Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

April 28, 2010

HAKEKAT ANALISIS TINGKAH LAKU BAGIAN 1


Pengantar
Setiap individu menampilkan berbagai model atau karakter tingkah laku yang berbeda dan unik. Dalam uraian berikut kita akan membahas hakekat analisis tingkah laku dalam beberapa 2 aspek, yakni: tingkah laku dan analisis tingkah laku.

Tingkah laku 
Apa tingkah laku itu?
Tingkah laku menurut Webster dictionary didefinisikan sebagai cara, gaya, sikap memimpin diri. Ada juga yang mengatakan “cara kita bertindak”. Sementara itu menurut para psikologis behavior, tingkah laku didefinisikan sebagai tindakan yang eksternal atau internal yang kelihatan dan terukur dari suatu organism (behavior is any external or internal observable and measurable act of an organism). Di samping itu terdapat juga definisi yang berasal dari Skinner (1938), yang mendefinisikan tingkah laku sebagai “pergerakan organism atau bagian-bagian dari organism dalam sebuah kerangka acuan yang ditentukan oleh berbagai obyek eksternal”. Dari beberapa definisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa tingkah laku adalah cara, sikap, gaya kita bertindak yang dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal

Tingkah laku dapat diukur
Tingkah laku dapat diukur berdasarkan dimensi-dimensi sebagai berikut:
Topografi : mengacu pada bentuk tingkah laku, misalnya: memukul, menangis, menulis, melempar, menggambar, menjawab pertanyaan
Jumlah: mengacu pada berapa kali (jumlah) tingkah laku muncul pada suatu periode waktu tertentu, misalnya memukul temannya 5 kali dalam 30 menit, mengerjakan 30 soal dengan benar dalam waktu 60 menit,dst
Durasi : mengacu pada lamanya tingkah laku muncul, misalnya melukis gambar mobil selama 30 menit, menonton sepak bola selama 45 menit, dst
Latensi : mengacu pada berapa lama waktu yang diperlukan untuk memunculkan tingkah laku, misalnya guru menyuruh murid membersihkan sampah, tingkah laku membersihkan sampah muncul 5 menit kemudian, dst
Kekuatan : mengacu pada kuat lemahnya tingkah laku, mencuci celana sampai robek, berteriak, dst
Tempat (locus) : mengacu pada tempat tingkah laku muncul, misalnya menyanyi di depan kelas, memukul teman di sekolah, dst

Tingkah laku sebagai hasil belajar
Tingkah laku manusia paling banyak merupakan hasil dari satu atau lebih dari tiga factor yang biasanya bertindak bersama –sama. Tiga factor ini adalah:
1. Factor keturunan atau factor genetic
2. Perubahan psikologis yang terjadi pada kita setelah konsepsi (seperti efek dari penyakit dan kejadian)
3. Pengalaman perubahan tingkah laku yang disebut dengan pembelajaran
Pembelajaran mengarah kepada kemahiran (acquisition), pemeliharaan (maintenance), dan perubahan dari tingkah laku organism sebagai hasil dari peristiwa (events) atau kejadian-kejadian sepanjang hidup. Tingkah laku meliputi hal itu semua juga meliputi tingkah laku yang tersembunyi seperti berpikir dan merasakan. Tingkah laku manusia diakibatkan oleh variasi sebab. Sebab-sebab tingkah laku itu berasal dari dalam dan dari luar diri manusia.
Asumsi dasar dalam analisis tingkah laku yakni bahwa semua tingkah laku dipelajari. Hal ini berarti bahwa baik tingkah laku bermasalah maupun tingkah laku normal ditunjukkan oleh murid karena tingkah laku itu telah dipelajari oleh murid tersebut. Bila kita memiliki murid yang patuh pada peraturan, bermain dengan baik bersama dengan temannya, dan tahu bagaimana menggunakahn bahan-bahan pelajaran dengan baik, kita biasanya mengatakan bahwa tingkah laku itu merupakan hasil didikan orang tua yang hati-hati dan bertanggung jawab, yang patut menerima penghargaan karena telah mengasuh anak-anaknya dengan baik. atau juga kita akan mengatakan bahwa guru di kelas sebelumnya telah bekerja dan mengajar dengan baik. bila para murid di sekolah menunjukkan tingkah laku normal dan baik, secara otomatis kita menasumsikan bahwa orang-orang dewasa yang bertanggungjawab telah menghasilkan tingkah laku itu.
Persoalannya adalah, bagaimana dengan anak-anak yang suka membolos, yang sering berkelahi, atau duduk menyendiri pada saat istirahat? Bagaimana dengan anak-anak yang tidak dapat menangkap pelajaran atau mengalami kesulitan dalam menggunakan waktu belajarnya? Bila kita menghadapi anak-anak bermasalah seperti ini biasanya kita akan mengatakan bahwa anak-anak ini mengalami gangguan emosional, mengalami gangguan kepribadian atau gangguan neuorologis. Biasanya kita akan menolak bahwa tingkah laku bermasalah tersebut juga merupakan suatu hasil belajar.

Lingkungan mempengaruhi tingkah laku
Seringkali kita mendengar orang berbicara tentang beberapa macam perbedaan dari lingkungan. Beberapa istilah yang berhubungan dengan lingkungan itu antara lain adalah:
- Lingkungan alami (natural environment). Kerap banyak orang berpikir tentang sesuatu yang besar di luar rumah atau tempat terbuka yang luas. Tetapi natural environment bisa juga berate lain. Seorang behaviorisme akan mengatakan lingkungan itu adalah lingkungan social. Ketika kita berpikir tentang lingkungan social berarti kita sedang berpikir tentang dunia nyata (real world) di mana kita menghabiskan waktu kita. bagi anak-anak, lingkungan alami ditendensikan sebagai ruang kelas. Di dalam kelas ada banyak factor yang bekerja bersama yang mempengaruhi tingkah laku anak.
- Prosthetic environment. Prosthetic environment adalah lingkungan yang membantu individu untuk berkelakuan lebih menyukai teman sebaya baik laki-laki maupun perempuan. Teman sebaya yang biasanya kita sebut sebagai teman bermain dapat membantu menyusun pembentukan tingkah laku dan juga cara mereka beradaptasi secara wajar.
- Therapeutic environment. Therapeutic environment adalah lingkungan yang dimaksudkan untuk membantu anak (murid/siswa) untuk pada akhirnya menjadi lebih bebas (independent) dari lingkungannya dan dapat berperilaku lebih suka tipikal teman sebayanya ketika berada dalam natural environment. Seringkali anak dengan problem tingkah laku yang serius memerlukan sebuah tempat yang special atau ruang kelas yang special di mana anak tersebut dapat mengungkapkan isi hatinya dan menjadi baik.

Stimulus
Dalam hubungan dengan pemahaman tentang lingkungan ini kita perlu mengerti satu aspek spesifik dari lingkungan yang disebut dengan stimulus. Stimulus adalah istilah umum yang digunakan untuk mendeskripsikan aspek spesifik dari lingkungan yang dapat dibedakan dari satu dan lainnya. Dalam studi istilah stimulus biasanya digunakan dalam referensi pada variable-variabel lingkungan yang oleh individu yang melakukan eksperimen dikontrol atau dimanipulasi dalam beberapa cara yang dapat menentukan pengaruh mereka pada tingkah laku yang tengah diselidiki. Stimulus dapat berupa kondisi, peristiwa, atau perubahan dalam dunia fisik. Stimuli terjadi baik di dalam maupun di luar tubuh, meskipun stimuli sebagian besar sering dikaji oleh analisis terapan tingkah laku di luar tubuh. Stimuli dapat berupa orang, tempat, dan sesuatu seperti cahaya, suara, rasa dan tekstur. Respon dan stimuli adalah konsep-konsep fundamental dalam menganalisis tingkah laku.

Tingkah laku dapat diubah dengan mengubah lingkungan
Skinner dalam tesisnya mengatakan bahwa “When an organism acts upon the environment in which it lives, it changes that environment in ways that often affect the organism itself. Some of these changes are what the layman calls rewards, or what are generally referred to technically as reinforcers: when they follow behavior in this way they increase the likelihood that the organism will behave in the same way again” (Ferster &Skinner, 1957, p. 1). Dari sini kita dapat mengatakan bahwa lingkungan (environment) sangat mempengaruhi perubahan tingkah laku individu (organism). Perubahan tingkah laku itu bisa terbentuk karena reward (ganjaran, hadiah) atau bisa juga karena reinforcerment ( penguatan). Jika demikian maka tingkah laku itu sesungguhnya dapat diubah dengan mengubah lingkungan (dengan rewards dan reinforcement). Dengan kata lain bahwa tiap lingkungan dapat diatur kembali untuk mengajarkan bagaimana menunjukkan tingkah laku yang baru dan lebih adaptif bagi individu (organism)

Tingkah laku bermasalah (maladaptive behavior)
Maladaptive behavior adalah tingkah laku yang tidak efektif dalam menerima tujuan atau cita-citanya dan atau konsekuensinya tak dikehendaki oleh yang lain. Kebalikan atau lawan dari tingkah laku ini adalah adaptive behavior, yaitu tingkah laku yang diterima secara social yang efektif atau fungsional dalam melayani tujuannya. Berikut disajikan beberapa asumsi dari tingkah laku bermasalah (maldaptive)

Asumsi tingkah laku bermasalah dalam kajian pendekatan konseling behavior
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negative ataun tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan
Tingkah laku yang salah hakekatnya yang terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah
Individu bermasalah ini mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negative dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptive terjadi juga karena kesalahpahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat
• Seluruh tingkah laku individu di dapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar  

Asumsi tingkah laku bermasalah dalam kajian pendekatan konseling Gestalt
Individu yang bermasalah terjadi karena pertentangan antara kekuatan “top dog” dan kebeadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensive, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi
Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self)
Terjadi pertentangan antara keberadaan social dan biologis
Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan datang
Melarikan dari kenyataan yang harus dihadapi
Spectrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi: Kepribadian kaku (rigid), Tidak mau bebas bertanggung jawab, ingin tetap tergantung, Menolak berhubungan dengan lingkungan, Memelihara unfinished business, Menolak kebutuhan diri sendiri, Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”

Asumsi tingkah laku bermasalah dalam prespektif konseling rasional emotif
Dalam perspektif konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irasional
Ciri-ciri berpikir irasional: Tidak dapat dibuktikan, Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu, Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif

Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional
 Individu tidak berpikir jelas tentang saat ini dan yang yang akan datang, antara kenyataan dan imajinasi
 Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain
 Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media

Indikator keyakinan irasional
o Bahwa manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan
o Bahwa banyak orang dalam kehidupan masyarakat bertindak tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan dan dihukum
o Bahwa kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya
o Bahwa lebih mudah menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu daripada berusaha untuk menghadapi dan menanganinya
o Bahwa penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut
o Bahwa pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang
o Bahwa nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu

Beberapa istilah berhubungan dengan tingkah laku
- Behavior modification merupakan aplikasi dari hukum-hukum yang telah diperoleh dari pembelajaran atas tingkah laku manusia.
- Target behavior adalah suatu target tingkah laku yang berfungsi untuk mengubah
- Response adalah suatu tingkah laku yang dengan segera dan dengan prediksi mengikuti sesuatu yang terjadi di dalam lingkungannya
- Trial adalah suatu term yang mengacu kepada satu usaha atau percobaan, pengulangan, atau contoh dari suatu tingkah laku, yang sering diterapkan dalam membangun suatu situasi untuk belajar (mempelajari) tingkah laku
- Maladaptive behavior adalah tingkah laku yang tidak efektif dalam menerima tujuan atau cita-citanya dan atau konsekuensinya tak dikehendaki oleh yang lain.
- Adaptive behavior adalah tingkah laku yang diterima secara social yang efektif atau fungsional dalam melayani tujuannya.
- Verbal behavior adalah suatu kemampuan yang sangat penting dalam komunikasi dengan satu sama lain (tekanan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi)
- Mand adalah suatu permintaan atau permohonan, yang digunakan dalam terminology tingkah laku verbal yang artinya untuk meminta sesuatu.
- Tact adalah term verbal behavior yang lain yang secara esensial berarti nama atau lebel sesuatu.
- Covert behavior merupakan suatu tingkah laku yang tidak dapat secara langsung diobservasi atau diamati oleh public. Covert behavior mengacu kepada tingkah laku seperti berpikir, berimajinasi, berperasaan.

Analisis tingkah laku 
Apa analisis tingkah laku itu?
Satu keuntungan yang besar dari penggunaan pendekatan behavior adalah untuk membantu memecahkan persoalan dengan menyusun metode evaluasi secara atas prosedur yang digunakan untuk treatmen terhadap masalah-masalah itu. Kemudian kita dapat membuat keputusan perlakuan atau tindakan yang didasarkan pada metode ilmu pengetahuan dan penilaian yang menggunakan obyek periistiwa dan data actual daripada pendapat dan pemikiran sendiri. Dengan pendekatan ini perlakuan dapat dilanjutkan, disesuaikan atau bisa juga tidak dilanjutkan dan digantikan dengan didasarkan pada peristiwa dan obyek data.
Ketika seseorang melakukan tindakan atau tingkah laku tertentu, seringkali kita bertanya,”apa yang membuat seseorang itu melakukan tindakan atau bertingkah laku seperti itu”. Pertanyaan ini adalah wajar namun tidak ada jawaban yang memuaskan untuk semua kasus. Beberapa tingkah laku mungkin dibentuk (dilakukan) oleh orang yang berbeda dengan alasan yang berbeda, bisa juga tingkah laku itu dilakukan oleh orang yang berbeda dengan alasan yang sama dan orang yang sama mungkin membentuk atau melakukan tingkah laku yang sama pada saat atau waktu yang berbeda dengan alasan yang berbeda pula.
Behavior analysis adalah sebuah definisi yang jelas mengenai prosedur yang dilakukan secara bertahap yang dapat digunakan oleh kita untuk memperbaiki tingkah laku murid atau seseorang. Selain itu dapat juga dapat dikatakan sebagai suatu metode menprediksikan (memperkirakan) suatu problem situasi dan merencanakan apa yang akan dilakukan untuk memecahkannya (albert, p. 59). 

Fungsi analisis tingkah laku
Term analisis fungsional dan fungsional penilaian tingkah laku sering digunakan dalam pembicaraan tentang cara memandang dan mengira ira masalah-masalah tingkah laku. Mereka harus melakukannya dengan mengidentifikasi variable-variabel yang adalah fungsi sebuah tingkah laku, apa pun artinya.
Analisis fungsional mengacu kepada suatu pendekatan yang lebih didasarkan pada ilmu pengetahuan yang menyusun banyak factor atau variabel-variabel tak berubah (atau konstan), yang secara intensional mengubah factor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi target tingkah laku.
Fungsi penilaian tingkah laku adalah secara umum, suatu term yang lebih luas dalam mana sebuah fungsional behavioral assessment menyusun sebuah analisis fungsional, tetapi juga menyusun tipe-tipe informasi sebagai laporan ulang dan mewawancarai orang dewasa yang tahu anak-anak yang baik. tujuan adalah untuk mencapai pemahaman dari hubungan antara tingkah laku anak-anak dan variasi factor-faktor yang mungkin mempengaruhi tingkah laku.

Bagaimana menganalisis tingkah laku 
Menurut ABA terdapat 10 langkah dalam menganalisis tingkah laku yaitu
1. Menentukan target tingkah laku. Langkah ini merupakan proses dua arah yaitu pertama mengidentifikasi tingkah laku yang akan dikurangi (diubah=sasaran deselerasi) dan kedua mengidentifikasi tingkah laku yang akan dikehendaki supaya muncul (sasaran akselerasi).
2. Find the baseline
Mencari atau menemukan bagaimana sering anak membentuk (memainkan) target tingkah laku dibawah keadaan yang khas. Tujuan dari baseline adalah untuk membantu dalam memonitor target tingkah laku.
3. Mengidentifikasi antecedent (perilaku yang mendahului). Dkl mengantisipasi antecedent dari target tingkah laku.
4. note the place (mencatat tempat), mengacu pada tempat tingkah laku muncul
5. note the time (mencatat waktu), mengacu pada lamanya tingkah laku muncul
6. mengidentifikasi konsekuen, mengacu kepada kejadian-kejadian yang menyertai suatu tingkah laku
7. mengidentifikasi penguatan positif dan stimuli aversif
8. merencanakan dan mengimplementasikan program
9. monitor program
10. mengevaluasi dan menyesuaikan program

Referensi Utama:
Albert J. Kearney. 2008. Understanding Applied Behavior Analysis: An Introduction to ABA for Parents, Teachers, and other Professionals. Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers
W. David Pierce dan Carl D. Cheney. 2004. Behavior Analysis and Learning. Mahwah, New Jersey: LAWRENCE ERLBAUM ASSOCIATES, PUBLISHERS


April 26, 2010

Hakikat Konseling Lintas Budaya


A. PRESPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA

Banyak hal saat ini dikendalikan oleh pemahaman tentang perubahan cepat menuju masyarakat multirasial, multikultural, dan multigual (Sue, 1991; Sue & Sue, 1990). Masa lalu masarakat berpola dengan cara pandang utama monokultural dan monoligual dan telah menjadikan “encapsulated counselor” (Wrenn, 1962)
Diversifikasi Amerika
Sensus amerika tahun 1990 (the 1990 U.S. sensus) mengungkap saat ini amerika berbeda dalam perubahan demografi yang radikal. Tren populasi ini disebut sebagai “diversitifacation of Ameica” sebagai akibat dari (a). Pola imigrasi saat ini dan (b). Perbedaan rentang kelahiran antara kulit putih dan ras serta etnis minoritas lain. Saat ini imigran terdiri dari keturunan Asia (34%), Latino (34 %) dan selebihnya ras lain, populasi yang tumbuh tercepat adalah penduduk Amerika keturunan Asia yang berkembang mendekati 80% pada tahun 1980an. Semetara Latino telah mencapai 55 juta dan akan menjadi populasi terbesar dalam 2025, sementara itu angka kelahiran kulit putih menurun dan lebih kecil dibanding ras dan etnis lainnya (White American = 2,9; African Americans = 2,4, Mexican Americans = 2,9; Vietnamese = 3,4; Latians = 3,6; Cambodians = 7,4; dan Hmongs = 11,9/per ibu).
Implikasi pertumbuhan ini berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan sosial termasuk ketenagakerjaan yang diwarnai latar belakang ras dan etnis yang berlainan. Para pendidik dan konselor akan menghadapi realita demografis didalam kerjanya.

Kenyataan Pelatihan Model Monokulltural
Beberapa literatur menyatkan bahwa pendekatan dan teknik konseling tradisional tidak efektif diterapkan pada ras dan etnis monoritas penduduk di Amerika (Bernal & Padilla, 1982, dkk). Profesional konseling memahami ras, kultur, dan etnik sebagai fungsi dan bukan dibatasi “hanya pada minoritas” tertentu saja. APA (Americans Psychologist Association) telah memberikan sinyal harapan dengan nilai memproses revisi anggaran rumah tangga dan etika dasar (Bylaws dan Ethical Priciples) untuk merefleksi perbedaan budaya. Pada musim semi 1990 sub komite budaya dan perbedaan individu telah me-review Criterion II of APA “Criteria for Accreditation” hasilnya mengambarkan bahwa multibudaya merupakan hal yang tidak terpisahkan, harus dikembangkan dan berbeda dalam seluruh program pelaksanaan.
Realitas Sosial Politik
Profesi konseling seringkali merefleksikan nilai-nilai masyrakat luas (Kats, 1985; Sue & Sue, 1990). Beberapa refrensi menyebut konseling sebagai “tangan utama status quo” dan “penyabung nilai-nilai masyarakat”. Hal ini mengidikasikan bahwa konseling memiliki potensi dalam sosial politik yaitu:
a. Cara pandang konselor dan klien terhadap dunianya pada akhirnya terkait dengan sejarah dan pengalaman terkini tentang rasisme dan tekanan AS (Atkinson, Morten & Sue, 1989, dkk)
b. Para profesional konseling perlu memahami bahwa pelaksanaan konseling tidak terpisah dengan peristiwa-peristiwa besar di masyarakat

Penelitian dan konsep tentang multikultural
Sistem nilai-nilai kelas menegah para kulit putih, seringkali terefleksi dalam penelitian konseling dan psikologi tentang ras dan etnis minoritas. Berdasar sejarah terdapat tiga model yang cukup hangat dalam mengkonseptualisasikan penelitian bertemakan ras dan bahasa kaum minoritas (Casas, 1987; Katz, 1985; Ponterotto, 1988; Sue & Sue, 1990). Pertama tentang inverioritas dan pathological. Premis dasar menyatakan bahwa para minoritas lebih rendah tingkat evolusioner-nya, (lebih primitiv) dan patologis dari pada kaum kulit putih, model kedua menyatakan para kulit hitam, ras, dan minoritas lain tidak cukup secara biologis dibandingkan dengan kulit putih. Sementara kaum minoritas lebih rendah secara biologis dan genetis, ketiga model penurunan budaya, yang menyatakan para ras dan kaum minoritas tidak memiliki “budaya yang bener”
Dalam sepuluh tahun terakhir, konsep-konsep baru berbeda model, muncul dalam literatur, seringkali muncul seperti: culturally different model (Katz, 1985; Sue, 1981), multicultural model (Johson, 1990), Culturally pluralistik model atau Culturally diverese model (Pototerotto & Cassas, 1991), model-model baru ini membuat beberapa asumsi:
a. Pertama keyakinan bahwa pendekatan budaya tidak sama dengan Deviancy, pathologi, atau inveriority.
b. Rasial dan minoritas etnis adalah bicultural dan berfungsi dalam dua kontek budaya yang berbeda
c. Bilcultural dipandang sebagai kualitas positif dan diharapkan memperkaya potensi kehidupan dalam segala lapisan
d. Individu-individu dipandang dalam hubungannya dengan lingkungannya dan kekuatannnya dan kekuatan sosial yang lebih besar, daripada secara individual atau kelompok minoritas


Isu-isu etika
Para fropesional tampa latihan dan kompetensi kerja dengan klien dengan latar belakang budaya berbeda, adalah tidak etis, jika percaya bahwa pandangan multikultural dapat dipandang sebagai malajustment dalam masyarakat yang pluralistik (Szapoeznic, Santisteben, Durtines, Pres Vidal & Hervis, 1983). Konselor yang tidak sadar akan basis perbedaan yang terjadi antara individu dan budayanya, akan menyalahkan karakteristik-karakteristik negatif dari suatu budaya, diperlukan kesadaran tentang kondisi konselor, kondisi kliennya, dan sistem sosial poliik agar konselor tidak terjebak dalam praktek yang tidak etis dan berbahaya.


B. KOMPETENSI DAN STANDAR KONSELING LINTAS BUDAYA
Jelaslah bahwa kebutuhan konseling lintas mudaya diperlukan dan sangat penting terkait penerapan etika dan kebutuhan kerja profesional konseling

Kompetensi konselor litas budaya
Sue & Sue (1990) mengorganisir karakteristik konselor dalam tiga dimensi:
a. Konselor yang berketarampilan budaya adalah seorang yang aktif berproses menjadi sadar terhadap anggapan-anggapannya tentang tingkah laku manusia, nilai-nilai, bias-bias, keterbatasan pribadi, dan sebagainya
b. Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif memahami pandangannya terhadap perbedaan budaya klien tampa penilaian yang negatif
c. Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif dalam proses pengembangan dan menerapkan secara tepat, televan, dan sensitif menggunakan startegi dan keterampilan intervensi sesuai dengan perbedaan budaya klien

Dimensi Kompetensi Kultural
Kompetensi konseling lintas budaya terbagai atas tiga dimensi yaitu: (a) Keyakinan dan sikap, (b). Pengetahuan, (c). Keterampilan (Carney & Kahn, 1984; Sue, 1982). Penjelasan dari tiga dimensi tersebut adalah:
a. Keyakinan dan sikap konselor terhadap ras dan etnis minoritas, kebutuhan meneliti bias-bias dan steriotipe, pengembagan menuju orentasi positif multikulturalisasi, nilai-nilai dan bias-bias konselor yang menghalangi efektifitas konseling lintas budaya
b. Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap cara pandangnya sendiri, memiliki pengetahuan khusus tentang budaya kelompok partner kerjannya, memahami pengaruh sosiopolotik
c. Memiliki keterampilan khusus bekerja kelompok minoritas


Kompetensi-kompetensi konseling litas budaya: sebuah kerangka kerja konseptual
Pembahasan kompetensi konselor lintas budaya dikembangkan atas kemungkinan 3 karakteristik X 3 dimensi sebagai dasar matrik pengembangan, dalam tiga karakteristik tersebut memiliki tiga dimensi dengan demikian secara keseluruhan terdapat sembilan kompetensi konselor litas budaya, untuk lebih jelas sebagai berikut:
a. Kesadaran konselor terhadap asumsi-asumsi, nilai, bias-biasnya sendiri
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya harus mengubah ketidaksadarannya menuju kesadaran budaya serta cukup sensitif terhadap warisan budaya sendiri untuk menilai dan menghormati perbedaan-perbedaan
- Konselor lintas budaya menyadari bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman, sikap, nilai-nilai, dan bias-bias berpengaruh pada proses psikologis
- Konselor lintas budaya dapat mengenali keterbatasan kompetensi kliennya
- Konselor lintas budaya menikmati perbedaan dirinya dengan klien mencakup ras, etnis, budaya, maupun kepercayaan
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus tentang rasial, warisan budaya, dan bagaimana hal tersebut secara pribadi dan secara profesional mempengaruhi pengertian-pengertiannya, bias-bias normalitas-abnormalitas, serta proses konseling
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana tekanan, rasial, deskriminasi dan striotipe mempengaruhi pribadi dan kerjanya
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dampak sosialnya berpengaruh pada orang lain. Mereka tahu tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gayanya bertentangan atau menunjang proses konselingnya, dan tahu bagaimana mengantisifasi akibat-akibatnya pada orang lain
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya mencari bidang pendidikan, konsultasi, dan pengalaman pelatihan dalam memperkaya pemahamannya dan efektifitas kerjannya dalam populasi budaya yang berbeda. Untuk mengenali keterbatasan kopetensinya mereka harus: berkonsultasi, studi atau latihan lanjutan, menjadi lebih berkualifikasi, terlibat dalam tiga aspek tersebut
- Konselor lintas budaya secara konstan mencari pemahaman dirinya sebagai rasial, berbudaya dan secara aktif mencari identitas non rasial

b. Pemahaman cara pandang terhadap perbedaan budaya klien
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik lain yang terbukti murugikan proses konseling
- Konselor litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi rasial dan kelompok minoritas lainnya
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
- Konselor lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan ketidaktepatan pendekatan konseling
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
- Konselor lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar seting konseling

c. Pengembangan strategi intervensi dan teknik-teknik yang tepat
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya menghargai keagamaan dan keyakinan klien serta keyakinan dan nilai-nilai fungsi-fungsi fisik dan mental
- Konselor lintas budaya menghormati praktek-praktek bantuan pribumi menghormati jaringan bantuan intrinsik masyarakat minoritas
- Konselor lintas budaya menghormati ke-dwibahasaan dan tidak memandang bahasa lain sebagai halangan untuk konseling
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang jelas, eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi dan bagaimana jika dia bertentangan dengan nilai-nilai budaya dari berbagai kelompok minoritas
- Konselor lintas budaya sadar akan hambatan secara lembaga yang menghambat para kaum minoritas memanfaatkan layanan kesehatan mental
- Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan tentang potensi bias alat-alat pengukuran dan menggunakan prosedur, mengiterprestasi temuan berdasar budaya dan karakteristik bahasa klien
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga para minoritas, herarki, nilai-nilai, dan keyakinan
- Konselor lintas budaya sadar akan relevansi perbedaan praktek-praktek pada tingkat sosial dan komunitas tertentu yang memungkinkan mempengaruhi kesejahteraan psikologis populasi yang mendapat pelayanan

3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya memiliki keterampilan dalam berbagai macam respon verbal maupun nonverbal, mereka dapat mengirim dan menerima respon verbal maupun non verbal secara akurat dan tepat. Dia juga dapat mengatisipasi akibat negatif keterbatasan dan ketidaktepatan cara/gaya bantuannya
- Konselor lintas budaya dapat melatih keterampilan intervesi secara lembaga atas nama kliennya. Mereka dapat membnatu klien menentukan masalah mana yang bersumber dari rasisme, atau bias-bias lain, sehingga klien secara tidak tepat menyalahkan dirinya
- Konselor lintas budaya tidak menentang untuk mencari konsultasi secara tepat dengan para penyembuh tradisional, para religius, para pemimpin agama, para praktisi, dalam proses tretmennya pada klien yang berbeda budaya
- Konselor lintas budaya bertanggung jawab atas interaksi dalam bahasa-bahasa yang diminta klien; hal ini juga memungkinkan reveral ke pihak luar secara tepat. Permasalahan yang sering muncul adalah konselor tidak memiliki kemampuan bahasa sesuai dengan klien. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan: 1) mencari terjemah yang memiliki pengetahuan bahasa dan latar belakang profesi yang tepat, 2). Menunjuk konselor yang cakap dalam dwibahasa
- Konselor lintas budaya memiliki keahlian dalam menggunakan intrumen testing dan pengukuran tradisional
- Konselor lintas budaya dapat menghadirkan dan juga menghilangkan bias, prasangka, dan praktek-praktek diskriminasi
- Konselor lintas budaya bertanggungjawab membelajarkan klien dalam prose intervensi psikologi seperti tujuan, harapan, keabsahan, dan orentasi konselor.

C. Pendekatan Emic dan Etic
Konselor litas budaya memasukkan pendekatan informal adalah mengunakan kontributor terhadap konseling lintas budaya yaitu berusaha menyampaikan pengharapan conseli tentang latar belakang budaya berbeda, dengan mendorong kesadaran untuk menetralkan masalah dalam memperoses konseling lintas budaya bagi pengalaman klien. Konselor yang berorentasi emic dihasilkan berdasarkan konsep, dan pendekatan yang indigen terhadap budaya, sedangkan konseling berorentasi etik didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan antara budaya adalah kuantitatif dan konsep dasar diaplikasikan
Apa yang hendak didorong pengarang adalah pergeseran dari pandangan etic kepada emic, dan sebaliknya, melalui improvisasi dan pencampuran kreatif dua perspektif tersebut, kadang-kadang dengan mengintegrasikannya ke dalam konseptualisasi dan teknik. Orientasi yang mereka sampaikan menunjukkan tarik menarik dengan formulasi Berry (1969)


TEKNIK VERSUS HUBUNGAN
Generalisasi secara tentatif menyatakan bahwa hubungan variabel-variabel lebih kuat ketika ditransfer antar budaya daripada dalam teknik khusus, seperti yang disampaikan oleh refleksi perasaan, menonjol dan populer pada waktu itu. Beberapa pengarang menggabungkan pengakuan pentingnya ‘fleksibilitas teknik,... sensitivitas pribadi dan keterbukaan terhadap intervensi aktif dan langsung’ (Draguns, 1976), Untuk membantu konselor mengimplementasikan prinsip-prinsip umum ini, berikut disampaikan :
Dalam mengadaptasikan teknik (misalnya level aktivitas umum, mode intervensi verbal, konteks remark, nada suara) dengan latar belakang budaya dari klien; penerimaan komunikasi dan penghargaan klien dalam bentuk makna dan kepintaran di dalam kerangka budaya dia sendiri; dan keterbukaan terhadap kemungkinan intervensi langsung dalam kehidupan klien daripada etos tradisional yang ditentukan atau dibolehkan oleh konselor.

KONSELING BUDAYA SEBAGAI PROSES PEMBELAJARAN BILATERAL
Kontributor edisi pertama Konseling Lintas Budaya mengakui bahwa Konseling Lintas Budaya melibatkan pengalaman pembelajaran bilateral di mana baik konselor ataupun klien berpartisipasi, dan di mana keduanya terpengaruh, klien memperoleh perubahan menguntungkan. Namun kontak dan interaksi budaya di secara pribadi bermanfaat dan secara emosional mengisi hubungan, karakteristik pengalaman konseling selalu mempengaruhi konselor dengan baik. Pertama, terdapat pengalaman perbedaan yang tidak dapat dihindari. Dari ini seringkali terdapat reaksi yang sulit dan kadang-kadang menyakitkan, pikiran terbuka dan konselor perseptif dapat belajar banyak tentang dirinya dan pandangan mereka tentang budaya lain. Dalam proses tersebut, mereka dapat meningkatkan sensitivitas dan kompetensi lintas budaya.
Sebuah keuntungan insidental bagi konselor konseling lintas budaya ditemukan dalam pandangan klien yang menyampaikan pengalaman subyektif tentang budaya lain

KONSELING LINTAS BUDAYA SEBAGAI USAHA BERORIENTASI MASA DEPAN
Prince (1963) telah pergi ke Nigeria dan membawa kembali dua kesimpulan penting: berdasarkan irrelevansi teknik terapi barat yang tidak dimodifikasi dan tentang efektivitas intervensi pribumi (indigenous). Torey (1972) telah menyampaikan kasus untuk mengidentifikasi isi efektif psikoterapi dalam non barat tradisional dan psikoterapi Euro-American, Konsensus dalam bidang tersebut menekankan kesulitan-kesulitan lintas budaya dalam intervensi terapi (Wintrob 1976; Wohl 1976).




DAFTAR RUJUKAN

Pedersen, P.B. 1991. A conceptual framework. Journal of Counseling and Development. Vol 70. No 1. hal 5.

Pedersen, P.B. 1991. Multiculturalisme as a generic counseling and development. Journal of Counseling and Development. Vol 70. No 1. hal 6-12

Pedersen, P.B.; Draguns, J.G.; Lonner, W.J. dan Trimble, J.E. 2002 Counseling Across Cultures. 5th Edition. London: Sage