Salah satu
kasus yang paling sulit yang pernah saya hadapi adalah ketika menghadapi
keluarga Meksiko Amerika di Kalifornia. M. Fernando adalah seorang pria berusia
56 tahun dan baru saja migrasi ke Amerika Serikat. Dia menikah dengan wanita
berusia 35 tahun yang bernama Refugio. Mereka dikaruiai 10 orang anak. Empat
anak yang hidup dengan mereka, 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Fernando
dilahirkan disebuah desa kecil di Meksiko hingga 3 tahun lalu dia pindah ke
kalifornia. Dia tidak mengenal banyak tentang Kalifornia. Dia dating ke
Kalifornia selama musim panen.
Keluarga
Fernando menyewa sebuah rumah tua, kecil, tidak bercat di lingkungan yang
kumuh. Mereka tidak memiliki mobil, dan angkutan umum tidak yang lewat jauh
dari rumahnya. Sementara kehidupan mereka di bawah standar kemiskinan. Namun
kehidupan mereka masih lebih baik dari keluarga mereka di Meksiko,
Komplain yang
dihadapinya adalah dia mendengan suara yang tidak menyenangkan. Bahkan ada
oaring yang mengancam akan membunuhnya dan sesuatu yang buruk lainnya yang
bakal terjadi. Dia menjadi takut untuk meninggalkan rumah, kondisi kesehatannya
yang menurun, dan akhirnya tidak punya pekerjaan.
Ketika
keluarga Fernando memasuki klinik, saya diminta
menemui mereka karena therapist yang paham bahasa mereka sedang sakit. Saya
berharap Fernando dan Refugio dapat berbahasa Inggris. Untunglah 2 dari anak
tertua mereka mengetahui bahasa Inggris. Sepertinya yang lebih muda lebih fasih
bahasa Inggrisnya. Saya dapat menangkap bahawa mereka agak keberadaan anak
kedua mereka. Akibat yang terjadi adalah komunikasi yang kami lakukan menjadi
terhambat. Sehingga pada akhirnya anak mereka dapat dihadirkan kembali.
Dari
perbincangan kami pada sesi pertama, saya mendapat gambaran bahwa Fernando
sangat terancam. Dia nampak ketakutan, tensi, dan mungkin berhalusinasi. Saya
menyarankan kepada Refigio untuk membantu suaminya, tetapi dia nampak
keberatan. Saya dapat merasakan kekawatiran dan ketakutan sang istri tentang
suaminya. Saya mengatakan untuk datang kembali pada minggu berikutnya. Refugio
mengatakan ini menjadi sulit karena Fernando takut meninggalkan rumah.
Saya mengatakan kepada
Fernando,”Fernando, saya tahu betapa beratnya masalah ini bagimu untuk dating
kemari, namun kita sangat ingin membantumu. Bagaimana, bisa datang sekali lagi?
Dr. Escobedo (terapist penerjemah) akan menemani kita secara langsung.”
Keluarga
Fernando tidak kembali lagi pada sesi berikutnya. Ketidakhadiran mereka sangat
mengganggu saya. Sejak saat itu saya berbicara dengan para beberapa ahli
psikologi Latin yang mempunyai pemahaman multi budaya. Saya bekerja dengan para
psikolog Latin dengan harapan Fernando datang di tempat praktek kami.
Contoh di
atas menggambarkan pentingnya pemahaman multibudaya untuk menjawab serangkaian
pertanyaan:
- Apakah kesalahan yang serius bagi terapis untuk menemui keluarga Fernando ketika dia tidak bisa bahasa Spanyol?
- Sementara akan menjadi ide yang baik untuk mengikutsertakan salah satu dari anak mereka untuk sebagai penerjemah, apakah membantu kesenjangan budaya? Apakah dia dapat menafsirkan? Kendala apa yang bakal terjadi?
- Terapis mencoba melakukan pendekatan informal. Apakah ada pengaruh apabila terapis memanggil nama pertama mereka atau nama kedua mereka?
- Terapis melihat kasus Fernando adalah masalah serius. Penjelasan yang bagaimana yang dia harapkan?
- Mengetahui bahwa Fernando menghadapi permasalahan dalam meninggalkan rumah, haruskah terapis mempertimbangkan treatmen lain? Jika benar, apakah itu?
Menjawab
pertanyaan diatas sangat sulit untuk dipecahkan. Tantangannya adalah a)
memahami nilai budaya, kehidupan budaya klien yang berbeda; b) membebaskan
mereka dari kondisi budaya tentang apa yang mereka percaya untuk mendapatkan
terapi yang benar; c) mengembangkan sensifitas budaya terhadap klien; dan d)
memainkan peranan baru dalam proses membantu. Tiga factor yang menjadi hambatan : kesenjangan social, kesalahpahaman
bahasa, dan kesenjangan budaya.
Pertama,
reaksi Fernando yang berlebihan dan halunisasinya diakibatkan beberapa hal. Ada kemungkinan alasan
sosio politik, budaya, atau bilologi. Apakah ketakutannya disebabkan oleh
deportasi, kreditor, atau polisi? Beberapa penelitian menunjukkan factor budaya
menjadi alas an yang masuk akal ketika masyarakat yang berbahasa Spanyol
menghadapi suara atau melihat peristiwa. Kemungkinan yang lain adalah kehidupan
kerja Fernando.
Lebih lanjut,
praktek kesehatan mental menggambarkan sebagai aktivitas kelompok Putih kelas
menengah yang berjuang dalam melawan kemiskinan. Sebagai contoh, keluarga
Fernando tergolong miskin. Mereka tidak memiliki mobil, angkutan tidak lewat
dekat rumahnya. Klien miskin mengalami kesulitan untuk mendapat bantuan
psikologi, selain karena sesi yang tidak menyenangkan juga karena biaya yang terasa
mahal.
Kedua,
hambatan bahasa menjadi kendala yang dihadapi klien. Klien harus menyampaikan
fikiran dan perasaan mereka dalam bahasa lisan. Permasalahan selain pengguaan
bahasa Inggris yang standar, juga kendala dalam aksen dan pengucapan. Peenggunaan
penerjemah bisa menjadi solusi dalam bahasa namun apakah penerjemah dapat
menyampaikan dengan akurat dan menafsirkan makna yang disampaikan klien?
Ketiga,
permasalahan budaya nampaknya menjadi masalah dalam kasusnya Fernando. Terapis
kesulitan memanggil nama klien dangan Pak M atau Fernando. Pada budaya Negara
yang satu, memanggil nama pertama menunjukan keakraban, namun di tempat lain
dianggap tidak sopan.
Mari kita
lihat contoh lain untuk lebih memahapi hambatan multi budaya dalam
konseling/terapi.
Beberapa tahun yang lalu saya diminta membantu seorang
panitia pelayanan mahasiswa di sebuah universitas negeri untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang dapat menjadikan layanan mereka lebih relevan pada kelompok
mahasiswa minoritas. Mereka mendapat tekanan dari kelompok minoritas agar tidak
terjadi permasalahan rasial. Director pusat pelayanan konseling telah meminta
para kelompok minoritas untuk melakukan konseling namun usaha ini tidak
berjalan mulus. Penelitian terkini yang dilakukan universitas menunjukkan angka
16% dari Asia Amerika, 17% dari Afrika Amerika, 3% berasal dari Latin, dan
kurang dari 1% adalah Amerika India. Sangar sedikit kelompok minoritas
menggunakan fasilitas pelayanan.
Dari pengamatan saya bahwa permasalahn terbanyak pada
pelayanan klinis (konseling personal/emosional) dan pelayanan secara face to
face. Saat konselor ditanya model pelayanan yang disukai, 85% mendata klinis,
sementara hanya 15% memilih permasalah akademik/jurusan. Lebih lanjut, dari 28
staff yang tersedia, hanya tiga orang berasal dari kelompok minoritas.
Dalam contoh
kasus ini, ada beberapa alas an mengapa pusat konseling sedikit memberikan
nilai. Pertama, karena sebagian besar staff adalah kelompok putih. Kelompok
minoritas yang ada hanyalah seorang konselor Afrika Amerika, tetapi yang
lainnya adalah anggota staf administrasi dan seorang penjaga perpustakaan Asia
Amerika. Kekurangan kelompok minoritas yang professional dalam pusat konseling
menjadi kendala dalam memberikan pelayanan. Persepsi dari sebagian besar kelompok
minoritas adalah mereka tidak memahami perbedaan budaya yang terdapat di
lapangan.
Kedua, bagaimana
pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat kampus juga penting berkaitan
dengan perbedaan budaya. Kasus ini menjadi jelas ketika pelayanan dilakukan dengan
cara tradisional, one by one: konselor menerima klien di kantor mereka. Pelayan
model begini nampaknya kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan cara yang
lain. Pada kasus pertama yang terjadi pada Fernando, dia beradaptasi budayanya
konselor, bukan konselor beradaptasi pada budaya klien. Ini akan lebih baik
bila konselor beradaptasi dengan budaya klien. Banyak kelompok minoritas
menganggap bahwa kenseling secara face to face di kantor terkesan formal,
terkekang, dan aneh. Ketika konselor mendatangi tempat dimana klien berada, hal
ini mengindikasikan adanya komitmen dan minat pada klien. Menurut pandangan
nontradisoanal, bahwa konseling tidaklah hanya duduk di dalam kantor tetapi
juga ikut serta dalam permainan basket atau
bilyard dengan klien dalam lingkungan mereka. Sayangnya, sebagian besar
pelatihan konseling dan klinis tidak mengikutsertakan program ini. Konselor menganggap kegiatan ini tidak
professional.
Ketiga, pusat
konseling dalam contoh ini dikenal dengan konselong sosio-emosional. Sekali
lagi, ini bukanlah aneh dalam sebagian besar dalam program pelatihan pendidikan
konselor. Sering, calon konselor lebih intens pada isu personal-emosional
(psikiatris) dibandingkan dengan isu penjurusan atau akademik. Namun nampaknya
banyak kaun minoritas lebih tertarik pada masalah akademik, penjurusan dan
karir mereka. Konselor beranggapan bahwa dengan memberikan bimbingan akademik kurang
bergengsi, sehingga mereka mulai menawarkan pelayanan personal-emosional.
Hasilnya adalah banyak kaum minoritas tidak percaya pada kaum putih sehingga
mereka lebih menggunakan pelayanan untuk masalah penjurusan dan karir.
Ciri
Konseling/Terapi
Konseling dan
psikoterapi secara hukum dipandang sebagai hubungan, komunikasi, dan pengaruh
sosial antar pribadi. Kedua belah pihak
harus mampu mentransfer informasi baik secara verbal maupun non verbal.
Permasalahan muncul apabila keduanya berasal dari ras atau etnis yang berbeda.
Pada
pembahasan ini kita foklus pada nanalisa formal bagaimana hal di atas
mengganggu komunikasi atau mempengaruhi
hubungan terapi. Kita bicarakan implikasi
terhadap terapi dan munculnya skema konsep yang dapat digunakan untuk
mebandingkan bagaimana bahasa, budaya, dan tingkat sosial digunakan untuk
menentukan intervensi yang tepat. Perbandingan analisa szangat membantu sebagai
alat untuk menentukan pendekatan konseling yang tepat—tidak hanya untuk
perbedaan budaya tetapi juga popuilasi kusus lainnya (wanita, gay/lesbi, cacat,
lansia)
Ciri Umum Konseling/Terapi
Di Amerika
setikat, budaya kaum putih keturunan Eropa Amerika, menentukan beberapa nilai
dalam melakukan proses tindakan terapi. Semua teori konseling dan psikoterapi
dipengaruhi oleh asumsi bahwa para teoritis membuat tujuan dalam terapi,
metodoli yang digunakan untuk mencapai perubahan, dan definisi yang dipakai
adalah kesehatan mental atau gangguan mental. Konseling dan terapi secara
tradisional telah dijadikan konsep oleh masyarakat Barat.
Psikoterapi
dan konseling masih digunakan oleh kaum putih kelas menengah dan kelas atas.
Sehingga klien yang berasal dari budaya yang berbeda masih belum begitu nampak.
Terapis nampaknya lebih suka dengan klien yang masih muda, enerjik, menarik,
pandai, dan sukses. Sindrom ini mengabaikan kelompok minoritas. Yang secara
sosioekonomik lebih rendah. Sindiran kasar disampaikan oleh Sundberg (1981)
bahwa terapi tidak diperuntukkan bagi kaum pendian, jelek, tua, miskin, dan
beda budaya. Ada
tiga cirri utama dalam konseling dan psikoterapi yang barangkali menjadi akar
terjadinya konflik terhadap kelompok dengan latar belakang budaya berbeda.
Pertama,
terapis sering berharap bahwa klien yang datang dengan tingkat keterbukaan yang
tinggi, berpikiran psikologi, atau berkelas. Sebagian besar teori membicarakan
tentang bagaimana mengakomodasi verbal, emosi, dan ekspresi diri. Kedua, secara
tradisional, terapi adalah kegiatan face to face perorangan yang mengharap
klien berbicara atau membicarakan aspek kehidupannya. Individu yang tertutup
menjadi masalh dalam kegiatan ini. Ketiga, konseling atau terapi kadang membingungkan.
Klien dipaksa berbicara semetara konselor hanya mendengarkan dan memberi
respon.
Ada empat factor yang
diidentifikasi dalam terapi. a) orientasi monolog, b) menekankan pada tujuan
jangka panjang, c) penekanan perbedaan antara jiwa dan raga, dan d) penekanan
pada hubungan sebab dan akibat. Selanjutnya, karena terapi biasanya terisolasi
dari lingkungan klien dan kontak sangat singkat (berlangsung selama 50 menit,
sekali seminggu), maka secara sebaiknya diagendakan solusi jangka panjang.
Hal lain yang
terlupakan adalah asumsi implisit antara kesehatan jiwa dan raga atau gangguan
jiwa dan raga. Banyak klien yang mempunyai budaya berbeda memiliki kerancuan
dalam membedakannya. Sebagai akibatnya, timbul masalah dalam terapi.
Ornstein
membagi fungsi kerja dalam dua bagian, otak kiri dan otak kanan. Otak sebelah
kiri bekerja secara linier, rasional, dan proses kognitif. Otak kanan lebih
condong pada intuisi, perasaan, dan orientasi pengalaman. Ketika keduanya
dijalankan secara terpisah-pisah, makan akan mempengaruhi fungsi kita sebagai
manusia. Dia menyebutkan bahwa budaya barat lebih condong menggunakan otak kiri
dibandingkan otak kanan yang dianggap kurang legitimasinya.
Kesimpulannya,
ciri umum dalam konseling/terapi dalam dilihat dalam tiga kategori:
- Nilai keterikatan budaya: individual centered, ekspresi verbal/emosional/tingkah laku, pola komunikasi dari klien ke konselor.
- Nilai keterikataan kelas/status: waktu yang ketat (50 menit sekali atau dua kali seminggu) rancu dan pendekatan ke masalah tidak terarah, dan mencari solusi jangka panjang.
- Variabel bahasa: menggunakan bahasa Inggris standard dan menekankan pada komunikasi verbal.
Sumber Masalah dan Salah
Paham dalam Terapi
Nilai Keterikatan Budaya
Budaya
meliputi cita-cita, keyakinan, skill, tool, alat, kebiasaan, dan institusi yang
didapat dari tempat dimana dia dilahirkan. Penulis telah menekankan perlunya
pakar social membahas aspek-aspek positif dalam multibudaya, dimana masalah
timbul pada kelompok minoritas. Istilah orang marginal pertama disampaikan oleh
Stonequist dan mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk mengidentifikasi
etnis ganda. Ras/etnis minoritas ditempatkan diurutan bawah dibandingkan dengan
kelompok mayoritas. Sehingga mereka dianggap abnormal, atau sakit.
Banyak pakar
social percaya bahwa psikologi dan terapi ditetapkan hanya untuk menetapkan status
quo. Para terapis dipandang sebagai alat untuk agen
mentransfer budaya yang dikontrol oleh nilai-nilai Barat.
1. Focus pada Individu
Sebagian
besar bentuk konseling dan psikoterapi menerapkan individual centered. Individualisme,
otonomi, dan kemampuan menjadi diri sendiri dianggap sebagai sikap yang sehat
dan tujuan yang diharapkan. Kalau melihat perkembangan manusia yang disampaikan
oleh sebagian besar teori Eropa-Amerika, kita tahu bahwa mereka menekankan pada
“individualisasi” sebagai perkembangan yang sehat dan normal. Pederson mencatat
bahwa tidak semua budaya memandang individualisme sebagai orientasi yang
positif tetapi dianggap sebagai cacat dimana tujuan sepiritual adalah penting.
Dalam banyak
budaya dan kelompok masyarakat menekankan pada kekuatan keluarga, kelompok atau
masyarakat. Dalam budaya Asia Amerika, identitas seseorang dihubungkan dengan
keluarga konstilasi. Artinya sesorang bertindak berdasarkan kebiasaan atau hokum
keluarga. Dengan demikian dia tidak bisa menjadi diri sendiri.
Dalam budaya
menganggap kolektifitas dipandang lebih baik dari pada individualism. Contoh,
orang Asia Amerika menyapa dengan,”Bagaimana
kabar keluargamu.” Sangat kontras dengan orang Amerika asli menyapa sesame
dengan, “Apa kabarmu?” Yang pertama
menekankan pada kelompok dan yang kedua menekankan pada perpektif individu.
Ekspresi
sikap dalam terapi sangat mempengaruhi dalam orientasi. Konselor dan terapis
yang gagal membedakan antara penggunaan kolektifitasan dan individualisme akan
menghadapi masalh dalam terapi. Banyak klien Asia
yang mengatakan saya tidak dapat menyelesaikan masalah saya sendiri, saya perlu
membicarakannya dengan keluarga. Bagi sebagian orang yang lain ini dianggap
tidak dewasa. Setelah itu, terapi ditujukan untuk membantui seseorang dapat
menyelesaikan msalah klien sendiri dengan cara yang “dewasa” dan “bertanggung
jawab.”
2. Ekspresi
verbal/Emosional/Tingkah laku
Banyak
konselor dan terapis menganggap ketiga ekpresi diatas sangat penting. Klien
perlu menyampaikan perasaan dengan bahasa verbal, mengekspresikan perasaan
tanpa beban dan punya hak untuk duduk atau berdiri.
Karakter di
atas lebih banyak terjadi pada budaya Amerika. Sementara budaya Jepang,
misalnya, anak ditanamkan untuk tidak berbicara kalau belum diperbolehkan untuk
berbicara. Pola komunikasi condong dalam bentuk vertikal. Dari status yang lebih tinggi ke status yang
lebih rendah. Dalam situasi terapi, klien Jepang menganggap terapis adalah
orang yang lebih tua, bijaksana, dan posisinya lebih tinggi sehingga responnya
lebih pendiam. Sayangnya, terapis menganggap klien semacam ini sebagai orang
yang kurang pintar dan tidak dapat berkomunikasi.
Terapis
berharap klien mengeksperiskan perasaan sepuasnya ketika terapi. Namun bagi Asia mengganggap bahwa kematangan dan kebijakan seseorang
diasosiasikan dengan kemampuan seseorang mengontrol emosi di depan public, baik
ketika sedang jatuh cinta maupun depresi. Sayangnya, terapis tidak paham dengan
budaya ini sehingga klien dianggap tertutup, kurang spontan dan repressive.
Terapis yang
mengandalkan ekpresi verbal, emosional, dan tingkah laku berarti mereka tidak
sadar bahwa mereka sedang menggunakan budaya mereka sendiri. Ini disebut dengan
cirri konseling arogan tidak hanya kepada nilai status social yang lebih rendah
tetapi juga pada budaya lain. Wood mengingatkan bahwa terapis perlu memahami
ketrampilan yang dimiliki oleh klien.
3. Cara Pandang
Pendekatan
ini perlu dilakukan untuk memahami dinamika dan penyebab masalah. Kita
menyadari bahwa pendekatan tidak dinilai oleh mereka yang punya budaya berbeda.
Mereka yang berasal dari social ekonomi rendah lebih memikirkan ,”Dimana saya
mendapat pekerjaan?” “Bagaimana saya memberi makan keluarga saya?’ atau
“Bagaimana saya bisa mengobatkan anak saya ke dokter?”
Pertama,
banyak kelompok budaya menilai bahwa terlalu banyak hal yang dipikirkan
menyebabkan masalah. Dalam penelitian terhadap orang cina di San Fransisko
menyatakan bahwa jalan menuju jiwa yang sehat adalah “hindari terlalu banyak
pikiran.” Saran ini disampaikan oleh orang tua yang menasehati anaknya yang
sedang frustasi. Dapat dimengerti kenapa orang menjadi pemarah karena terlalu
banyak pikiran. Cara orang Asia tradisional
adalah tetap sibuk dan jangan dipikirkan masalah yang ada. Pikirkan keluarga
dan jangan pikirkan diri sendiri.
Kedua, banyak
ahli psikologi dari ras/etnis minoritas merasa bahwa cara pandang adalah nilai
diri sendiri. Menurut asumsi psikoanalitik kuno bahwa ketika seseorang memahami
konflik mereka sendiri, maka tingkah laku atau sympton akan berubah atau
hilang.
4. Keterbukaan dan
Kedekatan
Sebagian
besar konseling/psikoterapi menekankan pada kemampuan kedekatan dan ketebukaan.
Sementara orang yang tidak memiliki keterbukaan dalam konseling dan psikoterapi
dipandang negative atau paranoid. Ada
dua permasalahan kenapa seseorang mengalami kesulitan dalam ketebukaan dan
kedekatan.
Pertama,
permasalah relevansi kedekatan personal atau social dianggap masuk akal karena
kesulitan tidak hanya terpancar pada diri sendiri tetapi juga pada seluruh keluarga.
Sehingga keluarga berpengaruh besar pada klien Asia Amerika dibandingkan orang
lain atau pihak luar. Seorang terapis yang berhadapan dengan klien dari
kelompok yang berlatar belakang minoritas menganggapnya pemalu, pendiam, atau
tertutup. Ini berbeda dengan standar Barat.
5. Empirisme Ilmiah
Konseling dan
psikoterapi di budaya Barat dan masyarakat segaris dengan ilmu fisik.
Masyarakat barat menyebutnya dengan metode ilmiah yang memasukkan tujuan,
rasionalisasi, pikiran linier. Kita sering mendengar ungkapan terapis yang obyektif, netral, rasional, dan
berfikiran logis. Terapis menggunakan cara problem solving linier dan evaluasi
kuantatif yang melibatkan tes psikodiagnosis, tes intelejen, penemuan personalitas,
dan sebagainya.
Nampaknya cara
yang dominan dalam tanya jawab tentang kondisi seseorang di masyarakat Amerika
lebih dengan metode ilmiah. Yang selanjutnya diberi nama eksperimen. Di
perguruan tinggi kita sering mendengar bahwa untuk menentukan hubungan sebab
akibat adalah dengan eksperimen. Dengan menentukan variable dependen dan
independen dan mengontrol variable asing, kita dapat menguji hipotesa sebab
akibat. Sementara penelitian korelasi, penelitian histories, dan pendekatan
lain dianggap menggambarkan “ilmiah kita”.
6. Perbedaan antara
Fungsi Mental dan Raga
Banyak budaya
dari Amerika Indian, Asia Amerika, dan Negro mempunyai pemahaman yang berbeda
tentang kesehatan mental, gangguan mental, dan adaptasi. Masalah non fisik
biasanya dibawa ke pendeta atau dokter. Harapannya, ketika mereka datang ke terapis
juga diperlakukan dengan cara yang sama. Solusi cepat berupa saran atau obat.
Ketika ada seorang Dokter Medical (MDs) dan bukan beregelar PhDs ditanya oleh
oleh ayahnya, apakah pasien membayarmu karena mereka duduk dan ngobrol sama
kamu?
7. Kerancuan
Aspek situasi
terapi yang rancu dan tidak terstruktur mengakibatkan klien tidak nyaman.
Peerbedaan budaya yang tidak dipahami dalam terapi menjadikan proses terganggu.
Akibat yang muncul seperti kekhawatiran dan kebingungan. Contoh:
Maria W.
merasa tidak nyaman daan khawatir pada interview pertama, yaitu konseling
tentang jurusan. Kekhawatiran ini nampaknya karena situasi yang rancu dimana
Maria merasa bingung dengan pertanyaan dan komentar dari konselor.
Konselor : Mari
kita berhenti sejenak untuk mengetahui apa yang kita lakukan dalam konseling
jurusan, yaitu suatu usaha untuk mengerti keseluruhan individu. Dengan demikian
kita menjadi fokus terhadap apa yang kamu suka atau tidak, apa yang baik kamu lakukan,
apa ketrampilanmu, dan apa yang pereka anggap penting dengan pekerjaan dan
jurusan. Interview pertama biasanya digunakan untuk mendapat informasi tentang
dirimu—terutama pengalaman masa lalumu dan reaksi terhadap jurusan yang kamu
ambil apakah beda dengan keinginanmu, pekerjaanmu terdahulu, dan sebagainya.
Ini sangat penting guna menentukan tujuan dan rencanamu. Jika perlu adan ada
serangkaian tes.
Klien : Em…
Ya, sanga mengerti.
Konselor : Itulah
sebabnya mengapa kita perlu membicarakan pengalaman SMAmu. Juga harapan dan
impianmu agar memberi gambaran terhadap apa yang kamu suka.
8. Pola Komunikasi
Budaya
mengakibatkan adanya beda komunikasi dari kamum minoritas. Hal ini merugikan
dalam terapi. Klien diharapkan klien aktif dibandingkan konselor. Bagi Amerikan
Indian, Asia Amerika, dan Hispak, masalah komunikasi menjadi masalah
tersendiri. Ketiga kelompok di atas lebih banyak diam karena mereka menghormati
yang lebih tua atau yang berwenang. Dalam budaya keluarga, peran dominant orang
tua masih kuat. Sehingga mereka cenderung berbicara singkat. Terapis terpaksa
menerjemahkan apa maksud dari perkataan klien.
Nilai Keterikatan Kelas
Bagi terapis
yang berasal dari latar belakang kelas menengah ke atas akan mengalami
kesulitan berhadapan dengan klien yang berlatar belakang miskin, yang hidup
dengan upah rendah, pengangguran, dibawah gaji minimal, tidak punya tabungan,
dan makan makanan yang tidak mencukupi. Konsultasi biasanya tentang kebutuhan
makan dan tempat tinggal. Contoh:
Jimmy Jones adalah seorang anak laki-laki negro berusia
12 tahun. Dia direferensi oleh gurunya Bu Peterson karena selama di dalam kelas
dia nampak apatais, aneh, dan kurang minat terhadap pelajaran. Guru lain
melaporkan dia tidak perhatian, suka berhayal dan kadang tidur di dalam kelas.
Setelah 6
bulan konseling, konselor menyadari akar masalah Jimmy. Dia berasal dari
keluarga yang sangat miskin yang hidup serba kekurangan baik makan maupun
tidur. Akibatnya adalah dia kehilangan motivasi. Kemiskinan telah memaksa anak
untuk bekerja pada usia dini, sebagai jasa pengantar, semir sepatu, dan
pekerjaan lainnya yang menyerap energinya ketika dia di sekolah. Guru dan
konselor melihat dia sebagai anak yang tidak punya motivasi dan cenderung
nakal.
Dari diagnosa
dapat kita ketahui bahwa gangguan jiwa lebih banyak diakibatkan karena factor
kemiskinan. Lorion menemukan psikiatris lebih suka klien dari kaum putih dan
umumnya status sosioekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan kaum minoritas.
Harapan klien yang berasal dari sosioekonomi rendah biasanya berbeda dengan
harapan terapis. Masalah mereka lebih banyak tentang hidup dan harapan
sehari-hari. Pertemuan diusahakan singkat dan penedek. Sehingga ada ungkapan
“standar waktu kaum minoritas.”
Harapan
mereka adalah diberi saran. Namun terapis mengharapkan klien menceritakan
dinamika pribadinya yang mengakibatkan klien bingung dan frustasi. Mereka
mengharapkan sesuatu yang jelas dan cepat.
Karena
lingkungan social klien dan terapis berbeda maka apabila klien tidak memahami
proses terapi, terapis menyalahkan klien. Akibatnya adalah klien jadi resis dan
terapi tidak berkelanjutan.
Atkinson,
Morten dan kawan-kawan menyompulkan: etnis minoritas punya pendapatan terbatas
dan tidak cukup untuk membayar konsultasi dibandingkan dengan kaum Eropa Amerika.
Sehingga, untuk mendapat bantuan psikologis, mereka lebih menggantungkan pada
pemerintah yang non profit.
Kendala Bahasa
Masyarakat
barat sangat monolingual. Penggunaan bahasa Inggris standar menjadi tidak adil bagi mereka yang
berasal dari kaum minoritas yang tidak fasih dalam bahasa Inggris.
Kesalahpahaman masalah bahasa sering terjadi pada kaum minoritas. Dan tentu
saja mereka tidak mungkin menggunakan bahasa mereka sendiri karena jelas tidak
dipahami terapis.
Romero (1985) menyatakan bahwa konseling
psikologis harus bisa berinteraksi dengan klien yang tidak dapat menggunakan
bahasa Inggris standar. Kelemahan bahasa lain dari terapis mengakibatkan
terhambatnya proses konseling dan terapi.
Pemerataan Dan Stereotip: Beberapa Peringatan
Nilai-nilai
budaya direfleksikan dalam karakteristik umum dari konseling. Karakteristik ini
disimpulkan dan dapat dibandingkan dengan empat ras/etnik kelompok minoritas;
Indian-Amerika, Asian-Amerika, Negro, dan Hispanic. Meskipun hal ini kritis
bagi terapis untuk memiliki pengertian dasar tentang karakteristik umum dari
konseling dan psikoterapi dan budaya-spesifik nilai-nilai hidup dari grup yang
berbeda, terlalu generalisasi dan stereotip sangat berbahaya. Sebagai contoh,
mendaftar ras/etnik kelompok minoritas akan berbagi semua atau beberapa ciri
saja. Selanjutnya, kecenderungan yang muncul jangka pendek dan krisis
pendekatan intervensi dan kurangnya orientasi teknik verbal berbeda dari daftar
ciri umumnya.
Kesan
pertama akan dibentuk agar sesuai dengan interpretasi dangeneralisasi tentang
tingkah laku manusia. Penggeneralisasian ini diperlukan oleh kita; tanpa itu,
kita akan menjadi berbuat tidak efektif. Meskipun, panduan mereka untuk
perilaku kita, berpedoman pada literatur dalam situasi yang baru, dan mereka
harus terbuka dalam perubahan dan tantangan. Pada dasarnya tahapan ini
generalisasi tetaplah generalisasi atau menjadi stereotipe. Stereotipe
didefinisikan sebagai prasangka yang kita jaga tentang semua orang dari anggota
kelompok istimewa, apakah kira-kira akan didefinisikan sebagai rasial, agama,
jenis kelamin atau lainnya. Keyakinan dalam merasakan karakteristik kelompok
digunakan pada semua anggota tanpa memandang variasi karakter individu.
Stereotip berbahaya adalah mereka yang
tidak mempan kecaman logita atau pengalaman. Semua informasi masukan disortir
sesuai dengan pertimbangan kami. Misalnya, seseorang yang kuat, anti semit akan
menyalahkan Yahudi yang pelit, dalam waktu bersamaan mereka dituduh
memanipulasi kekayaan yang mereka pakai untuk menarik perhatian.
Implikasi Bagi Praktek Klinis
Profesi Kesehatan Mental harus mengakui batasan budaya,
batasan kelas, dan hambatan bahasa, hal itu mungkin klien dari kaum minoritas
menempatkan berada pada posisi yang merugikan. Beberapa saran bagi pengembangan
klinis antara lain :
- Mengakui karakteristik umum dari konseling dan psikoterapy; Jelas, bahwa layanan kesehatan mental tumbuh dari konteks fakta budaya dan diilhami dengan asumsi dan nilai-nilai yang tidak boleh dipergunakan pada semua kelompok;
- Ketahui, bahwa kita terus meningkatkan multi bahasa nasional dan kebutuhan bahasa dari pekerjaan klinis menempatkan kaum minoritas pada tempat yang merugi. Sensitif dan siap memberikan atau memberi nasehat untuk layanan multi bahasa.
- Mempertimbangkan kebutuhan penyediaan layanan konseling masyarakat agar mencapai populasi minoritas. Dengan kata lain, konseling multikultural yang efektif harus melibatkan peran dan aktivitas lingkungan alamiah klien (sekolah, gereja, tetangga, tempat bermain, dan lain-lain) dari pada hanya dalam klinik kesehatan mental.
- Menyadari bahwa masalah dan keprihatinan kelompok minoritas dikaitkan pada sistem dan kekuatan eksternal lebih baik dari pada masalah internal psikologi. Kemiskinan, diskriminasi, prasangka-prasangka, tekanan karena status imigrasi, dan keempat indikasi bahwa konselor harus lebih efektif dalam membantu klien untuk berbagi dengan kekuatan ini dibandingkan dengan eksplorasi diri dan pendekatan pengetahuan yang mendalam.
- Sembari teori konseling dan psikoterapi memberikan penjelasan tentang tipe-tipe tindakan dan peran yang dimainkan oleh terapis, ini mungkin minimal membantu klien minoritas. Beberapa pendekatan pasif harus diperluas dalam peran dan tingkah laku, diorientasikan pada action dan pendidikan alamiah. Sebagai profesional helping, anda harus memperluas variasi dalam merespon bantuan.
- Berhati-hati tidak akan teralu umum atau stereotip. Mengetahui karakteristik kelompok secara umum dan panduan berbeda dari memegang dengan kuat pertimbangan sederhana. Dengan kata lain, mengetahui bahwa tentunya kelompok Afrika-Amerika, dan Asia-Amerika dapat berbagi nilai-nilai umum dan pandangan hidup tidak seperti semua orang Asia-Amerika.
- Sikap arogan tidak hanya mengganggu orang-orang yang dilayani, tapi juga membatasi sikap kerja dan perbedaan populasi budaya.