Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

November 17, 2016

PENERAPAN TEKNIK STRUCTURE LEARNING APPROACH (SLA) PADA KETERAMPILAN SELF ADVOCACY SISWA SMP


Sistem pelatihan keterampilan yang komperhensif menekankan model pengembangan kecakapan hidup, antara lain dengan asumsi bahwa siswa adalah subyek yang mampu dalam mengembangkan keterampilan hidup dan membuat perencanaan untuk mengatur kehidupannya. Adapun aplikasi Structure Learning Approach dalam pelatihan self advocacy meliputi tahap: Pertama, arahan (intruction). Kedua, pemberian model (modeling). Ketiga, bermain peran (role-play). Keempat, pemberian umpan balik (performance feedback). Kelima, pemberian tugas dan pemeliharaan (transfer of training and maintenance). (Sprafkin, dkk. 1993; selanjutnya dikembangkan oleh Thompson, 2003).
Adapun langkah-langkah teknik Structure Learning Approach sebagai berikut:
1.        Tahap pertama, Arahan (intruction)
Pengarahan yang dilakukan pada awal pelatihan berupa penjelasan materi yang berkaitan dengan komponen self advocacy yang dilatihkan, yakni self awarennes (kesadaran diri), pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, keterampilan komunikasi, dan kesadaran tanggung jawab.
Hal-hal yang harus diperhatikan ketika konselor memberikan pengarahan kepada siswa, yaitu;
a.    arahan/penjelasan yang diberikan harus jelas dan sistematis;
b.    arahan terkait jenis komponen ketarampilan self advocacy yang akan dilatihkan perlu disertai contoh yang jelas;
c.    bahasa yang digunakan harus mudah dipahami oleh siswa;
d.    arahan atau penjelasan ini dapat diakhiri dengan mengajukan pertayaan yang dapat membantu siswa untuk mengidentifikasikan makna dari topik keterampilan self advocacy yang dilatihkan.
2.        Tahap kedua: Pemberian Model (modeling)
Modeling merupakan suatu metode untuk melahirkan perilaku baru atau prosedur dimana orang dapat belajar perilaku yang diharapkan melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain. Dalam pelatihan keterampilan self advocacy digunakan model simbolis.
Model dapat dipilih diatara 3 model berikut ini, yakni:
a.    Model hidup, yaitu model yang ditunjukkan oleh konselor, atau staf sekolah yang lainnya, atau oleh siswa itu sendiri;
b.    Model dalam bentuk rekaman vidio tentang perilaku yang dikehendaki;
c.    Model dalam bentuk rekaman audio tentang perilaku yang dikehendaki;
Adapun hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan presentasi model:
a)      model hendaknya disajikan sesingkat mungkin, menggunakan waktu 5 menit sampai 20 menit.;
b)      model yang disajikan sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami oleh siswa;
c)      siswa perlu mendapatkan pemahaman bahwa model yang disajikan hanya dapat digunakan untuk membantu siswa memahami beberapa jenis perilaku self advocacy yang dilatihkan.

3.        Tahap ketiga: Bermain Peran (role-play)
Role playing merupakan model pembelajaran yang membantu setiap siswa menemukan makna pribadi dalam dunia sosial serta memecahkan masalah pribadi dengan bantuan kelompok sosial, khususnya masalah-masalah interpersonal. Dalam pelatihan ini role playing adalah cara konselor menfasilitasi siswa meningkatkan keterampilannya dalam self advocacy melalui pemeranan perilaku tertentu sebangaimana nyatanya dalam kehidupan sehari-hari.
Ada hal-hal teknis yang perlu diperhatikan pada tahap ini, meliputi:
a.    Bermain peran dilakukan secara terencana di dalam kelas melalui proses kelompok dan diamati langsung oleh koselor atau fasilitator;
b.    Dalam setting pelatihan ini, bermain peran dirancang dalam level yang sangat sederhana, yakni berupa rangkaian tindakkan menguraikan sebuah masalah, meperagakan dan mendiskusikan masalah tersebut;
c.    Masalah role playing harus jelas bagi siswa;
d.    Alur cerita yang digunakan diupayakan dapat diterima, masuk akal dan penuh makna;
e.    Perlu dipertimbangkan kemampuan siswa dalam pemeranan;
f.     Perlu dipertimbangkan faktor empati yang dimiliki siswa terhadap posisi peran tertentu;
g.    Perlu diperhatikan sikap tegas dan serius para pengamat;
h.    Perlu diperhatikan kemampuan siswa dalam menganalisis masalah yang akan diperankan;
i.      Perlu dirancang instrumen pengukuran tingkah laku secara tepat, jelas dan komprehensif.

4.        Tahap keempat: Pemberian Umpan Balik (performance feedback)
Pemberian balikan merupakan proses yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan siswa pada tahap bermain peran. Konselor dan observer lain memberikan usul saran perbaikan berdasarkan hasil pengamatan terhadap perilaku siswa pada tahap role playing. Fokus feedback berkaitan dengan upaya-upaya memperbaiki dan meningkatkan performansi siswa dalam bermain peran.
Hal teknis yang perlu diperhatikan pada tahap pemberian umpan balik yakni:
a.         hal-hal positif perlu disampaikan terlebih dahulu sebelum informasi yang lebih sensitif;
b.         menjelaskan tingkah laku yang dimaksudkan;
c.         dalam memberikan umpan balik terfokus pada tingkah laku yang dapat diubah bukan pada kepribadiannya;
d.         memberikan penjelasan secara spesifik tentang tingkah laku dan bukti-buktinya;
e.         memberikan beberapa saran perbaikan penampilan siswa;
f.          anggota kelompok yang melakukan role playing diharapkan agar dapat secara seksama mendengarkan komentar yang diberikan;
g.         para observer di minta melaporkan seberapa baik langkah-langkah pelatihan yang telah dilakukan;
h.         para observer diminta melaporkan tentang hal-hal khusus yang disukai dan tidak disukai, serta berbagai komentar tentang peran anggota kelompok yang melakukan latihan ulang;
i.           peran anggota kelompok yang melakukan latihan ulang diminta memberikan respon mengenai seberapa baik penampilannya dalam mengikuti setiap tahapan atau langkah pelatihan keterampilan self advocacy yang dilakukan.

5.        Tahap kelima, pemberian tugas (transfer of training and maintenance)
Pemberian tugas dalam bidang psikoeducational merupakan tugas yang lebih menekankan generalisasi, pentrasferan dan reinfocement bagi siswa dalam berbagai setting sosial lainnya, yang akan dibahas kembali dalam kelompok untuk sharing kisah dan pengalaman keberhasilan anggota kelompok yang melakukan pemberian tugas. Pemberian tugas berfungsi untuk memperkuat latihan ulang jenis-jenis perilaku self advocacy di antara sesi pelatihan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika memberi tugas kepada siswa:
a.       Deskripsi tugas harus jelas (jenis perilaku self advocacy, apa yang dilatih ulang, kapan perilaku tersebut dilatih ulang, dimana perilaku dilatih ulang, dengan siapa siswa berlatih ulang, apa yang telah siswa katakan dan lakukan, apa yang telah dikatakan dan dilakukan oleh orang lain);
b.       Format tagihan tugas setelah siwa berlatih ulang di luar setting harus jelas, lengkap dan terinci;
c.  Pedoman berlatih ulang berdasar pada cara-cara berperilaku self advocacy yang telah dipelajari;
d.      Frekuensi latihan di luar setting kelompok perlu dibatasi;
e.      Situasi dan kondisi ketika siswa berlatih di luar setting harus kondusif;
f.  Siswa diberi kesempatan untuk menilai drinya sendiri tentang hambatan-hambatan dan perkembangan perilaku self advocacy selama melakukan latihan ulang di luar setting dan melaporkan secara jujur dan obyektif dengan menggunakan pedoman observasi atau pedoman self repport
Dalam pelatihan self advocacy pada setiap komponen, maka Anda akan melakukan beberapa langkah-langkah pelatihan yang telah disebutkan diatas, dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.1 tentang langkah-langkah pelatihan self advocacy, berikut ini:
Gambar 1.1 tentang langkah-langkah pelatihan self advocacy pada setiap komponen. 










September 3, 2015

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DOSEN MELALUI PROGRAM DOSEN MAGANG DIKTI 2015


      Dari kiri ke kanan; Dr. Ir. Komang Anggayana, Ms (ITB); Prof. Dr. Warsono, M.Pd (Rektor Unesa),  dan Prof. Dr. Suseno Amien (Unpad)

Surabaya, 12/08/2015. Perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan memiliki peran yang sangat besar dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan daya saing bangsa. Agar peran yang strategis dan besar tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka sumber daya manusia perguruan tinggi haruslah memiliki kualitas yang unggul. Dosen, adalah SDM perguruan tinggi yang memiliki peran yang sangat sentral dalam semua aktivitas di perguruan tinggi. Dalam era globalisasi ini, seorang dosen bukan hanya dituntut pakar dalam bidang kajian ilmunya mengajarkan, meneliti, dan mengabdikannya kepada masyarakat) tetapi juga dituntut untuk mampu berkomunikasi (verbal dan tulisan); mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT); memiliki jaringan (networking) yang luas; peka terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi di dunia luar, bersikap outward looking, dan lain-lain.
Fakta di lapangan saat ini menunjukkan bahwa dosen dengan kualifikasi tersebut sangat jarang dan umumnya hanya terkonsentrasi di beberapa perguruan tinggi tertentu saja. Untuk menekan disparitas kualitas, baik antara dosen muda dan dosen senior maupun antara perguruan tinggi maju dan sedang berkembang, diperlukan adanya upaya yang nyata. Salah satunya adalah dengan program memagangkan para dosen muda di bawah bimbingan dosen-dosen senior di perguruan tinggi yang sudah dikategorikan sebagai perguruan tinggi maju.
Program Magang bagi dosen muda bertujuan untuk: 1). memperluas wawasan dosen muda mengenai pelaksanaan dan penyelenggaraan dunia kerja dosen (pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) dengan cara memberi kesempatan untuk mengalami secara langsung pelaksanaan kegiatan Tridharma tersebut di PT Pembina; 2). memberikan pengalaman kepada dosen muda untuk mengenal secara langsung manajemen perguruan tinggi dan kerjasama dengan mitranya di PTN Pembina; 3). memberi kesempatan kepada dosen muda untuk menjalin networking dengan dosen senior asal PTN pembina.

Menurut Dr. Suseno Amien dan Dr. Ir. Komang Anggayana, Ms; dalam memberikan sambutan pada acara peyerahan dosen magang Dikti  kepada Universitas Negeri Surabaya pada tanggal 12 Agustus 2015 bertempat di Ruang Sidang rektorat Unesa mengungkapkan bahwa Program Dosen magang ini bertujuan dan dapat memeberikan dampak yang positif kedepan terutama; 1) Dosen dapat menjalankan tupoksi dosen dan dapat mengevaluasi diri dalam menjalankan tupoksi tersebut; 2) Dosen sebagai tenaga utama dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi dapat menjalankan Pendidikan Karakter; 3) Dosen sebagai peserta magang mempunyai sikap dan soft skill yang mumpuni. Hal ini disampaiakan dihadapan Rektor Unesa Prof. Dr. Warsono, M.Pd, Pembantu Rektor I, II, III, dan IV, Kepala Bagian dilingkungan Civitas Unesa, Kajur dan Sekjur dilingkunagan Unesa, dan Peserta Magang 15 Orang dari berbagai Perguaruan Tinggi di Seluruh Indonesia.


Peserta dosen magang pada tahun 2015 ini diikuti oleh 100 orang dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia yang tersebar di IPB, ITB, Unair, Unesa, dan Unpad, program dosen magang ini dilaksanakan selama lima bulan, dari awal Agustus sampai dengan bulan Desember 2015. Peserta dosen magang Dikti yang ditugaskan di Universitas Negeri Surabaya (Unsea) sebanyak 15 Orang; Asep Sahrudin (Univ. Mathla'ul Anwar Banten); Suciati Rahayu Widyastuti (Univ. Nahdlatul Ulama Cirebon); Hariadi Ahmad (IKIP Mataram NTB); Rahmawati M (Universitas Muhammadiyah Kendari); Ginanjar Nugraheningsih dan Indra Zultiar (Universitas Muhammadiyah Sukabumi); Dewi Ariani (Universitas Mahaputra Muhammad Yamin Solok Sumatera Barat); Miftahul Jannah (STKIP YPM Bangko Jambi); Herniwati Wahid (Universitas Cokroaminoto Palopo Sulawesi Selatan); St. Muriati (Universitas "45" Makassar); Ema Butsi Prihastari (Universitas Slamet Riyadi); Eka Marwati (STKIP Nurul Huda Sukaraja Summatera Selatan); Uli Agustina Gultom (Universitas Borneo Tarakan Kalimantan Utara); Hasrul Wahid (STKIP Kie Raha Ternate Maluku Utara): dan Rustam (Universitas Sembilan Belas Kolaka Sulawesi Tenggara). Editor: Memed 120815.

October 17, 2013

Hakekat Analisis Tingkah Laku



I.     Pengantar
Setiap individu menampilkan berbagai model atau karakter tingkah laku yang berbeda dan unik. Dalam uraian berikut kita akan membahas hakekat analisis tingkah laku dalam beberapa 2 aspek, yakni: tingkah laku dan analisis tingkah laku.
II.  Tingkah laku
a.    Apa tingkah laku itu?
Tingkah laku menurut Webster dictionary didefinisikan sebagai cara, gaya, sikap memimpin diri.  Ada juga yang mengatakan “cara kita bertindak”. Sementara itu menurut para psikologis behavior, tingkah laku didefinisikan sebagai tindakan yang eksternal atau internal yang kelihatan dan terukur dari suatu organism (behavior is any external or internal observable and measurable act of an organism). Di samping itu terdapat juga definisi yang berasal dari Skinner (1938), yang mendefinisikan tingkah laku sebagai “pergerakan organism atau bagian-bagian dari organism dalam sebuah kerangka acuan yang ditentukan oleh berbagai obyek eksternal”. Dari beberapa definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa tingkah laku adalah cara, sikap, gaya kita bertindak yang dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal

b.    Tingkah laku dapat diukur
Tingkah laku dapat diukur berdasarkan dimensi-dimensi sebagai berikut:
Ø Topografi : mengacu pada bentuk tingkah laku, misalnya: memukul, menangis, menulis, melempar, menggambar, menjawab pertanyaan, dst
Ø Jumlah: mengacu pada berapa kali (jumlah) tingkah laku muncul pada suatu periode waktu tertentu, misalnya memukul temannya 5 kali dalam 30 menit, mengerjakan 30 soal dengan benar dalam waktu 60 menit,dst
Ø Durasi : mengacu pada lamanya tingkah laku muncul, misalnya melukis gambar mobil selama 30 menit, menonton sepak bola selama 45 menit, dst
Ø Latensi : mengacu pada berapa lama waktu yang diperlukan untuk memunculkan tingkah laku, misalnya guru menyuruh murid membersihkan sampah, tingkah laku membersihkan sampah muncul 5 menit kemudian, dst
Ø Kekuatan : mengacu pada kuat lemahnya tingkah laku, mencuci celana sampai robek, berteriak, dst
Ø Tempat (locus) : mengacu pada tempat tingkah laku muncul, misalnya menyanyi di depan kelas, memukul teman di sekolah, dst
c.    Tingkah laku sebagai hasil belajar
Tingkah laku manusia paling banyak merupakan hasil dari satu atau lebih dari tiga factor yang biasanya bertindak bersama –sama. Tiga factor ini adalah:
1.    Factor keturunan atau factor genetic
2.    Perubahan psikologis yang terjadi pada kita setelah konsepsi (seperti efek dari penyakit dan kejadian)
3.    Pengalaman perubahan tingkah laku yang disebut dengan pembelajaran
Pembelajaran mengarah kepada kemahiran (acquisition), pemeliharaan (maintenance), dan perubahan dari tingkah laku organism sebagai hasil dari peristiwa (events) atau kejadian-kejadian sepanjang hidup. Tingkah laku meliputi hal itu semua juga meliputi tingkah laku yang tersembunyi seperti berpikir dan merasakan. Tingkah laku manusia diakibatkan oleh variasi sebab. Sebab-sebab tingkah laku itu berasal dari dalam dan dari luar diri manusia.
Asumsi dasar dalam analisis tingkah laku yakni bahwa semua tingkah laku dipelajari. Hal ini berarti bahwa baik tingkah laku bermasalah maupun tingkah laku normal ditunjukkan oleh murid karena tingkah laku itu telah dipelajari oleh murid tersebut. Bila kita memiliki murid yang patuh pada peraturan, bermain dengan baik bersama dengan temannya, dan tahu bagaimana menggunakahn bahan-bahan pelajaran dengan baik, kita biasanya mengatakan bahwa tingkah laku itu merupakan hasil didikan orang tua yang hati-hati  dan bertanggung jawab, yang patut menerima penghargaan karena telah mengasuh anak-anaknya dengan baik. atau juga kita akan mengatakan bahwa guru di kelas sebelumnya telah bekerja dan mengajar dengan baik. bila para murid di sekolah menunjukkan tingkah laku normal dan baik, secara otomatis kita menasumsikan bahwa orang-orang dewasa yang bertanggungjawab telah menghasilkan tingkah laku itu.
Persoalannya adalah, bagaimana dengan anak-anak yang suka membolos, yang sering berkelahi, atau duduk menyendiri pada saat istirahat? Bagaimana dengan anak-anak yang tidak dapat menangkap pelajaran atau mengalami kesulitan  dalam menggunakan waktu belajarnya? Bila kita menghadapi anak-anak bermasalah seperti ini biasanya kita akan mengatakan bahwa anak-anak ini mengalami gangguan emosional, mengalami gangguan kepribadian atau gangguan neuorologis. Biasanya kita akan menolak bahwa tingkah laku bermasalah tersebut juga merupakan suatu hasil belajar.

d.   Lingkungan mempengaruhi tingkah laku
Seringkali kita mendengar orang berbicara tentang beberapa macam perbedaan dari lingkungan. Beberapa istilah yang berhubungan dengan lingkungan itu antara lain adalah:
Ø  Lingkungan alami (natural environment). Kerap banyak orang berpikir tentang sesuatu yang besar di luar rumah atau tempat terbuka yang luas. Tetapi natural environment bisa juga berate lain. Seorang behaviorisme akan mengatakan lingkungan itu adalah lingkungan social. Ketika kita berpikir tentang lingkungan social berarti kita sedang berpikir tentang dunia nyata (real world) di mana kita menghabiskan waktu kita. bagi anak-anak, lingkungan alami ditendensikan sebagai ruang kelas. Di dalam kelas ada banyak factor yang bekerja bersama yang mempengaruhi  tingkah laku anak.
Ø  Prosthetic environment. Prosthetic environment adalah  lingkungan yang membantu individu untuk berkelakuan lebih menyukai teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan. Teman sebaya yang biasanya kita sebut sebagai teman bermain dapat membantu menyusun pembentukan tingkah laku dan juga cara mereka beradaptasi secara wajar.
Ø  Therapeutic environment. Therapeutic environment adalah lingkungan yang dimaksudkan untuk membantu anak (murid/siswa) untuk pada akhirnya menjadi lebih bebas (independent) dari lingkungannya dan dapat berperilaku lebih suka tipikal teman sebayanya ketika berada dalam natural environment. Seringkali anak dengan problem tingkah laku yang serius memerlukan sebuah tempat yang special atau ruang kelas yang special  di mana anak tersebut dapat mengungkapkan isi hatinya dan menjadi baik.
e.    Stimulus
Dalam hubungan dengan pemahaman tentang lingkungan ini kita perlu mengerti satu aspek spesifik dari lingkungan yang disebut dengan stimulus. Stimulus adalah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan aspek spesifik dari lingkungan yang dapat dibedakan dari satu dan lainnya. Dalam studi istilah stimulus biasanya digunakan dalam referensi pada variable-variabel lingkungan yang oleh individu yang melakukan eksperimen dikontrol atau dimanipulasi dalam beberapa  cara yang dapat menentukan pengaruh mereka pada tingkah laku yang tengah diselidiki. Stimulus dapat berupa kondisi, peristiwa, atau perubahan dalam dunia fisik. Stimuli terjadi baik di dalam maupun di luar tubuh, meskipun stimuli sebagian besar sering dikaji oleh analisis terapan tingkah laku di luar tubuh. Stimuli dapat berupa orang, tempat, dan sesuatu seperti cahaya, suara, rasa dan tekstur. Respon dan stimuli adalah konsep-konsep fundamental dalam menganalisis tingkah laku.
f.     Tingkah laku dapat diubah dengan mengubah lingkungan
Skinner dalam tesisnya mengatakan bahwa “When an organism acts upon the environment in which it lives, it changes that environment in ways that often affect the organism itself. Some of these changes are what the layman calls rewards, or what are generally referred to technically as reinforcers: when they follow behavior in this way they increase the likelihood that the organism will behave in the same way again” (Ferster &Skinner, 1957, p. 1). Dari sini kita dapat mengatakan bahwa lingkungan (environment) sangat mempengaruhi perubahan tingkah laku individu (organism). Perubahan tingkah laku itu bisa terbentuk karena reward (ganjaran, hadiah) atau bisa juga karena reinforcerment ( penguatan). Jika demikian maka tingkah laku itu sesungguhnya dapat diubah dengan mengubah lingkungan (dengan rewards dan reinforcement). Dengan kata lain bahwa tiap lingkungan dapat diatur kembali untuk mengajarkan bagaimana menunjukkan tingkah laku yang baru dan lebih adaptif bagi individu (organism)
g.    Tingkah laku bermasalah (maladaptive behavior)
Maladaptive behavior adalah tingkah laku yang tidak efektif dalam menerima tujuan atau cita-citanya dan atau konsekuensinya tak dikehendaki oleh yang lain. Kebalikan atau lawan dari tingkah laku ini adalah adaptive behavior, yaitu tingkah laku yang diterima secara social yang efektif atau fungsional dalam melayani tujuannya. Berikut disajikan beberapa asumsi dari tingkah laku bermasalah (maldaptive)
1.      Asumsi tingkah laku bermasalah dalam kajian pendekatan konseling behavior
·         Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negative ataun tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan
·         Tingkah laku yang salah hakekatnya yang terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah
·         Individu bermasalah ini mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negative dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptive terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat
·         Seluruh tingkah laku individu di dapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar                                                                     
2.      Asumsi tingkah laku bermasalah dalam kajian pendekatan konseling Gestalt
·         Individu yang bermasalah terjadi karena pertentangan antara kekuatan “top dog” dan kebeadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensive, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi
·         Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self)
·         Terjadi pertentangan antara keberadaan social dan biologis
·         Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
·         Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang
·         Melarikan dari kenyataan yang harus dihadapi
·         Spectrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi:
o   Kepribadian kaku (rigid)
o   Tidak mau bebas bertanggung jawab, ingin tetap tergantung
o   Menolak berhubungan dengan lingkungan
o   Memelihara unfinished business
o   Menolak kebutuhan diri sendiri
o   Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”
3.      Asumsi tingkah laku bermasalah dalam prespektif konseling rasional emotif
·         Dalam perspektif konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irasional
·         Ciri-ciri berpikir irasional
o   Tidak dapat dibuktikan
o   Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu
o   Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
·         Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional
o   Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang yang akan datang, antara kenyataan dan imajinasi
o   Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain
o   Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media
·         Indicator keyakinan irasional
o   Bahwa manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan
o   Bahwa banyak orang dalam kehidupan masyarakat bertindak tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan dan dihukum
o   Bahwa kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya
o   Bahwa lebih mudah menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu daripada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya
o   Bahwa penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut
o   Bahwa pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang
o   Bahwa nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu
h.    Beberapa istilah berhubungan dengan tingkah laku
-          Behavior modification merupakan aplikasi dari hukum-hukum yang telah diperoleh dari pembelajaran atas tingkah laku manusia.
-          Target behavior adalah suatu target tingkah laku yang berfungsi untuk mengubah
-          Response adalah suatu tingkah laku yang dengan segera dan dengan prediksi mengikuti sesuatu yang terjadi di dalam lingkungannya
-          Trial adalah suatu term yang mengacu kepada satu usaha atau percobaan, pengulangan, atau contoh dari suatu tingkah laku, yang sering diterapkan dalam membangun suatu situasi untuk belajar (mempelajari) tingkah laku
-          Maladaptive behavior adalah tingkah laku yang tidak efektif dalam menerima tujuan atau cita-citanya dan atau konsekuensinya tak dikehendaki oleh yang lain.
-          Adaptive behavior adalah tingkah laku yang diterima secara social yang efektif atau fungsional dalam melayani tujuannya.
-          Verbal behavior adalah suatu kemampuan yang sangat penting dalam komunikasi dengan satu sama lain (tekanan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi)
-          Mand adalah suatu permintaan atau permohonan, yang digunakan dalam terminology tingkah laku verbal yang artinya untuk meminta sesuatu.
-          Tact adalah term verbal behavior yang lain yang secara esensial berarti nama atau lebel sesuatu.
-          Covert behavior merupakan suatu tingkah laku yang tidak dapat secara langsung diobservasi atau diamati oleh public. Covert behavior mengacu kepada tingkah laku seperti berpikir, berimajinasi, berperasaan.
III.             Analisis tingkah laku
a.       Apa analisis tingkah laku itu?
Satu keuntungan yang besar dari penggunaan pendekatan behavior adalah untuk membantu memecahkan persoalan dengan menyusun metode evaluasi secara atas prosedur yang digunakan untuk treatmen terhadap masalah-masalah itu. Kemudian kita dapat membuat keputusan perlakuan atau tindakan yang didasarkan pada metode ilmu pengetahuan dan penilaian yang menggunakan obyek periistiwa dan data actual daripada pendapat dan pemikiran sendiri. Dengan pendekatan ini perlakuan dapat dilanjutkan, disesuaikan  atau bisa juga tidak dilanjutkan dan digantikan dengan didasarkan pada peristiwa dan obyek data.
Ketika seseorang melakukan tindakan atau tingkah laku tertentu, seringkali kita bertanya,”apa yang membuat seseorang itu melakukan tindakan atau bertingkah laku seperti itu”. Pertanyaan ini adalah wajar namun tidak ada jawaban yang memuaskan untuk semua kasus. Beberapa tingkah laku mungkin dibentuk (dilakukan) oleh orang yang berbeda dengan alasan yang berbeda, bisa juga tingkah laku itu dilakukan oleh orang yang berbeda dengan alasan yang sama dan orang yang sama mungkin membentuk atau melakukan tingkah laku yang sama pada saat atau waktu yang berbeda dengan alasan yang berbeda pula.
Behavior analysis adalah sebuah definisi yang  jelas mengenai prosedur yang dilakukan secara bertahap yang dapat digunakan oleh kita untuk memperbaiki tingkah laku murid atau seseorang. Selain itu dapat juga dapat dikatakan sebagai suatu metode menprediksikan (memperkirakan) suatu problem situasi dan merencanakan  apa yang akan dilakukan untuk memecahkannya (albert, p. 59).
b.      Fungsi analisis tingkah laku
Term analisis fungsional dan fungsional penilaian tingkah laku sering digunakan dalam pembicaraan tentang cara memandang dan mengira-gira masalah-masalah tingkah laku. Mereka harus melakukannya dengan  mengidentifikasi variable-variabel yang adalah fungsi sebuah tingkah laku, apa pun artinya.
Analisis fungsional mengacu kepada suatu pendekatan yang lebih didasarkan pada ilmu pengetahuan yang menyusun banyak factor atau variabel-variabel tak berubah (atau konstan), yang secara intensional mengubah factor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi target tingkah laku.
Fungsi penilaian tingkah laku adalah secara umum, suatu term yang lebih luas dalam mana sebuah fungsional behavioral assessment menyusun sebuah analisis fungsional, tetapi juga menyusun tipe-tipe informasi sebagai laporan ulang dan mewawancarai orang dewasa yang tahu anak-anak yang baik. tujuan adalah untuk mencapai pemahaman dari hubungan antara tingkah laku anak-anak dan variasi factor-faktor yang mungkin mempengaruhi tingkah laku.
c.       Bagaimana menganalisis tingkah laku
Menurut ABA terdapat 10 langkah dalam menganalisis tingkah laku yaitu
1.      Menentukan target tingkah laku. Langkah ini merupakan proses dua arah yaitu pertama mengidentifikasi tingkah laku yang akan dikurangi (diubah=sasaran deselerasi) dan kedua mengidentifikasi tingkah laku yang akan dikehendaki supaya muncul (sasaran akselerasi).
2.      Find the baseline
Mencari atau menemukan bagaimana sering anak membentuk (memainkan) target tingkah laku dibawah keadaan yang khas. Tujuan dari baseline adalah untuk membantu dalam memonitor target tingkah laku.
3.      Mengidentifikasi antecedent (perilaku yang mendahului). Dkl mengantisipasi antecedent dari target tingkah laku.
4.      note the place  (mencatat tempat), mengacu pada tempat tingkah laku muncul
5.      note the time (mencatat waktu), mengacu pada lamanya tingkah laku muncul
6.      mengidentifikasi konsekuen, mengacu kepada kejadian-kejadian yang menyertai suatu tingkah laku
7.      mengidentifikasi penguatan positif dan stimuli aversif
8.      merencanakan dan mengimplementasikan program
9.      monitor program
10.  mengevaluasi dan menyesuaikan program
Referensi:
Albert J. Kearney. 2008. Understanding Applied Behavior Analysis: An Introduction to ABA for Parents, Teachers, and other Professionals. Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers
W. David Pierce dan Carl D. Cheney.  2004. Behavior Analysis and Learning. Mahwah, New Jersey: LAWRENCE ERLBAUM ASSOCIATES, PUBLISHERS