Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

May 3, 2012

BUDAYA DAN KOGNISI


Oleh:
Wiryo Nuryono, Mandalikasari Iraratih Sucianingsih, Hariadi Ahmad

Identifikasi dan deskripsi pada celah antara kebudayaan dan telah disadari sejak tahun 1800an. Untuk pengetahuan lebih mendalam tentang upaya ini bisa didapatkan Berry dan Daseb (1974), Segall, Dasen, Berry dan Poortinga  (1990) dan Altarriba (1993).
Tiga pertanyaan besar studi lintas budaya dalam bidang kognitif
1.    Adakah perbedaan berkuantitatif dalam proses kognitif diantara kelompok kultur yang berbeda, atau adakah proses identik, dengan perbedaan jelas yang diakibatkan oleh perbedaan kultur yang masuk dalam proses?
2.    Banyakkah perbedaan kuantitatif dalam proses kognitif diantara kelompok yang berbeda kultur? yang mana, beberapa kelompok lebih mampu, lebih kompeten atau lebih pandai dalam kerjasama dari pada yang lainnya? Yang lebih penting lagi pertanyaan lain yaitu mampu untuk apa, kompeten untuk apa, dan pandai untuk apa.
3.    Apakah perkembangan karakteristik pada kegiatan kognitif (keduanya pada kualitatif dan kuantitatif) dan kesamaan organisasi pada seluruh kelompok kebudayaan ataukah berbeda antar kelompok? Bila perkembangan kesadaran dan organisasinya berfungsi besar pada pemaparan kapasitas biologi selama masa pendewasaan, maka kami akan berharap untuk menemukan sedikit fariasi antar kebudayaan kognitif, tetapi apabila berdampak besar pada kebudayaan maka kami berharap untuk menemukan sedikit kesamaan antar budaya.
Pertanyaan ini telah menarik perhatian psikolog antar budaya sepanjang zaman dan sama pentingnya pada bidang ini saat ini. Penyelidikan antar budaya bagaimanapun tidak disetujui pada pemikiran keunggulan-keterbelakangan pada kelompok kebudayaan yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa orang pada kelompok kebudayaan berbeda mengembangkan kemampuan yang berbeda dan mempelajari dunia dan memecahkan persoalan. Ada indikasi yang jelas bahwa kebudayaan tidak hanya menonjolkan kemampuan tertentu, tetapi juga pengaturan proses kognitif yang sesuai dengan konteks, dan kemampuan kognitif yang diperoleh (Cole, 1988, 1992); Irvine dan Barry 1988). Psikologi antar budaya dapat menerima adanya perbedaan, tetapi cobalah untuk mengerti bagaimana kesadaran perilaku dari setiap orang berbeda terbentuk dari pengalaman budaya yang mereka dapatkan. Bagaimanapun dari pada menyangkal adanya perbedaan dalam kesadaran, menafsirkan diri mereka pada terbentuknya pengalaman kebudayaan”pada setiap nilai, status atau hirarki pada perilaku kognitif atau, pada permasalan itu untuk individu dan kelompok. Mungkin ini tidak terlau popular pada awal sejarah penelitian pada kebudayaan dan kesadaran. Atau pada posisi ini dipegang oleh semua psikolog yang beberapa menempatkannya pada kelompok kemampuan kesadaran (e.g.,Rushton,1995).

Nature-nurture Controversy
Ada 2 kelompok yang memiliki pemikiran yang berhubungan dengan penelitian pada perkembangan kognitif yaitu nativists atau empirictists. Nativists menyatakan bahwa persepsi dan fenomena kognitif keturunan, dan adanya sifat yang melekat dalam menerima informasi dari stimulan dan persepsi bahwa dunia tidak meminta tafsiran aktif dari organisme. Sementara para empiris meragukan cara organisme menanggapi stimulasi pada lingkungan yang memberikan petunjuk yang merujuk pada pengalaman dan pembelajaran.
    Teori empiris telah mengambil beberapa formulir dalam perkembangan pembelajaran mereka. Yang paling banyak dipergunakan dalam penelitian antar kebudayaan kognisi adalah pendekatan fungsional yang mana menegaskan aspek adaktif pada organisme/ interaksi lingkungan. Pendekatan yang telah dipergunakan untuk menjelaskan berbagai persepsi dan fenomena kognitif (Berry, 1976; berry, van de Koppel, shenechal, annis, bahuchet, cavalla-sforza,& witkin, 1986; mishra, sinha & Berry, 1996).
    Inti sari dari nature-nurture controversy berhubungan dengan perkembangan kognitif yang terangkum dalam teori Jean Piaget. Menurut teori ini, seorang anak dalam perkembangannya melalui 4 tahapan (sensorimotor, preoprasional, operasional kongkrit dan operasional formal). Setiap tahapan memiliki karakter yang menampilkan struktur kognitif tertentu yang bekerja sama dengan stuktur sebelumnya. Sementara urutan pada tahapan ini dan perubahan berkualitas pada struktur kognitif pada setiap tahapan dipertimbangkan secara berfariasi dan universal, ajaran yang menyertakan pengaruh interktif pada lingkungan fisik (Piaget, 1974), dan transmisi kebudayaan sosial (Piaget, 1972) yang dapat merubah tingkatan perkembangan psikologi pada setiap tingkatan.

Permasalahan Empiris 
    Beberapa permasalahan empirik berhubungan dengan kognisi, literaturnya berberapa tahun terahir ini. Ini berhubungan dengan : (a) validitas inferens yang menggambarkan dari perilaku kognitif ( manifestasi pada data) tentang proses kognitif dan organisasi mereka, (b) validitas hubungan antara perilaku kognitif dan variasi kebudayaan, dan (c) validitas generalisasi yang terbentuk dari perilaku kognitif (tes skor) tentang kehidupan kognitif yang lebih luas yang mewakili aktifitas keseharian seseorang.
    Penggunaan tes pada kelompok kebudayaan yang salah satunya telah dirancang secara khusus telah membawa kepada kontrofersi yang kuat. Inti pertanyaan adalah apakah nilai tes memiliki arti yang sama untuk semua kelompok kebudayaan. Berhubungan dengan permasalahan utama ini adalah permasalahan dari “ kultur kejujuran pada tes dan transfer tes”  pada kebudayaan lain, keduanya telah menerima subtansi perhatian pada penelitian antar budaya (Irvine& Barry, 1983;1988; poortingga & van der Flier, 1988). Bukti menyarankan bahwa kultur kejujuran pada tes hanyalah sebuah kebohongan; tidak berguna untuk melakukan tes transfer yang dibuat untuk kebudayaan yang berbeda yang diatur oleh dasar yang sangat besar, dan tidak mudah untuk menggambarkan kesimpulan tentang proses kognnitif hanya dengan berdasarkan tes performance (tes skor).
    Pengertian pada perkembangan kognisi dan kognitif pada perspektif dibutuhkan observasi awal pada apa yang dilakukan seseorang sehari-harinya. Dugaan pada “everday cognition” (Rogoff & lave, 1984). ”practical intelligence” (Sternberg& Wagner, 1986),”indigneous cognition” (Berry, Irvine&Hunt, 1988) dan “cognitive apprenticeship” (Rogoff, 1990) dipergunakan untuk menghormati karakteristik pada kehidupan kognitif seorang individu yang biasanya berdasarkan pada observasi yang mendalam (see Schliemann, Carraher, & Ceci’s bab dalam volume ini).
    Konsep ini membawa kita lebih dekat pada permasalah pengertian kultur setempat yang berarti kompetensi kognitif. Pertanyaanya adalah perilaku seperti apa yang dipertimbangkan sebagai intelegensi atau kompetensi kognitif yang diberikan oleh pengaturan eco-cultural setting? Setiap kelompok social mempertimbangkan perilaku khusus sebagai nilai tertinggi bagi anggotanya, dan proses sosialoisasi ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai perilaku yang tertata. Begitu banyak bukti yang disarankan dalam artian kepada kompetensi kognitif yang beragam antar budaya (Berry,1984; Berry & Bennett, 1992; Daseb, 1984; Dasen, Dembele, Ettien, Kabran, Kamagate, Koffi& N’guessan,1985; Serpell,1989; 1993) dan kelompok social itu mungkin memiliki tujuan kognitif yang berbeda dari nilai yang dimiliki oleh kelompok sosial barat (Berry, 1988). Dalam membuat penilaian valid pada proses kognitif, kita perlu untuk memiliki pengertian yang mendalam pada konteks ekologi dimana orang-orang melakukan rutinitas sehari-hari.  Pada tujuan kognitif yang diatur seseorang pada kebudayaan yang dihormati dan cara bagaimana dapat memgembangkan individu. Tingkatan yang mana komponen ini akan mewakili prosedur penilaian definisi pada validitas ekologi pada  tes (Berry, 1980).
    Tujuan dari analisa ini juga sangat penting untuk penilaian kemajuan yang dibuat oleh seseorang pada perkembangan kognitif. Tanpa mengetahui tujuannya, bagaimana kita bisa mengerti seberapa jauh seseorang telah membuat kemajuan? Reviews dari definisi intelegensi cultural Barry, 1984; Dasen, 1984; Serpell, 1989; tape, 1994) analisa permasalahan kelompok social holistic yang dipecahkan adalah nilai cultural dan pertimbangan sebagai tindakan yang tepat. Pada kelompok ini diskusi bertahap lebih diutamakan dari pada refleksi individual mungkin dengan model lebih kognitif. Pada kelompok social dengan tingkatan nilai tentang kognisi, seseorang dapat mencoba standart instrument psikologi barat yang biasanya yang menunjukkan level terendah pada perkembangan kognitif dengan penghargaan kepada pada criteria “cepat analisis induvidualistik”. Tetapi apabila memungkinkan untuk dipertunjukkan, mereka dapat menunjukkan level tinggi pada perkembangan kognitif dengan penghargaan kepada criteria “reflektif, holistic, kolektif”. Karena itu level perkembangan tidak dapat menjadi ukuran kecuali nilai kebudayaan pada masyarakat itu tentang kognisi telah diketahui.
    Berbagai teori pendekatan diadopsi untuk menjelaskan perkembangan kognitif antar kebudayaan sebagian besar berhubungan dengan permasalahan ini. Sekarang kita beralih untuk diskusi pendekatan ini. Beberapa penelitian mungkin mewakili untuk mengenalkan setiap teori. 
 
Empat Konseptualisasi
Terdapat empat posisi teori yang jelas yang telah digunakan untuk mengerti hubungan diantara kebudayaan dan kognisi Berry, Poortinga, Segall, Dasen,1992). Pendekatan ini adalah general abilities, genetic epistemology, spesific abilities and cognitive style. Perbedaan diantara pendekatan ini dibuat sesuai dengan tiga permasalahan besar. Konseptualisasi dari konteks ekologi dan kebudayaan, untuk mengatur organisasi performa kognitif  dan hubungan diantara keduanya melalui berbagai proses kognitif.

Intelegensi umum
Pendekatan intelegensis umum yang berdasarkan diatas  ide kompetensi kognitif yang menyatu disebut “general ability” yang dibuktikan oleh beberapa hubungan positif diantara performa dari beberapa tugas kognitif seperti verbal, spatial, numerical, dan lain-lain. Ada kepercayaan dalam keadaan mengolah yang terpusat pada kognitif umum yang bertanggung jawab atas bermacam-macam tingkat intelegensi untuk semua di suatu populasi. Konteks ekologi dan kebudayaan (seperti pencarian ekomomi, pengalaman-pengalaman kebudayaan dan pendidikan) adalah mempertimbangkan untuk membentuk sebuah kelompok. Kelompok yang besar mewakili lingkungan yang kuat. Dan kelompok yang kecil mewakili lingkungan yang berkekurangan. Seseorang yang punya kultur sosial yang kuat atau latarbelakang yang berpengalaman mungkin akan punya lebih banyak kesempatan untuk membangun central processor, memperlihatkan intelegensi yang lebih besar.
Dalam mempelajari lintas budaya tentang intelegensi  mereka mendemontrasikan keadaan faktor-faktor selain “g” yang lebih khusus (e.g., verbal, matematikal dan memberikan alasan konseptual). Perbedaan diantara “intelegensi A“ (genetic equipment), ”intelegensi B” (potensial yang dibangun melalui interaksi dengan lingkungan kebudayaan), dan “Intelegensi C”(perfomance on particular test) punya kepentingan yang seimbang (Venon,1969). Karena ujian standart tidak menyediakan penilaian langsung untuk “intelegensi B”, performa (C ) tidak mewakili intelegensi yang benar-benar berada diantara individual atau kelompok. Faktor –faktor seperti bahasa, isi, dan motivasi telah dicatat untuk kontribusi bagi penampilan individu dalam tes (Sternberg, 1994). Karena faktor tersebut itu sangat sulit untuk membuat kesimpulan-kesimpulan mengenai “intelegensi B” atau “intelegensi A” ketika hanya melihat data dari “intelegensi C”. kecuali intelegensi disesuaikan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari, tes ini tidak akan adil kepada beberapa kelompok kebudayaan. Sejarah ukuran  intelegensi penuh dengan dugaan tersebut (“C-B” ketidaksesuaian), kesimpulan yang mustahil (“B-A” ketidaksesuaian) dan mengartikan etnosentrik (beberapa kelompok dipandang seperti pintar dan yang lain dipandang seperti bodoh). Beberapa usaha telah dicoba untuk mendapatkan akses “intelegensi A” (Eysenck,1988; P.A. Vernon, 1990) mengukur aktifitas otak melalui potensial yang ditimbulkan dan ukuran EEG tetapi hasilnya masih dipertanyaakan  (Matarazzo, 1994).

Genetic epistemology
Studi lintas budaya menggunakan concrete operational task, secara umum difokuskan dalam perkembangan percakapan, logika dasar, berpikir keruangan (spasial). Saxe (1981,1982) dalam studinya tentang perkembangan angka  antara Oksapmindari papua dimana menggunakan sebuah sistem angka yang mengerakan nama-nama dari bagian-bagian tubuh. Ketika anak oksapmin mengikuti tahapan yang dijabarkan oleh piaget dalam membangun konsep angka, sebuah tahapan memperlihatkan untuk dapat disambungkan kepada ciri-ciri spesifik dalam sistem pengangkaan, dimana sikap sangat sulit dalam membedakan nilai utama dua simetri bagian-bagian tubuh.
Perbedaan budaya juga telah dicatat dalam menghargai umur dalam macam-macam tahapan yang diperoleh. Beberapa bukti menyebutkan bahwa beberapa orang dalam berbagai budaya akan kekurangan keseluruhan dasar. Tujuan operasinal dibuktikan dengan mendekati kurva pembangunan mental. Dasen (1982)  telah memperlihatkan bahwa ini adalah sebuah  performa, dibandingkan dengan sebuah kompetisi, gejala, dikarenakan hal itu cenderung untuk tidak memperlihatkan dengan ....laporan singkat dari sesi-sesi yang diberikan kepada anak-anak. Penulis lain telah memperdebatkan bahwa perbedaan-perbedaan budaya dalam operasional dasar mungkin tidak ada dibandingkan dengan sebuah gejala performa, atau instrument metodologi.
Studi lintas budaya menggunakan formal operational tasks. Dalam studi dengan sekolah tinggi dan mahasiswa di Australia, malaysia, India, dan siswa china di malaysia, Keat (1985) menemukan bukti kemampuan berpikir operasional formal untuk beberapa subjek dalam semua kelompok. Tetapi tidak untuk semua subjek dalam kelompok.
Budaya mampu memperngaruhi kemampuan kita menerima informasi, dan juga dapat mempengaruhi kemampuan kita memproses informasi. Para ahli Psikologi menggunakan istilah cognition  untuk menunjukkan pada semua proses mental yang kita gunakan untuk mentransfer masukan panca indra kedalam pengetahuan.
Salah satu proses mental adalah cara dimana orang melakukan katagorisasi. Melakukan proses katagorisasi berdasarkan kemiripan-kemiripan kemudian melekatkan label yaitu kata-kata untuk mengelompokkan hal-hal yang kelihatannya punya kemiripan. Dengan demikian, orang menciptakan katagori-katagori dari hal-hal yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Dan sering juga memutuskan apakah suatu benda tersebut masuk ke dalam kelompok tertentu dengan membandingkan benda-benda tersebut dengan benda-benda yang lainnya.
Beberapa pengelompokkan menjadi lintas budaya yang universal, sebagai contoh, ekspresi wajah yang menandakan emosi-emosi dasar – senang, sedih, marah, takut, terkjut, dan jijik dikatagorikan ke dalam katagori yang sama diberbagai budaya

Specific skills
Anjuran pendekatan  ini (cole, Gay, Glick&sharp,1971) telah dikritisi oleh pendekatan-pendekatan alternatif bahwa telah dicoba untuk memperbarui penampilan kognitif pada sesuatu hal yang umum atau pusat penggerak. Situasi tekanan mereka pada pembelajaran hubungan antara bagian utama dari konteks eko-kultural (pengalaman atau peran) dan sebuah bagian dari penampilan kognitif (penggolongan tugas). Asumsi bahwa proses  kognitif adalah universal, mereka memandang bahwa “…perbedaan budaya disamping pengertianya lebih pada situasi yang mana pada fakta-fakta proses kognitif dilaksanakan daripada penampilan sebuah proses pada satu grup budaya dan itu kekurangan dari yang lain” (Cole et al., 1971, p. 233).
Pada esensinya, pendekatan tersebut menekankan ciri-ciri eko-kultural pada kelompok dan hubungan mereka dengan penampilan kognitif, tetapi ditolak oleh eksistensi pusat penggerak untuk mewakili efek dari budaya pada pengertianya(laboratory of comparative human cognition LCHC, 1983). Pendekatan ini juga muncul untuk dikonsentrasikan dengan mencari pola-pola yang keluar dalam kterampilan-keterampilan kognitif sebagai beberapa pengolahan keterampilan alami pada konteks budaya yang berbeda (Berry, 1983). Seperti penyikapan pada sebuah pencarian  masalah umum yang serius. Seperti yang dikemukakan oleh Jahoda (1980) ini merepresentasikan “… akhir eksplorasi dari sebagian kecil perilaku…kekurangan pada konstruk teori global.
Untuk mendukung letak teori ini telah diklaim dalam banyak pengulangan kerja dari berbagai penelitian yang disetujui dengan proses kognitif (LCHC, 1982, 1983.) yang dipelajari oleh Cole dengan petani KPLEE pada perkiraan kualitas beras, oleh Price-Williams, Gordon, dan Ramirez. (1969) pada konservasi  massa diantara anak-anak pembuat tembikar meksiko, oleh Serpel (1979) pada pola reproduksi diantara orang Zambia dan anak-anak Skotlandia dan oleh jahoda (1983) pada pemahaman “ keuntungan diantara anak-anak Skotlandia dan Zimbabwe, contoh-contoh yang bagus dari penelitian yang mendukung spesifikasi dari proses kognitif.
Sama dengan yang dijelaskan dalam efek pembelajaran pada literature penampilan kognitif diantara orang FAI (Scribner & Cole, 1981). Sebuah energi  berarti sebuah variasi fungsi kognitif telah diberikan  untuk orang-orang FAI yang tidak bersekolah. Menemukan nasehat bahwa orang-orang melek huruf tidak merubah kognisi individual  pada pandangan umum.  Bahkan, hanya beberapa test penampilan spesifik telah dibuat untuk bahan-bahan kecakapan orang-orang FAI. Ini berarti bahwa literature itu “…membuat beberapa perbedaan untuk beberapa keterampilan-keterampilan pada beberapa konteks” (Scribner & Cole, 1981, P. 234) ini adalah sedikit efek dari literature yang telah diinterpretasikan dalam pola-pola “ terbatas” digunakan diantara anggota komunitas. Berry & Bennett (1991) mengutarakan pembelajaran ini diantara Cree of Northern Ontario dimana literatur ini dalam bahan silabus adalah penggunaan yang luas untuk banyak tujuan, tapi ini bagian dari batasan dalam hal ini tidak digabung dengan seluruh aspek-aspek dari kehidupan budaya mereka. Mereka tidak menemukan bukti untuk menggeneralisasikan peningkatan penampilan kognitif  pada matrik kemajuan Raven, tapi beberapa fakta tersebut memiliki silabus efek pada sebagian tugas, dimana pengoperasian kognitif itu terlibat pada hal-hal yang diperlukan untuk menggunakan bahan-bahan ini. Walaupun itu bukan fakta untuk beberapa perubahan umum pada hak berfikir individual untuk melek huruf, pembelajaran ini mendemonstrasikan antar hubungan positif diantara semua skor tes, saran diberiakn untuk mendefinisikan pola-pola data.
Penampilan telah dilaporkan dalam berbagai studi juga dalam beberapa efek bagian pengalaman budaya pada reproduksi diantara pola variasi media (pensil, kertas, pasir, kabel, dan posisi tangan) telah diujikan (Mishra & Tripathi, 1996). Pengalaman budaya yang sama, lebih terjadi cirri-ciri tersendiri atau situasi, ditemukan untuk menjadi intertwined (Mishra & Tripathi, 1994) dan menyebutkan pembedaan pada konteks pembelajaran individual (Berry, 1983). Anjuran teori keterampilan-keterampilan spesifik memiliki beberapa kesulitan dengan pendekatan ini. Masalah utamanya adalah “…nilai ini untuk menghitung kesalahan penggeneralisasian dalam perilaku manusia” (LCHC, 1983, P. 331). Mereka merasa bahwa “keterampilan dan pengetahuan yang digabungkan dalam satu setting sering juga muncul dalam setting yang lainya dibawah  pengenalan keadaan penting.” Untuk mendistribusikan proses pendekatan untuk bekerja ini harus menyediakan beberapa jalan untuk merepresentasikan kenyataan bahwa perubahan kegiatan individual berdasar dari system pengetahuan yang berhubungan antara satu dengan yang lainya “LCHC, 1983, P. 331”.
Beberapa pengungkapan Cole (1992) mengadopsi konsep pengaturan “. Dia merancang proses kejiwaan sebagai area spesifik, tapi disamping itu berbeda daerah sebagai modul dimana relasi konteks budaya dan input yang masuk kedalam pusat penggerak yang mengoperasikan mereka. Ini adalah formulasi baru yang muncul untuk lebuh bermanfaat, Bagaimana pun  juga disana dibutuhkan untuk menguji proporsi baru pada penelitian lintas budaya. Dengan beberapa data baru yang didapatkan, kita boleh berharap bahwa aka nada beberapa penyesuaian diantara pendekatan keterampilan-keterampilan spesifik dan siapapun melihat untuk beberapa pengelolan atau pemolaan pada konteks keduanya dan penampilan lain dari hubungan kognisi budaya.

Cognitive skills
Pendekatan kognitif pertama kali disampaikan oleh Ferguson (1956) yang mengatakan bahwa faktor-faktor budayamenetapkan apa yang telah dan apa yang akan dipelajari dan pada usia berapa, maka dari itu perbedaaan lingkungan budaya mengarahkan pada pola perkembangan kemampuan.
Pendekatan kognitif mencari hubungan relasi-relasi (pola-pola) dalam tampilan kognitif, dan dalil-dalil perbedaan pola-pola kemampuan untuk berkembang dalam latar ekokultural yang berbeda, tergantung pada tuntutan tempat dan individu.
Diantara gaya-gaya berpikir kognitif yang beermacam-macam, daerah terikat/yang dipengaruhi dan daerah bebas/mempengaruhi (FD-FI) memiliki penerimaan isi yang memperhatikan penelitian lintas budaya. Isu-isu utama adalah konsistensi skor/nilai pola tes dalam wilayah yang berbeda, perbedaan jenis kelamn pada bentuk FD-FI. Keseimbangan dalam bentuk dan peran tekanan ekologi serta pengaruh pen yesuaian diri.
Studi dengan anak-anak yang hidup dalam kelompok berburu, berpindah-pindah, transisi, dan yang memulai pertanian dengan kelompok suku-suku dengan berbagai budaya di india (Sinha, 1979;1980) menunjukkan hubungan yang relevan bahwa para kelompok pemburu memiliki kejiwaan yang berbeda dengan kejiwaan kelompok petani dan berbeda dengan keadaan dalam kelompok sosialnya. Perbedaan peran jenis kelamin menentukan perbedaan atas kejiwaan antara laki-laki dan perempuan.
Aturan-aturan ssosial dan pelaksanaanya membuat anak-anak berbeda dari strukturstruktur keluarga monogami, poliandri, dan keluarga-keluarga poligini (D. Sinha & Bharat, 1985) pengalaman keluarga (pola asuh ayah dan ibu), pelaksanaan disiplin yang melibatkan anak dan dominasi ayah/ibu, beberapa variasi tipe-tipe keluarga, beberapa memberikan pengaruh  kuat pada tingkatan kejiwaan yang berbeda pada anak . Ekologi pegunungan mendorong proses pelaksanaan pertanian yang berbeda hal ini dipengeruhi oleh budaya. Efek dari pengalaman sekolah, urbanisasi dan industrialisasi pada bentuk-bentuk pola berfikir anak yang dimiliki oleh suku-suku (di india) juga turut andil mempengaruhi budaya.

Kebudayaan mempengaruhi dalam proses kognitif

Dengan memahami persoalan-persoalan yang melapisi pemikiran pembelajaran lintas budaya, dan letak pengadopsian teori, kita mulai untuk mendiskusikan proses kognitif tertentu untuk mengilustrasikan bagaimana dan untuk apa mereka memperluas bentuk dari faktor-faktor budaya.

a.    Pengkatagorian dan istilah warna
Persepsi memberi kita bermacam-macam pengetahuan tentang duni sekitar dengan divisi berbagaimacam rangsangan ke dalam kategori menjadi sebuah kegiatan kognitif untuk mengolah dan menahan. Orang berbicara dengan bahasa-bahasa yang berbeda untuk menyebutkan suatu objek tertentu yang ada di lingkungan sekitar mereka dengan maksud pada objek yang sama. Seperti sebuah terminologi yang berbeda terkadang memiliki peranan untuk mengasumsikan bahwa orang dari beberapa budaya berbeda memiliki bagian kognitif dari lingkungan yang berebeda.
Setiap kelompok dengan  lingkungan budaya yang berbeda memiliki bahasa yang berbeda dengan istilah-istilah, warna, pengucapan yang berbeda-beda terhadap suatu objek

b.    Ethnobiology
Beberapa fakta-fakta tentang bentuk-bentuk penggolongan budaya dapat diperoleh dari penelitian-penelitian terbaru etnobiologi pada bagian system pengklasifikasian tanaman dan hewan telah diuji (berlin,1992). Pokok masalah terdapat pada pengkategorian dan pebedaan tata nama bahwa anggota-anggota masyarakat tradisional menjadi bagian diantara spesies tanaman dan hewan. Penggolongan ini membedakan objek dan nama. Seperti contohnya pada taksonomi makhluk hidup. Tujuan pembagian penggolongan dengan asosiasi spesies domestic tanaman dan hewan.
Lintas budaya membandingkan variasi kategori pada tingkatan “bentuk kehidupan”. Kepentingan ekonomi spesies tanaman dan hewan telah menjelaskan pentingnya faktor perbedaan kategori manusia. Perbedaan penggolongan pengetahuan dan penamaan sering ditemukan dengan beberapa faktor seperti gender, umur, dan divisi tingkat  pendidikan yang sangat penting pada masalah pengklasifikasian

c.    Prototypes (bentuk asli)
Dalam diskusi awal mengindikasikan bagaimana ahli anthopologi kognitif memiliki percobaan konsepsualisasi dan belajar pengaruh budaya dalam konsep organisasi. Ahli psikologis kognitif  cenderung mengadoptasi “prototypicality analysis”. Dalam pendekatan ini, orang dari berbeda sosial ditanya dasar kebaikan contoh istilah katagori spesifik  (seperti, bagaimana “kelinci” yang baik,ini adalah contoh katagori “hewan”). Analisis prototypical menyediakan bukti untuk beberapa budaya spesifik dan beberapa pola universal dalam sistem pengkatagorian.
Schwanenflugel and Rey (1986) membandingkan penilaian prototypical Spanish dan English (keduanya monolingual) kelompok yang hidup di Florida untuk mempertimbangkan periode waktu. Mereka menemukan hubungan substansial untuk menilai typicality  dua kelompok lebih besar katagori, akan tetapi juga bukti untuk membandingkan variasi antara mereka untuk katagori seperti “bird” dan “fruit”. Variasi lintas budaya dalam struktur katagori memberikan peningkatan budaya menjadi lebih jelas dari masing-masing, untuk contoh, taiwan-china dan amerika (lin &Schwanenflugel,1995; Lin, Schwanenflugel, & Wisenbaker,1990). Dalam relatif budaya yang sama (seperti german dan amerika), dalam pengaruh-pengaruh yang lain, kurang variasi dalam struktur yang dilaporkan (Hasselhorn,1990).
Mungkin ada prototypes pasti  dibagi kepada semua anggota  dalam kelompok budaya. Schwanenflugel dan Rey (1986) memiliki katagori typicality lintas budaya dapat diprekdisi dari kemiripan prototype budaya untuk fakta-fakta dominan. Demikian, unntuk “body part” dimana prototypes budaya memiliki kemiripan yang tinggi, relatif prototypicality dari bagian tubuh yang lain juga penerimaan dengan cara yang sama lintas budaya  dibandingkan  untuk “bird” dimana prototypes dibandingan untuk dua kelompok. Menemukan untuk menyatakan bahwa keakraban budaya faktor sangat penting dalam menentukan variasi lintas budaya dalam structur katagori. Dalam beberapa studi, hanya 6 sampek 15 persent variasi dalam penilaian prototypicality telah dibukukan untuk faktor ini. Blount and Schwanenflugel (1993) berargumen  bahwa keakraban budaya dapat menentukan  golongan yang mana anak akan belajar contoh katagory dalam budaya.
Secara umum, ini menemukan anjuran perbedaan dalam katagoriasasi dan labeling dalam katagori untuk relatif ciri-ciri budaya individu atau kelompok. Pengetahuan dasar atau berdasrkan keakraban menjelaskan tawaran untuk katagoriasasi perbedaan lintas kelompok dalam beberapa studi untuk akar ciri-ciri budaya dalam kelompok.

d.    Sorting
Kategori siswa mengangkat secara relative keadaan kontrol orang lain menggunakan prosedur penyortiran. Berawal dari dalam pembelajaran depelopmental dan perbedaan kebudayaan dalam menggunakan warna dan dari dasar untuk kelompok stimuli yang sering diringkas (see Pick, 1980). Kemudian bekerja menggunakan “batasan” dan “bebas” prosedur penyortiran penjelajahan dimensi (taksomoni, fungsional, perceptual) kemudian perbedaan tersebut dikategorikan menjadi evaluasi. Clasifikasi populasi dapat ditemukan pada perubahan dimensi yang disukai, kesenangan atau kesukaran mengubah kategori dimensi dan verbalisasi pada dimnsi menggunakan fungsi penyortir karakterristik ekokultural (Rogoff, 1981; S. Mishra, 1982).
Mishra et al.(1996) memeriksa penyortiran perilaku Birhor, Asur dan Oraon mengenai kelompok suku Bihar (India) dengan mengharap perbedaan karakteriastik kelompok ekokultural untuk membesarkan hati terhadap perbedaan pola penyortiran.
Subjek meminta untuk membuat penyortiran bebas 29 terkenal dan objek yang menonjolkan ditempat ituyaitu mengharapkan untuk terbiasa milik enam kategori. Penemuan yang diungkapkan tersebut secara umum, Birhors mengurutkan objek pada kategori lebih sedikit dan menghasilakan beberapa subkatagori dari Asurs dan Oraons. Contract alkulturasi kelompok tidak mempengaruhi secara umum produksi katagori, atau penyesuaian katagori untuk mengharapkan katagori atau subkatagori. Semua keompok disortir objek predominan dalam dasar fungsionil.
Wassmann and Dasen (1994) studi klasifikasi dianatara 9 Yupno sampel dari papua new Guinea pandangan membagi-bagi dalam “hot”,”cold”, and “cool”. Hanya ahli dapat memanupooulasi pernyataan. Tugas terdiri dari 19 objek yang dapat di bagi menjadi “hot” atau “cold”, tetapi dapat juga dibagi menurut criteria seperti warna, bentuk, fungsi atau taksonomi. Ini menemukan hanay penemu gunakan katagory “hot/cold” dengan tegas.

e.    Learning and memory
Belajar dan ingatan mempunyai praktek signifikan yang besar untuk bermacam-macam perlengkapan aktivitas dalam kehidupan seseorang. Peran elemen budaya dalam ingatan dan strategi yang digunakan dalam kemahiran dan ingatan terhadap stimuli terutama sekali menujukan dalam pelajaran lintas budaya (see Wagner,1981).
Efek dari elemen kebudayaan dalam ingatan adalah terutama membawa keluar dalam pelajaran dalam ingatan dalam cerita menarik dari dua kebudayaan. Steffensen dan Calker (1982) menguji U.s. and wanita Aborigin Australia untuk menarik kembali dua cerita tentang anak menjadi sakit. Seorang anak dapat menyenangkan dari sebuah cerita dalam western medicine, dan oleh penduduk asli merupakan obat yang lain. Disana fakta untuk ingatan lebih baik dalam cerita yang konsisten dengan mendapatkan pengetahuan budaya orang. Hasil sama dengan yang dilaporkan oleh Harris, Schoen dan Lee (1986) dari ingatan terhadap cerita oleh subjek Amerika dan Brazili, dan oleh Hariss, Schoen dan Hensley (1992) untuk ingatan terhadap cerita oleh U.S. dan grup budaya Meksiko.
Penemuan ini dibedakan dari laporan penelitian oleh Mandler, Scribner, Cole, dan De Forest (1980). Mereka mendirikan secara relative sedikit perbedaan dalam jumlah  atau pola dari cerita ingatan oleh U.S. dan Liberian children and adults, dan cerita itu dibantah karena daya ingat adalah satu proses budaya universal. Pembahasan cerita ingatan terfokus pada cerita yang berakibat pada pengetahuan kebudayaan mengenai ingatan cultural yang tidak sesuai dengan cerita atau cerita seperti kegiatan yang cukup pada organisasi tersebut dalam pengetahuan budaya tertentu (Harris,et al.,1992). Penampilan dari satu isi budaya  dalam sebuah daya ingatan menceritakan yang mewakili isi dari poin kultur orang lain untuk proses utama dalam perkembangan kognitif. Menyediakan kode yang terbiasa untuk objek yang tidak biasa atau sebagian besar kejadian umum adalah strategi yang digunakan orang-orang. Perbedaan dalam daya ingat pada cerita yang konsisten dengan pengetahuan satu budaya menunjukan orang dari bermacam-macam budaya tersebut memiliki kapasitas mirip yang digunakan sebagai alat bantu.
Factor budaya dalam ingatan mungkin boleh dioperasikan dalam kebiasaan orang lain juga. Kelompok kebudayaan pada sebuah kebiasaan yang mengatur kehidupan tanpa lampu atau orang lain sumber penerangan pada malam akan kuat permintaan untuk individu tetap berfikir dalam menetapkan tempat dan mengingat mereka. Mishra dan Singh (1992) pelajaran seperti itu pada kelompok dari budaya  Asurtribal dalam Bihar (India). Disengaja dan pengeluaran ingatan pada anak untuk “lokasi dan pasangan”pada gambar yang dibandingkan. Fakta disana untuk ketelitian ingatan yang lebih besar untuk “tempat”itu pasangan dari gambar, terlepas dari disengaja atau kondisi secara kebetulan.
Peran budaya dalam belajar dan mengingat juga telah dipelajari melalui satu analisis dari sekolah dan lingkungan sekolah. Tidak sama dengan mendirikan sekolah atau lintas budaya yang tidak hanya merawat hasil dari pembelajaran dan ingatan (lihat bab oleh Serpell& Hatano, volume ini). Perbandingan strategi belajar tradisional Quranic (Wagner,1985,1993) dan Sanskrit (Mishra,1988) siswa sekolah dengan sekolah tipe Western menyatakan perbedaan dalam penggunaan strategi belajar dan hasil dari belajar. Peran ingatan muncul menjadi strategi belajar yang dominan pada anak sekolah tradisional (Wagner,1985;Wagner&Spratt,1987). Dengan rasa hormat menggunakan strategi organisasi, Mishra(1988) hal tersebut anak dalam Sanskrit dan tipe-Western sekolah ditujukan untuk organisasi daftar butir sesuai dengan apa yang penting ntuk mereka. Pada kelompok yang terdahulu organisasi berlandaskan “kepentingan objek”sedangkan yang terakhir berlandaskan pada kepentingan dari sebuah kejadian.
Mengejar pelajaran dengan menghadiri “bagus” dan “biasa”kualitas sekolah juga membawa hasil yang menarik. Karakteristik sekolah bagus oleh mendapat tempat bagi siswa dan staf, tarnsportasi, fasilitas untuk olahraga, permainan dan yang berkaitan dengan aktivitas rerkeasi, perpustakaan dan ruang membaca, pelatih dan guru-guru dan menggunakan teknologi mengajar baru (Mishra&Gupta,1978; D.Sinha,1977). Sekolah biasanya kurang melengkapi sumber dengan fasilitas. lingkungan sekolah seperti itu dapat pengaruh yang signifikan dalam penampilan tes kognitif (Irvine,1983).
Agrawal&Mishra (1983)mencatat “sekolah biasa”untuk mengambil lebih tugas pelajaran verbal dan memperlihatkan produk kurang dalam ingatan “sekolah bagus”anak. Mishra (1992) memandirikan perbedaan dalam ingatan dan produk “baik”dan “biasa” anak sekolah terang terutama sekali dalam daftar belajar. Bagaimanapun perbedaan mengurangi kapan butiran sama untuk memperkenalkan dalam konteks cerita terkenal.
Pelajaran lintas budaya dapat juga difokuskan untuk mempelajari aktifitas siswa dan peran guru mmimpin dua perbedaan hasil pembelajaran. Perbandingan siswa China dan Jepang denga siswa Amerika menunjukkan bahwa yang lebih dulu tidak hanya menggunakan dalam aktifitas akademik aktifitas, tapi guru mereka juga memberi informasi lebih. Pada sisi lain, guru Amerika cenderung menunjukkan lebih besar pelatihan dengan organisasi dan disiplin di dalam ruang kelas (Fuligini,1993;Hawkins,1983;Stevenson, Lee&Stigler,1986).
Ukuran klas besar, iklim otoriter, berkelebihan pekerjaan rumah, dan member penjelasan metode mengajar yang terfokus dalam persiapan siswa untuk memeriksa karakteristik general pada belajar dan mengajar kontek dalam banyak pengembangan negara-negara.  Hasil ini dalan perbedaan saat aktivitas siswa dan guru dan pada level keterlibatan pengasuhan dalam hubungan aktifitas sekolah anak (e.g.,home work). Teknik penghargaan dan hukuman dan situasi yang disampaikan juga menunjukkan banyak variasi lintas budaya. Pada kebudayaan Asia pijian untuk penampilan yang bagus adalah jarang, mengingat hukuman ini dari ejekan dan rasa malu pada anak adalah sangat sering (Ho,1981). Pujian yang diberikan hanya untuk prestasi yang luar biasa atau kebaikan orang lain, tapi hal ini jarang didapatkan didepan umum (salili, Hwang&Choi, 1989). Seperti penghargaan lingkungan efek motivasi yang tinggi  terhadap hasil belajar.
Penelitian sering kali dapat komentari dari siswa Asia menjadi pembelajaran pasif,menunjukkan kepercayaan yang berat dalam peran pembelajaran dan memanfaatkan level rendah strategi pembelajaran difokuskan pada melempar pemeriksaan (Murphy,1987). Seperti strategi pembelajaran
 
f.    Literacy (melek huruf)
Peran melek huruf (leteracy) dapat di observasi dalam budaya. Saat dalam level budaya, perhatian dengan munculnya institusi sosial; dalam level individual, perubahan dalam individi hari perhari, seperti akses informasi dan bentuk baru komunikasi (Berry & Bennet, 1991). Scribner and Cole (1981) membedakan antara dua macam efek dari literacy dalam level individual. Yang pertama berkaitan dengan tumbuhnya pikiran sebagai hasil asimilasi dari pengetahuan dan informasi yang ditransfer dalam teks tulis. Yang kedua berhubungan untuk isi gagasan dan proses berpikir. Tuntutan teoritis tentang effek litercacy  dalam fungsi kognisi sangat kuat, tetapi fakta-fakta empirisn dalam dukungan seperti tuntutan lemah. Methodologi sangat sulit untuk mengisolasi efek literacy dari  sekolah (Das&Dash,1990;Rogoff,1981; Tulviste,1989). Lebar variasi dalam bentuk literacy across studies lebih lanjut menyulitkan kesimpulan tentang efeknya.
Efek litercacy memiliki studi besar dengan anak memperoleh quranic literacy. Wagner’s (1993) bekerja dengan anak muslim di moroko, mempertunjukkan bahwa dalam  variasi serial tugas memory, siswa quranic mengingat lebih baik daripada  anak-anak nonsekolah; tetapi, perfoma anak sekolah quranic sama seperti anak sekolah umum modern. Ini menjelaskan obsevasi bahwa penghafakan belum menghapuskan dari pendagogy sekolah modern islam (Wagner,1993). Scribner and Cole (1981) menemukan bahwa quranic terpelajar untuk daftar belajar lebih “menghafal” dari tandan. Banyak penelitian dalam efek literacy dalam proses kognitif dibutuhkan

g.    Spatial cognition
Spatial cognition adalah proses yang mana individu memperoleh pengetahaun dari objek atau situasi peristiwa yang berhubungan dengan ruang. Penelitian lintas budaya dalam spatial cognition di fokuskan dalam peran hubungan percakapan dalam mendeskrisipkan ruang, peran perangkat simbolik dalam representasikan dan peran budaya praktis dalam mengorganisasi pengetahuan tentang dan penggunaan ruangan.
Benda budaya, seperti pencil adan kertas atau peta, mungkin memudahkan atau menjelaskan kapasitas individu untuk berpikir tentang ruang dan mendeskripsikannya.

h.    Problem solving and reasoning
Pemecahan masalah merepresentasikan tingginya bentuk aktivitas kognitif individu. Membutuhkan analisis atas informasi dan persepsi hubungan yang berkaiatan antaranya yang menggambarkan kesimpulan logis yang tepat. Studi lintas budaya difokuskan pada pemecahan kondisi matematis dan alasan bersyarat.
Matematikal problem memberikan test yang baik dalam kemampuan alasan, karenanya, budaya yang berbeda dalam kemampuan matematikal memiliki ketertarikan diteliti. Budaya timur misalnya (contoh cina) mengkalin dukungannya dalam pengembangan kemampuan numerical. Stevenso, lee, chen, lummis, Stigler, Fan, and Ge (1990) dalam pengujiannya mengklaim, dan menemukan performa lebih baik dari orang china daripada siswa amerika dalam beberapa ukuran prestasi mathematical. Geary, Fan, and Bow-Thomas (1992) menemukan  bahwa dalam masalah dari penambahan sederhana, anak-anak china menunjukkan lebih besar akurasi dan kecepatan daripada amerika. Anak-anak china menunjukkan besar  kepercayaan dalam strategi seperti informasi kembali secara langsung dan kebusukan, mengingat anak2 amerika pengunaaan menghitung dalam strategi utamanya.
Ada dua hal pokok dalam problem solving and reasoning yaitu deductive and conditional reasoning dan syllogistic reasoning
Deductive and conditional reasoning di fokuskan dalam peran faktor lingustik. Politzer (1991) bekerja dengan pembicara penduduk asli dari China dan Tamil di Kualalumpur, menggunakan masalah  bahasa ingris atau malaysia, menyediakan tidak reliabel bukti dengan perbedaan dalam pemberian alasan. Cara dan Politzer (1993) melaporkan hasil yang sama dengan pembicara asli English atau china, mengusulkan bahwa kondisi pemberian alsan tidak membatasi bahasa menonjol dari kelompok budaya.
Syllogistic reasoning, adalah dasar operasi kognitif  untuk mengetahui  sensitif  kepada pengarul budaya. Perbedaan antara logical dan emperical, dan penjelasan dari perbedaan ini didefinikan sebagai kemampuan syllogistic reasoning.
Lucia’s (1976) bekerja mempertunjukan bahwa petani di uzbekistan dapat mengenggam kebenaran empiris, tetapi mereka gagal untuk menghargai kebenaran logika. Sekolah memberikan kontribusi signifikan untuk syllogistic reasioning (Scribner & Cole, 1981) mengusulkan gagasan sekolah pendidikan, kebenaran logis dapat ditanamkan kepada siswa. Bickersteth and Das (1981) memadukan syllogistic reasoning dari Canada and Sierra Leone, walaupun anak dari Sierra Leone performanya lebih baik daripada Canada, perbedaan antara dua kelompok budaya tidak hadir dari lamanya pendidikan dan intelegensi.

i.    kreativitas
Kreativitas merupakan proses kognitif yang paling bernilai (penting) yang dapat diungkapkan oleh individu ketika mereka mencoba memecahkan suatu masalah. Tidak terdapat consensus (kesepakatan/kesamaan) pada kreativitas alamiah atau consensus tentang adanya sebagai suatu proses kognitif yang berbeda secara kualitatif. Berbagai macam tes kreativitas merupakan usaha untuk menakarnya dalam hubungan dengan originalitas, fleksibilitas, dan fluensi (kefasihan) dari ide-ide atau hasil-hasil (alat-alat).
Terdapat kerja lintas budaya yang sangat mendasar pada kreativitas, bagaimanapun, beberapa studi mencoba untuk menganalisa pengaruh-pengaruh lingkungan terhadapnya  (Stein, 1991). Psikologi social dari kreativitas telah menekankan pentingnya konteks ekologi anak dalam pengembangan kreativitas (Harrington, 1990). Relasi anak dengan orang tua di masa lalu dengan dukungan (pengaruh) dan stimulasi (dorongan) yang diterima dari mereka nampak menjadi prediksi baik bagi kreativitas (Siminton, 1987).
    Studi pengujian peran dari faktor-faktor budaya dalam kreativitas berfokus pada penekanan budaya dan praktek-praktek sosialisasi yang terjadi pada anak.  Colligan (1983) menganalisa perkembangan kreativitas bermain musik pada orang Samoan, orang-orang bali, orang-orang jepang, dan budaya orang-orang Indian Omaha, yang tergambar pada fakta-fakta Antropologi yang terungkap dalam pengembangan rasa hormat terhadap music inovatif  diantara mereka. Dalam budaya Samoan dan bali, tarian merupakan dukungan untuk menyadari individualitas mereka (sebagai seorang pribadi Samoa, dan sebagai seorang anggota dari suatu kelompok orang bali); oleh sebab itu dalam budaya-budaya ini, mereka cenderung untuk mengembangkan keunikan gaya individu dalam kerangka dasar dari seni bermasyarakat mereka. Budaya orang-orang jepang dan budaya orang-orang Indian Omaha, pada satu sisi tidak mempunyai sanksi budaya yang mendukung inovasi dan originitas; meskipun terdapat tekanan yang kuat pada stabilitas dari bentuk dan gaya. Oleh sebab itu, budaya-budaya ini berlanjut dalam kehidupan dengan tanpa mengubah bentuk dari music. Colligan (1983) berargumen bahwa untuk meningkatkan kreativitas, masyarakat harus mempunyai kesadaran akan peran keberadaan dari suatu gaya individu.
    Mar’I dan Karayanni (1982) telah mereviu penelitian yang mengungkap kreativitas budaya Arab.  Secara umum, kaum pria memiliki skor lebih tinggi daripada kaum wanita dalam menakar (mengukur) kreativitas verbal dan figural, suatu perbedaan yang secara gradual menjadi menurun dengan perubahan sosiokultural di tengah masyarakat Arab. Lebih dari subjek “modern” yang telah menunjukkan suatu kreativitas yang lebih besar daripada berkurangnya subjek-subjek “modern”, dengan bukti (fakta) pada perbedaan seks mendasar dalam diri anak-anak muda dan lebih dari contoh “modern” daripada secara relative lebih tua dan lebih dari contoh “tradisional”. Terdapat juga fakta (bukti) dari orang-orang Arab untuk mempunyai nilai yang lebih tinggi dengan mengukur kreativitas verbal daripada mengukur kreativitas figural, yang mana diinterpretasikan  dalam penekanan-penekanan pokok pada penerimaan keahlian verbal dalam budaya Islam.
    Kreativitas dapat dikembangkan dengan mendorong anak untuk berpartisipasi dalam menentukan aktivitas yang mereka sukai. Peran dari permainan “make-believe” yang telah ditemukan tergantung pada variasi peran orang dewasa yang tersedia dalam budaya; variasi ini cenderung meningkat dengan akulturasi. Dalam suatu studi di Afrika barat, kreativitas juga ditemukan menjadi suatu stimulasi dengan fakta bahwa permainan tidak diberikan oleh orang dewasa tetapi dikonstruksi oleh anak-anak mereka sendiri, misalnya, dengan kawat (Dasen, 1988; Segall et al., 1990). Untuk meningkatkan aktivitas permainan yang merupakan bagian dari proses sosialisasi anak-anak dalam budaya, kita dapat memprediksi pengaruh aktivitas pada budaya. Terdapat suatu kebutuhan untuk menganalisa aktivitas seperti hal itu telah tercermin dalam aktivitas harian yang biasa dari anak-anak dalam  berbagai budaya.


DAFTAR  RUJUKAN
Berry w John, et el.1997.  Handbook of Cross-Cultural Psychology Volume 2 Basic Processes And Human Development.

Supervisi Konseling: Suatu Kehati-hatian dalam Proses Pendidikan


Pada chapter ini meringkas dalam wujud-wujud prinsip-prinsip yang mendasari kepercayaan-kepercayaan yang ada tentang apa supervisi konseling dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Prinsip-Prinsip Mengenai Hakikat Dari Supervisi Konseling.
Supervisi konseling adalah, pada intinya, sebuah proses pendidikan.
Untuk menjadi suatu lembaga pendidikan yang sesungguhnya, supervisi harus proaktif, tidak tergesa-gesa, terarah pada tujuan, melibatkan strategi active learning yang dirancang untuk melibatkan supervisee tertentu. Sebagai sebuah proses pendidikan, supervisi perlu dievaluasi. Evaluasi itu sendiri adalah kunci bagian dari proses pendidikan. Model-model supervise yang dikembangkan antara lain:
o    Model Diskriminasi
Menurut Bernard (1979,1997) model diskriminasi adalah suatu alat yang bermanfaat untuk membantu supervisor untuk memahami bahwa mereka memiliki pilihan dalam jangka waktu dari perencanaan dan perilaku dalam sesi supervisi. Peranan supervisor sebagai guru, konselor dan konsultan sekarang ini bersifat klasik, meski para supervisor harus jelas bahwa mereka sedang memanfaatkan keterampilan-keterampilan berdasarkan pada peran-peran ini dibandingkan beralih pada  ke peran murni (contohnya: supervisor sebagai konselor tidak dapat memberikan layanan konseling pada supervisee). Tiga area focus model diskriminasi secara jelas menggambarkan keberagaman dan keluasan dari perlunya isi supervisor untuk membangun secara penuh seorang konselor. Dua dari area memfokuskan menekankan pada: keterampilan intervensi atau keterampilan tindakan (contoh: apa yang dilakukan oleh konselor) dan keterampilaan konseptual atau kognitif (Contoh: Bagaimana konselor berpikir tentang konseli dan proses konseling). Yang ketiga, personalisasi menekankan pada reaksi emotional terhadap konseli dan self awareness.
o    Model Perkembangan.
Berbagai model perkembangan supervisi memberikan sebuah perspektif yang saling melengkapi dengan diskriminasi model. Penekanan terhadap supervisee daripada supervisor. Pada kenyataannya, ketika keduanya secara berdampingan, model perkembangan menyediakan suatu dasar pemikiran yang diperlukan untuk menentukan yang mana peranan dan fokus area yang digunakan untuk supervisee tertentu.
Model perkembangan menawarkan prinsip-prinsip kunci tentang hakikat dari supervisi yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.    Konselor bergerak maju secara bertahap mempelajari teori dan keterampilan-keterampilan konseling dan penerapannya terhadap para konseli.
2.    Secara teoritis, konselor melanjutkan untuk mengembangkan keterampilan mereka sepanjang kehidupan profesional mereka,
3.    Kualitas perkembangan konselor melalui tahapan-tahapan.
4.    Perkembangan tahapan konselor tidak sama dengan dengan tahapan-tahapan pengalaman.
5.    Intervensi-intervensi supervisoran yang berbeda adalah cara yang paling sesuai untuk berbagai tahapan-tahapan perkembangan, dengan suatu peralihan dari lebih direktif, edukatif, dan intervensi yang sangat mendukung ke lebih konfrontatif dan pendekatan konsultatif.
6.    Tugas dari para penyelia adalah untuk menyediakan supervisoran yang akan mendorong pertumbuhan dan pengembangan dari mensupervisi.
o    Counseling Theory-Based Models
Bagian ketiga dari model supervise adalah Counseling theory based. menurut sejarah, ini tidaklah benar-benar model-model supervisi tetapi lebih pada deskripsi prinsip-prinsip dan ketrampilan-ketrampilan teoritis yang diajarkan di dalam supervisi, yang sering kali melalui aplikasi teori konseling pada supervisee.


Hubungan Kesupervisian adalah Sangat Penting Untuk Proses Pendidikan.
Sebagai hal untuk menolong dan proses pendidikan, hubungan supervisor-supervisees sangatlah kuat mempengaruhi  berapa banyak pelajaran dan perubahan dapat terjadi. Supervisor harus berhati-hati dalam tantangan dan dukungan yang diberikan  Beberapa dinamika yang unik di dalam hubungan supervisoran juga harus menjadi bahan pertimbangan bagi para supervisor. Di luar dari intervensi konseling dan strategi konseptualisasi kasus, supervisees diminta untuk mengeksplor kepercayaan-kepercayaan mereka, motivasi-motivasi, emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan konseli seperti juga hubungan dengan supervisor. Dengan cara ini hubungan supervisi itu sendiri menjadi suatu sarana yang baik untuk belajar.
Hubungan Supervisi Dipengaruhi Oleh Gender, Ras, Etnis Dan Orientasi Seksual, Sesuai Dengan Kondisi Budaya Sosial Umum Kita
Selama beberapa tahun terakhir, ada sangat banyak literatur yang memfokuskan pada supervisi lintas budaya dan multikultural. Sekalipun penelitian-penelitian empiris masih sangat terbatas jumlahnya, model-model konseptual dan eksplorasi konseptual telah sangat memperluas pemahaman kita tentang implikasi-implikasi dari gerakan multikultural bagi supervisi. Beberapa model konseptual didasarkan pada proses pengembangan dan mendeskripsikan kemajuan secara progresif dalam pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran multikultural dengan disertai petunjuk-petunjuk bagi intervensi supervisi yang sesuai bagi tahap perkembangan, seperti misalnya pergeseran dari struktur kuat ke pengurangan struktur (Leong dan Wagner, 1994). Beberapa penulis (Cook, 1994; Fong dan Lease, 1997; Leong dan Wagner, 1994) telah membahas tentang model-model identitas rasial (Helms, 1995) dan membawa implikasi bagi supervisi. Para penulis ini memandang bahwa status ego dan identitas ras dari supervisor dan bawahan akan lebih relevan bagi dinamika dari daripada ras atau etnis saja. Khususnya, interaksi antara status ego dalam hubungan berpasangan (dyad) (baik ketika dua orang yang ada dalam sebuah pasangan itu sama statusnya atau yang satu lebih tinggi statusnya daripada yang lain) bisa memprediksikan hasil-hasil yang didapatkan dari supervisi (Cook, 1994).
Penelitian-penelitian awal terhadap ras sebagai efek utama yang mempengaruhi supervisi masih mendapatkan temuan-temuan yang relatif bertolak belakang satu sama lain (Leong dan Wagner, 1994). Dalam sebuah penelitian terbaru (Ladany, Brittan-Powell dan Pannu, 1997), interaksi dari identitas ras (yaitu laporan mandiri (self report, laporan responden tentang kondisi responden sendiri -pent) dari supervisor tentang identitas ras mereka dan identitas ras dari bawahannya) didapati memiliki hubungan dengan peringkat dari bawahan tentang aliansi supervisi dan juga mempengaruhi persepsi mereka terhadap pengaruh dari supervisor terhadap kompetensi multikultural mereka. Ketika identitas rasial dari supervisor adalah tinggi, efek ini didapati lebih kuat. Sekalipun begitu, ras dari supervisor juga memiliki hubungan dengan kompetensi multikultural, dimana supervisor yang memiliki kulit berwarna (yaitu non-kulit putih -pent) didapati lebih besar pengaruhnya, tanpa terpengaruh oleh ras dari bawahannya.
Penelitian yang dilakukan Ladany dkk. (1997), sekalipun memiliki sejumlah kekurangan dari segi metodologi, mendukung pendapat tentang pentingnya identitas rasial di dalam supervisi konseling kng terbentuknya kompetensi multicultural melalui modeling yang diberikan.
Praktek Supervisi Konseling
Masih relatif sedikit penelitian yang sudah dilakukan terhadap praktek supervisor konseling, sehingga masih sedikit juga petunjuk berbasis empiris yang kita miliki bagi pelaksanaan supervisor. Seringkali, supervisor menggunakan intervensi-intervensi yang mereka pelajari dari pengalaman mereka sendiri ketika menjadi bawahan atau bekerja keras untuk menghindari masalah-masalah itu karena mereka pernah mendapatkan pengalaman negatif dalam supervisi. Sementara beberapa supervisor lainnya lebih mengandalkan pada teori-teori konseling yang ada untuk mendapatkan metode yang digunakan dalam mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik berbasis teori. Dan memang sampai belakangan ini, sedikit saja supervisor yang memiliki kesempatan untuk memperhitungkan dan mempraktekkan berbagai jenis intervensi yang tersedia bagi mereka. Maka tidak mengherankan jika para peneliti mendapati bahwa tidak ada banyak perbedaan antara supervisor yang sudah memiliki banyak pengalaman dengan supervisor yang masih baru (Worthington, 1987) dan mereka mendapati bahwa para supervisor sangat mengandalkan pada satu metode supervisi saja, yaitu laporan mandiri (self report) (Borders dan Usher, 1992). Laporan mandiri ini didasarkan pada ingatan bawahan tentang apa yang terjadi dalam sesi-sesi konseling dan juga persepsi mereka sendiri tentang masalah apa yang harus diatasi selama supervisi. Pendekatan semacam ini mungkin efisien dari segi waktu tapi juga memberikan informasi yang sangat terbatas dan bahkan mungkin ber-bias.
Beberapa metode pengajaran, konseling dan konsultasi yang tersedia bagi para supervisor konseling
Para supervisor bisa menggunakan ketrampilan yang mereka dapatkan dari peran mereka lainnya di dalam merancang intervensi supervisi (Borders dan Leddick, 1987). Intervensi berbasis peran telah dibahas secara spesifik oleh Stenack dan Dye (1982) dan sudah diperluas dan diberikan contoh-contohnya oleh Neufeldt dkk. (1995). Dalam prakteknya, metode berbasis peran ini jarang sekali memiliki batasan yang jelas seperti yang nampak secara sekilas, karena seringkali metode-metode itu memiliki tujuan-tujuan yang saling tumpang tindih atau beberapa tujuan yang digabungkan. Tergantung pada implementasinya, satu metode yang sama bisa digunakan untuk mencapai lebih dari satu tujuan.
Seperti yang nampak dari intervensi berbasis peran, tidak banyak metode supervisi yang hanya digunakan dalam supervisi saja, melainkan merupakan metode dari bidang lain yang diadaptasikan dan diterapkan pada supervisi sehingga membuatnya menjadi berbeda dari konteks yang satu dengan konteks yang lain. Tiap metode ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri dan tiap metode adalah lebih baik untuk tujuan pembelajaran tertentu daripada untuk tujuan pembelajaran yang lain.
Seni dari supervisi adalah terletak pada proses di dalam memilih metode yang tepat, mengubahnya agar sesuai dengan kebutuhan, kepribadian, gaya pembelajaran, dan tujuan dari bawahan tertentu, dan kemudian mengimplementasikannya dalam intervensi yang dilakukan di waktu yang tepat. Maka supervisor perlu memiliki beberapa jenis ketrampilan yang berbeda-beda dan metode-metode yang berbeda-beda yang bisa mereka gunakan dan mereka sebaiknya tidak mengandalkan hanya pada pendekatan-pendekatan yang mereka sukai selama ini saja.
Para supervisor sebaiknya menggunakan secara teratur dan konsisten intervensi-intervensi yang bisa membuat mereka mendapatkan pengetahuan langsung tentang pekerjaan konselor
Laporan mandiri (self report), menurut definisinya itu sendiri, memiliki sifat obyektif yang terbatas/sangat rendah. Betapapun besarnya kesediaan dari bawahan untuk memberikan laporan yang lengkap dan tidak ber-bias, namun bawahan hanya bisa melaporkan apa yang mereka amati atau mereka simpulkan berdasarkan kerangka rujukan mereka sendiri tentang diri klien, diri mereka sendiri dan tentang proses konseling. Karenanya, laporan mandiri bisa memberikan informasi yang sangat berguna tentang pengolahan informasi yang dilakukan bawahan tapi ini tetap harus ditunjang dengan pengetahuan langsung tentang pekerjaan klinis. Ada beberapa jenis intervensi langsung yang tersedia selama meninjau kaset audio dan video dari sesi-sesi konseling, seperti observasi langsung dan metode supervisi langsung (seperti metode bug in the ear, metode konsultasi telpon, supervisi oleh tim) dan konseling bersama (co-counseling) (Bernard dan Goodyear, 1992, 1998; Borders dan Leddick, 1987).
Dengan menggabungkan antara laporan mandiri dengan intervensi langsung, maka supervisor bisa mendapatkan pemahaman yang berharga tentang bagaimana ketrampilan observasi dari bawahan dan/atau sejauh mana kesediaan dari bawahan untuk mengungkapkan laporan. Selain itu, metode langsung juga memungkinkan para supervisor untuk mencapai tujuan-tujuan lain seperti mengamati reaksi atau perilaku non-verbal dari klien terhadap intervensi yang dilakukan konselor, waktu dan kecepatan konsleing, dan ritme dari sesi konseling. Ada beberapa metode (seperti bug in the ear dan konsultasi) yang juga memungkinkan untuk mendapatkan masukan secara langsung dan petunjuk selama sesi, sehingga para bawahan bisa bekerja dengan klien yang lebih sulit dalam waktu yang lebih cepat.
Salah satu intervensi langsung, yaitu interpersonal process recall (IPR) (Kagan, 1980; Kagan dan Kagan, 1997) adalah metode supervisi yang mungkin paling unik. Tujuan dari IPR, yang merupakan sebuah pendekatan fenomenologis dan humanistik, adalah untuk meningkatkan kesadaran dari bawahan tentang pikiran dan perasaan serta pengalaman dari klien selama sesi. Supervisor mengambil peranan yang tidak menghakimi dan tidak menilai dan hanya menjadi “penanya” yang mengarahkan para bawahan untuk mengalami kembali sesi yang sudah terjadi. Tujuan dari supervisor adalah untuk memperluas kesadaran dari bawahan menghindar dari pemberina masukan dan ia hanya memfokuskan pada ketrampilan atau hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan pengarah (seperti “Apakah Anda berpikir tentang ...?”, “Cara lain apa yang Anda coba?”). Bertahan pada posisi hanya sebagai penanya saja seringkali sulit untuk dilakukan oleh supervisor. IPR bisa dilakukan untuk meninjau keseluruhan sesi atau segmen tertentu dari sesi saja, yang dipilih sebelumnya oleh bawahan atau oleh supervisor, tergantung pada apa yang menjadi tujuan dari supervisi itu. Metode ini dapat menunjukkan secara jelas tentang bagaimana pengalaman internal dari bawahan dan proses pikiran bawahan selama sesi (seperti ketika bawahan menyadari bahwa ia perlu melakukan konfrontasi tapi takut akan respon dari klien, atau ketika bawahan menyadari bahwa ada tema tertentu dalam laporan klien tapi tidak tahu bagaimana cara menggunakan informasi itu, atau bawahan mendengar bahwa sang suami kurang memiliki komitmen terhadap perkawinan itu tapi ia sengaja mengabaikannya dengan harapan bahwa perkawinan itu bisa diselamatkan). Bahkan dengan meminta bawahan untuk mengingat kembali seperti ini, maka supervisor bisa mengubah dan memperbaiki asumsi-asumsinya tentang kemampuan dan pemahaman dari bawahannya.
Sebagian besar Pekerjaan dalam Supervisi didasarkan pada Kognitif
Sampai saat ini diskusi secara sistematik dan komprehensif mengenai keterampilan-keterampilan kognitif dan proses yang diperlukan seperti halnya tata cara dimana menggunakan keterampilan kognitif tersebut masih kurang. Berlawanan dengan keterampilan-keterampilan dan teknik-teknik yang nampak, kognisi sulit untuk dispesifikkan dan diajarkan, meskipun sedang ada usaha yang menjanjikan dalam mengembangkannya. Tentu saja hal tersebut terbentur juga oleh berapa banyak poin-poin yang akan disupervisi, tapi hal itu bukanlah hal yang utama. Fokus utamanya adalah pekerjaan pensupervisian. Tujuan akhir pengembangan model supervisi adalah untuk mendorong pemikiran ke arah tingkat pemikiran konsep yang lebih tinggi. Jelasnya, keterampilan-keterampilan ini adalah penting untuk kemampuan konselor dalam memahami klien atau keluarga dan menciptakan rencana treatmen yang sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Dengan demikian diperlukan praktik, studi dan evaluasi lebih banyak dalam menggunakan keterampilan-keterampilan kognitif.
Jangan Pernah Meremehkan Kekuatan Perkataan yang Hati-hati dan Pertanyaan yang Tepat Waktunya
    Pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat sering menjadi katalis untuk perubahan. Hal itu mungkin menciptakan ketidaksesuaian secara kognitif  yang mempersyaratkan supervisee untuk mempertimbangkan kembali asumsi-sumsi dan berusaha keras menemukan cara-cara dimana untuk membuat pertimbangan dalam kaitannya dengan ketidaksesuaian, atau hal tersebut mungkin mengajak supervisee untuk berjalan melalui sebuah proses kognitif secara perlahan-lahan sehingga hal tersebut mungkin bisa diuji.
Para Supervisor selalu menjadi contoh,  baik disengaja ataupun tidak
Para supervee belajar suatu bahasa dan sebuah persepsi pada klien dan konseling dari supervisor mereka. Para supervee mungkin memotret apa yang dilihat dari supervisor dan diterapkan dalam sesi-sesi konseling.
Supervisi Kelompok Adalah Sebuah Hal Penting untuk Supervisi Individual, Memberikan sesuatu yang saling melengkapi namun Memiliki Peluang Pembelajaran yang berbeda
Keterampilan-keterampilan supervisor dalam mengarahkan dan menfasilitasi kelompok adalah persyaratan mutlak untuk menstruktur pengalaman-pengalaman supervisi kelompok. Supervisi kelompok juga dipengaruhi kuat oleh latar dan konteks. Artinya bahwa model maupun intervensi yang digunakan dalam supervisi perlu memperhatikan kebutuhan kelompok dan latarnya.
Isu-Isu Profesional: Kredensial, Etika Dan Standar
Isu-isu Etika
    Para supervisor memiliki tanggungjawab etik pada klien-kliennya dan superviseenya. Supervisor lebih utama harus mempertimbangkan kesejahteraan dan mengambil tindakan apapun yang perlu untuk melindungi mereka. Jelasnya, para supervisor juga harus sadar/tahu semua isu-isu etik yang berkaitan dengan proses konseling dan yakin bahwa para konselor mematuhi standar-standar etika. Selain itu para klien harus menyetujui istilah atau hal-hal yang berkaita dengan supervisi. Terutama pada awal konseling sebagai bagian dari prosedur informed consent. Dengan kata lain supervisor bertanggungjawab untuk tindakan-tindakan yang dilakukan supervisee dan oleh karena itu dapat menjadi pegangan secara legal mempertanggungjawabkan  tindakan-tindakan tersebut.    Selain itu supervisor memiliki tanggungjawab paralel pada supervisee. Mungkin yang utama, para supervisor seharusnya berkualifikasi konselor dan sebagai supervisor dalam istilah pelatihan mereka, pengalaman disupervisi, dan pengembangan keprofesionalan berkelanjutan seperti halnya pada area-area konseling yang mereka supervisi. Batasan-batasan kerahasiaan juga dibutuhkan khususnya diberikan hakekat evaluasi pada supervisi dan tanggungjawab supervisor pada bidangnya dan superviseenya.

Standar-standar Profesional
Profesi konseling memainkan peranan penting dalam mendirikan supervisi konseling sebagai sebuah bidang spesialisasi profesional. Tidak hanya melakukan standar akreditasi untuk praktik dan internship menghadirkan untuk sejumlah jam yang digunakan pada pelaksanaan konseling, juga terdapat kejelasan harapan untuk supervisi secara tatap muka dari pelaksanaan konseling yang internship. Jelasnya profesi ini memiliki nilai tinggi pada proses supervisi konseling untuk beberapa saat.
Dalam usahanya untuk mengoperasionalkan profesi supervisi konseling, Supervision Interest Network dari ACES merencanakan dan melengkapi sebuah proyek bertahap yang didesain untuk mendefinisikan secara khusus dan membuat standar untuk proyek tersebut. Dalam proyek itu dibuat juga standar untuk praktik supervisi (Dye & Borders, 1990), panduan untuk pelatihan para supervisor (Borders et al., 1991), dan etika dalam praktik supervisi. Dokumen-dokumen tersebut mendorong badan pemberi ijin praktik konseling untuk menulis undang-undang pemerintah tentang supervisi dan para supervisor dari pelamar yang memiliki ijin praktik konselor dan memberikan dasar untuk badan pemberi sertifikat/piagam nasional untuk para supervisor konseling melalui Badan Sertifikasi Konselor Nasional (National Board of Certified Counselors). Dampak dari standar tersebut semakin meninggikan derajat profesi supervisi konseling yang menandai pula meluasnya pelatihan bagi para supervisor konselor.
Perspektif di Masa depan
Satu peningkatan penting dalam area pelatihan para supervisor. Adanya undang-undang dan sebuah penganugerahan supervisor konseling nasional yang mempersyaratkan pelatihan yang diperlukan  untuk pelatihan supervisor dalam sebuah cara yang pragmatis. Oleh karena itu kita seharusnya tidak menjadi heran pada tampilan dari program-program pelatihan yang didesain untuk membantu praktisi memenuhi persyaratan termasuk lembaga universitas dan pendidikan berkelanjutan
(Oleh: Arbin Janu Setiyowati, Hariadi Ahmad, dan Hasrul Wahid)

___________________________________________________________________________________