi terapi (Wintrob 1976; Wohl 1976).




DAFTAR RUJUKAN

Pedersen, P.B. 1991. A conceptual framework. Journal of Counseling and Development. Vol 70. No 1. hal 5.
Pedersen, P.B. 1991. Multiculturalisme as a generic counseling and development. Journal of Counseling and Development. Vol 70. No 1. hal 6-12
Pedersen, P.B.; Draguns, J.G.; Lonner, W.J. dan Trimble, J.E. 2002 Counseling Across Cultures. 5th Edition. London: Sage