Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

November 27, 2017

MODEL EXPERIENTIAL LEARNING DAVID KOLB



A.  Pengantar
Salah satu aspek penting dalam sebuah pelatihan adalah pemilihan model pelatihan. Berdasarkan kajian yang dilakukan maka model pelatihan yang dianggap mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam mengelola emosi adalah model experiential learning. Alasan pemilihan model pembelajaran ini adalah karena experiential learning merupakan model pembelajaran yang holistik. Disebut holistik karena memperhatikan aspek-aspek yang dipandang penting dalam sebuah pembelajaran yaitu afektif, kognitif dan emosi.
Experiential learning mendefinisikan belajar sebagai proses bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman (Kolb, 1984). Experiential learning ini adalah proses belajar, proses perubahan yang menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran. Experiential learning adalah pembelajaran yang dilakukan melalui refleksi dan juga melalui suatu proses pembuatan makna dari pengalaman langsung. Experential learning berfokus pada proses belajar pada masing-masing individu. Experiential learning adalah suatu pendekatan yang dipusatkan pada siswa yang dimulai dengan landasan pemikiran bahwa orang-orang belajar yang terbaik itu adalah dari pengalaman.
Siklus empat langkah dalam experiential learning untuk proses belajar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) concrete experience (emotions), 2) reflective observation (watching), 3) abstract conceptualization (thinking) dan 4) active experimentation (doing). Adapun penjelasan singkat dari langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Concrete experience (emotions), adalah belajar dari pengalaman-pengalaman yang spesifik dan peka terhadap situasi.
2.    Reflective observation (watching), adalah mengamati sebelum membuat suatu keputusan dengan mengamati lingkungan dari persepektif-persefektif yang berbeda dan memandang berbagai hal untuk memperoleh suatu makna.
3.    Abstract conceptualization (thinking), adalah analisa logis dari gagasan-gagasan dan bertindak sesuai pemahaman pada suatu situasi.
4.    Active experimentation (doing), adalah kemampuan untuk melaksanakan berbagai hal dengan orang-orang dan melakukan tindakan berdasarkan peristiwa, termasuk pengambilan resiko.
Adapun gambaran siklus empat langkah dalam experiential learning David Kolb (1984) bisa dilihat pada gambar berikut:
Gambar: Siklus empat langkah dalam experiential learning David Kolb
Gambar tersebut memperlihatkan proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Melalui proses refleksi, seseorang berusaha memahami apa yang terjadi atau yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar proses konseptualisasi atau proses pemahaman yang mendasari pengalaman yang dialami serta perkiraan kemungkinan pengaplikasiannya dalam situasi atau konteks yang lain (baru). Maksudnya adalah kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata dan kemudian direfleksikan dengan mengkaji pengalaman tersebut.
Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak. Pengertian dan konsep abstrak itu menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau prilaku-prilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikatagorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikatagorikan dalam proses penerapan (taking action).

B.  Tahapan Dalam Pelatihan Model Experiential Learning
Pemilihan model pelatihan yang sesuai akan memberikan kontribusi yang sangat penting, apakah sebuah pelatihan dapat diterima atau tidak. Pemilihan model pelatihan dengan menggunakan experiential learning mengandung beberapa aspek, antara lain: 1) pengetahuan (konsep, fakta, informasi), 2) aktivitas (penerapan dalam kegiatan), dan 3) refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu) (Kolb, 1984). Materi-materi dalam panduan pelatihan keterampilan mengelola emosi dengan model experiential learning untuk siswa SMA ini merupakan materi yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan mengelola emosi marah, emosi takut dan emosi sedih.
Adapun pemilihan model belajar yang mencakup tiga aspek keterampilan tersebut merupakan bagian penting dalam menentukan sebuah metode pelatihan mengelola emosi, apakah efektif atau tidak. Tujuan akhir dari pelatihan keterampilan mengelola emosi adalah agar siswa mampu untuk mengontrol reaksi emosional terhadap pemicu-pemicu spesifik secara selektif sehingga siswa memiliki transfer of leraning, dengan begitu diharapkan mereka dapat mentransfer keterampilan mengelola emosi kedalam situasi di luar pelatihan atau dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya model belajar lainnya, dalam menerapkan model experiential learning konselor harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Adapun menurut Hamalik (2001), beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model belajar experiential learning, adalah sebagai berikut:
1.    Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) mengenai hasil yang potensial atau memiliki seperangkat hasil-hasil tertentu.
2.    Guru harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi pengenalan terhadap pengalaman.
3.    Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil atau keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman.
4.    Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu memecahkan masalah dan bukan dalam situasi pengganti.
5.    Siswa aktif berpartisipasi didalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusan sendiri, menerima konsekuensi sesuai berdasarkan keputusannya.
6.    Siswa menyajikan pengalaman yang telah dituangkan kedalam tulisan, sehubungan untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman tersebut.
Sesuai dengan model belajar experiential learning untuk membangkitkan emosi peserta pelatihan ada delapan cara yang bisa digunakan menurut Ekman (2003), dalam panduan pelatihan keterampilan mengelola emosi dengan model experiential learning untuk siswa SMA adalah sebagai berikut:
1.    Penilaian reflektif, bertujuan agar penilaian yang sifatnya otomatis tidak berperan di dalam mengelola emosi.
2.    Mengingat kembali suatu peristiwa yang berkaitan dengan emosi, tujuannya untuk memberi kesempatan belajar bagaimana merekonstruksi apa yang terjadi dalam kehidupan kita sehingga dapat kesempatan untuk merubah apa yang membuat kita emosional.
3.    Imajinasi, tujuannya melatih kembali dalam pikiran kita dan mencoba cara-cara lain untuk mengembalikan apa yang tengah terjadi, sehingga hal itu sesuai dengan yang biasa yang kita anggap sulit.
4.    Membicarakan pengalaman emosional masa lalu, tujuannya adalah menyebabkan kita untuk mengenali kembali emosi yang pernah dialami.
5.    Mengalami kembali perasaan yang kita punyai dalam episode emosional masa lalu.
6.    Menceritakan peristiwa yang membuat terbentuknya emosi tujuannya agar orang yang mendengarkannya bisa ikut larut dan berempati.
7.    Kekerasan norma.
8.    Memunculkan pengalaman emosional, yang mengubah fisiologi dengan mengambil penampakan sebuah emosional, (bukanlah cara yang paling umum untuk mengalami emosi).
Berdasarkan model experiential learning yang digunakan maka tahapan pelatihan keterampilan mengelola emosi terdiri atas empat tahapan. Adapun penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut:
1.    Concrete experience (emotions)
Tahap pengalaman nyata dilaksanakan dengan mengajak peserta latihan mengalami situasi yang tidak menyenangkan yang memungkinkan emosi-emosi negatif muncul. Situasi diciptakan melalui permainan, film, dan cerita pendek (cerpen) yang sesuai dengan jenis perasaan yang dilatihkan.
2.    Reflective observation (watching)
Tahapan observasi refleksi didapatkan melalui kegiatan observasi yang dilakukan siswa terhadap emosi-emosi yang mereka alami pada saat pelatihan dan mengidentifikasi penyebab terjadinya emosi.
3.    Abstract konceptualization (thinking)
Tahap konseptualisasi abstrak merupakan tahapan untuk memahami emosi-emosi yang telah direfleksikan. Melalui pemahaman tersebut peserta diharapkan mempunyai konsep baru yang dapat diterapkan bila menghadapi emosi tersebut dalam kehidupan nyata. Konsep baru tersebut berupa keterampilan mengelola emosi dengan merubah pikiran-pikiran negatif menjadi pikiran-pikiran positif, kemudian diimplementasikan dalam pengelolaan emosi dan tingkah laku yang positif.
4.    Active experimentation (doing)
Tahap eksperimentasi aktif merupakan tahap pemberian kesempatan kepada peserta pelatihan agar menerapkan pemahaman materi yang diperoleh pada pelatihan keterampilan mengelola emosi untuk diterapkan pada situasi yang sesungguhnya. Peserta pelatihan diberi tugas mencatat situasi yang dialami pada saat mengalami emosi (marah, takut, sedih) dengan menuliskanya pada format-format yang sudah disediakan.

C.  Daftar Pustaka
Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Ekman, P. 2003. Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feeling to Improve Comunication Andemotional Life 1sted. New York: Time Books Henry Holt and Company LLC.

KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN




A.       Tujuan Umum
Materi ini secara umum bertujuan agar mahasiswa:
1)      Memahami hakikat pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
2)      Memiliki keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang baik dan tepat

B.        Tujuan Khusus
Secara khusus materi ini bertujuan agar mahasiswa dapat:
1)      Menjelaskan pengertian pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
2)      Menjelaskan langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
3)      Menjelaskan alasan perlunya memiliki keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
4)      Berlatih menerapkan langkah-langkah pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam kegiatan pelatihan

C.       Apa yang dimaksud keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan kemampuan individu dapat mengidentifikasi masalah, mengklarifikasi masalah, mengetahui sebab-akibat masalah, mengambil keputusan, menyampikan pilihan, siap mengambil resiko, dan siap menerima konsekuensi atas apa yang telah diputuskan. (Van Reusen.1996).
Dubrin (2011) mengatakan terdapat enam langkah-langkah dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yaitu: (1) Kesadaran akan adanya masalah, (2) mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah, (3) mencari alternatif pemcahan, (4) mempertimbangkan alternatif dan membuat pilihan, (5) menerapkan pilihan, dan (6) mengevaluasi pilihan.

D.       Mengapa keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan itu penting
Setiap individu memiliki cara-cara tersendiri dalam menghadapi masalah, cara tersebut dipengaruhi oleh faktor belajar dan pengalaman yang diperoleh dari masa kanak-kanak. Artinya, seseorang akan menggunakan startegi penyelesaian masalah tertentu, karena sudah terbiasa menggunakannya. Terdapat bebrapa startegi dalam menyelesaikan masalah antara lain:
(1)      Penghindaran, merupakan cara menghadapi masalah dengan menganggap masalah seperti tidak ada. Kedua belah pihak enggan untuk membicarakan permasalahan dan membiarkan masalah berlalau dengan sendirinya.
(2)      Pembahasan dan keputusan masalah, merupakan cara menyelesaikan masalah dengan membahas dan mengambil keputusan permasalahan. Terdapat empat metode yang digunakan dalam starategi ini yaitu:
a.         Negosiasi, merupakan metode penyelesaian masalah yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan membicarakan permasalahan secara bersama dan langsung sehingga tercapai keputusan masalah yang disepakati bersama. Kedua belah pihak bersama-sama atas dasar saling pemahaman meninformasikan, mebahas, dan mengambil keputusan masalah dalam suatu perundingan. Mereka sepakat untuk saling mencapai keuntungan bersama dan mengurangi hal-hal yang saling merugikan, dengan tetap membina hubungan baik. Fokus negosiasi adalah pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan kedua belah pihak yang saling memuaskan.
b.         Mediasi, merupakan metode penyelesaian masalah dengan cara pihak ketiga secara netral membantu menfasilitasi pengambilan keputusan yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bermasalah. Mediasi dilakukan ketika cara negosiasi tidak bisa ditempuh, oleh karena itu pihak ketiga menfasilitasi upaya-upaya pertemuan bersama untuk membahas dan mengambil keputusan. Fokus mediasi adalah pihak ketiga menfasilitasi tercapainya kebutuhan, keinginan, dan harapan-harapan kedua belah pihak yang saling bisa diterima dan memuaskan
c.         Arbitasi, merupakan proses penyelesaian masalah dengan phak ketiga secara netral mengeluarkan keputusan penyelesaian masalah setelah mengkaji berbagai bukti dan mendengarkan argumen kedua belah pihak. Fokus arbitasi adalah hukuman, aturan, tata-tertib, dan nilai-nilai kebenaran yang lain.
d.         Litigasi, merupakan kombinasi atara mediasi da arbitursai artinya, sejak awal para pihak yang terlibat dalam konflik mencoba untu melakukan mediasi, tetapi jika tidak ditemukan pemecahannya amaka ditempuh cara arbiturasi.
e.         Agresi, penyelesaian masalah dengan cara menggunakan kekuatan untuk mengalahkan lawan, agresi dapat berupa perkelahian fisik sampai peperangan untuk menaklukkan lawan. Cara ini sering disebut sebagai berusaha untuk memenagkan diri dan mengalahkan yang lain. pada dasrnya ini merugikan kedua belah pihak yaitu keduanya kehilanagn keuntungan hubungan kerja sama, pengurasan energi dan sumber daya, terbengkalainya tujuan, dan potensi masalah tumbuh lagi.
E.        Langkah-langkah keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Menurut Friend dan Cook (2010; 26-53) menjelaskan Langkah-langkah dalam pemecahan masalah antara lain:
1.         Analisis konteks pemecahan masalah
Analisis konteks pemecahan masalah; langkah ini terdiri dari (1) menilai faktor yang berhubungan dengan keberhasilan dalam proses pemecahan masalah; pada tahap ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan (a) apakah peserta dapat berkomitmen untuk terlibat dalam pemecahan masalah, (b) apa yang akan terjadi bila masalah tersebut tidak ditangani?, (c) apakah peserta memiliki kemampuan yang diperlukan dalam mengatasi masalah?, (d) apakah masalah itu seimbang dengan waktu dan kemampuan dalam mengatasi masalah; (2) membuat keputusan bersama orang lain apakah pemecahan masalah secara interpersonal merupakan pendekatan yang tepat.

2.         Identifikasi masalah
Identifikasi masalah; (1) mencari data dan informasi dari berbagai sumber sehingga dapat menjelaskan masalah, serta menjaga pandangan dan pikiran yang berbeda pada peserta yang ikut dalam pemecahan masalah, (2) meggunakan masalah sebagai dasar penyataan dan bahasa yang secara spesifik, (3) memastikan bahwa semua peserta menyetujui diskrifsi dan identifikasi masalah yang akan dibahas.
Dalam menidentifikasi masalah, terlebih dahulu kita harus mencari penyebab terjadinya masalah tersebut. Terdapat beberapa tanda terjadinya suatu masalah antara lain: (1) adanya pandangan yang berbeda-beda (divergen), (2) ketidak sesuaian dan pertentangan pandangan, (3) upaya penghalangan pencapaian tujuan, keinginan, harapan dari kedua pihak yang saling berlawanan (Dubrin, 2009). Menurut Anoraga dalam Saputra (2003) terdapat empat paktor penyebab terjadinya masalah yaitu: (1) perbedaan pendapa antara pihak yang masing-masing menganggap dirinya paling benar, (2) kesalahpahaman menempatkan seseorang dalam cara pandang yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya, (3) tindakan yang dianggap merugikan pihak lain, (4) perasaan yang terlalu sensitif yang mengarah pada pemikiran negatif.
Identifikasi masalah merupakan langkah awal dalam pemecahan masalah, pada tahap ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalam menentukan masalah seperti apakah yang sedang dialami? Untuk memperoleh gambaran masalah itu, kita perlu mengidentifikasi masalah yang merupakan mengembngkan penertian seperti apakah masalah yang terjadi, ada beberapa pertanyaan yang menunjang langkah ini antara lain:
a.         Apa yang saya inginkan?
b.         Mengapa saya menginginkan hal tersebut?
c.         Apa yang saya fikirkan tentang cara-cara untuk mencapai keinginan saya?
d.         Apa yang diinginkan pihak lain?
e.         Mengapa mereka menginginkannya?
f.          Apa yang pihak lain fikirkan tentang cara-cara untuk mencapai keinginan tersebut.
g.         Apakah saya dan pihak lain memiliki saling pengertian yang baik tentang masing-masing keinginan, alsan-alasananya, keyakinan-keyakainannya dan perasaan-perasannya?
h.         Apakah masalah ini didasarkan pada salah pengertian atau merupakan masalah interes, keyakinan-keyakinan, prefrensi-prefensi, atau nilai-nilai?
i.          Seperti apakah detail hal tersebut.

3.         Memilih solusi yang tepat
Pemilihan solusi yang cocok; (1) menggunakan berbagai strategi khusus dalam mengusulkan solusi sebanyak mungkin untuk penyelesaian masalah, (2) membuat aturan seluas mungkin yang dapat diterima dalam mendorong berpikir, dan pandangan yang berbeda: termasuk mengevaluasi perbedaan soulusi, ide solusi yang bisa dan tidak bisa untuk dicatat secara tertulis.
Dalam memilih solusi masalah, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah brainstorming, dalam hal ini berbagai pihak menyajikan berbagai ide-ide kreatif dan mendorong memikirkan solusi yang terbaik yang saling dapat diterima. Masing-masing bebas menyatakan pendapat apa saja tampa ada komentar terhadapt ide yang dinyatakan. Dengan cara ini diharapkan masing-masing menyatakan ide sebanyak-banyaknya dan mendaftarnya. Selanjutnya dari ide-ide yang terdaftar itu dilakukan penyortiran terhadap ide mana yang dipilih dan diaplikasikan.
 Dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan ada bebrapa starategi yang dapat digunakan, menurut Jhonson (1993) yang menggunakan perumpamaan karateristik hewan dalam pemecahan masalah, antara alain:
a)         The trule (withdrawing) seperti kura-kura yang menarik diri untuk memasuki rumahnya dalam upaya mengindari masalah. Hal ini dilakukan disaat individu tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah, mereka mempunyai kepercayaan lebih baik menarik diri dari pada menghadapinya.
b)        The shark (forcing) atau seperti ikan hiu yang memaksa, yaitu mencoba menundukkan lawan dengan memaksa dan melawan kekuatan mereka dalam menyelesaikan masalah. Dimana individu lebih mementingkan tujuan dari pada hubungan dengan orang lain.
c)         The teddy bear (Smooting) yaitu seperti beruang yang lebih mementingkan hubungan dari pada tujuan. Individu berpikir masalah dihindari karena dapat merusak hubungannya dan jika masalah berlanjut akan mendapatkan luka. Lebih mementingkan minta maaf bukan berarti bersalah.
d)        The Fox (compromosing) seperti rubah dalam mencapai tujuan. Individu melakukan kompromi dengan cara memperhatikan pihak lain, tujuan dan hubungan sama-sama pentingnya.
e)         The Owl (confronting) meletakkan nilai tertinggi pada tujuan dan hubungan. Individu memandang masalah yang dapat dipecahkan dan dicari penyelesaiannya yang berdasarkan kemampuan tujuan yang dicapai.

4.         Evaluasi alternatif pemecahan masalah
Evaluasi alternatif pemecahan masalah; (1) menghilangkan solusi yang tidak mungkin untuk dilaksanakan dalam menghadapi masalah yang dihadapi, (2) mempertimbangkan solusi yang tidak digunakan dengan menggunakan strategi khusus dan mempertimbangkan masing-masing  kekurangan, (3) memilih salah satu atau lebih dari solusi yang potensial untuk dilaksanakan dan dipertimbangkan secara rinci, (4) membuat rencana secara rinci untuk solusi yang akan dilaksanakan, (5) mengatur waktu pelaksanaan secara efektif dari berbagai solusi yang dipilih.
Jika alteranatif solusi sudah dapat teridentifikasi, langkah selanjutnya adalah mengevaluasi beberapa opsi atau alterantif yang ditemukan dan melakukan pemilihan solusi. Ini melibatkan berbagai pertimbangan individual termasuk prefensi-prefrensi. Pertimbangan utama adalah kebermanfaatan bagi masing-masing.

5.         Penerapan solusi masalah
Melaksanakan solusi yang telah direncanakan, memantau konsitensi pelaksanaan. Setelah solusi terbaik dibuat segala keputusan harus dituangkan dalam persetujuan bersama (argretmen). Persetujuan ditulis dalam lembar kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak yang bermasalah. Kejujuran dan kesiapan menanggung resiko terhadap keputusan merupakan hal penting. Saling pengertian harus dibangun dan diarahkan menjadi saling kemauan untuk berkomitmen untuk menjalankan keputusan tersebut.

6.         Evaluasi hasil
Dalam mengevaluasi hasil pepecahan masalah ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan, antara lain:  (1) menggunakan data, untuk menentukan apakah solusi yang diimplementasikan itu tepat atau memiliki efek yang diinginkan, (2) membuat keputusan untuk (a) melanjutkan pelaksaan, (b) menghentikan solusi karena masalah sudah dapat teratasi, (c) mervisi solusi untuk meningkatkan pengaruh pada hasil, atau (d) menghentikan karena solusi yang tidak efektif untuk dilaksanakan, (3) jika solusi yang ditawarkan tidak efektif, menentukan alasan dan kembali memasuki pada titik proses pemecahan masalah (contoh, menghasilkan solusi yang lebih baik), (4) memiliki koneksi selama pemecahan masalah sehingga dapat membantu lebih banyak, sebagai contoh: dapat menggunakan bahan-bahan dari luar dalam mencari rincian materi permasalahan yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA
DuBrin, A, J. 2009. Human Relations Interprersonal Job Oriented Skills. Tenth edition. New jersey. Pearson Prentice Hall.
DuBrin, A, J. 2011. Human Relations for Career and Personal Sucess, Consepts, Application, and Skill. Boston. Pearson Prentice Hall.
Van Reusen, A. K. 1996. The Self-Advocacy Strategy for Education and Transition Planning. Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32.  No.1. 49 – 54.