Pada chapter ini meringkas dalam wujud-wujud prinsip-prinsip yang mendasari kepercayaan-kepercayaan yang ada tentang apa supervisi konseling dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.
Prinsip-Prinsip Mengenai Hakikat Dari Supervisi Konseling.
Supervisi konseling adalah, pada intinya, sebuah proses pendidikan.
Untuk menjadi suatu lembaga pendidikan yang sesungguhnya, supervisi harus proaktif, tidak tergesa-gesa, terarah pada tujuan, melibatkan strategi active learning yang dirancang untuk melibatkan supervisee tertentu. Sebagai sebuah proses pendidikan, supervisi perlu dievaluasi. Evaluasi itu sendiri adalah kunci bagian dari proses pendidikan. Model-model supervise yang dikembangkan antara lain:
o Model Diskriminasi
Menurut Bernard (1979,1997) model diskriminasi adalah suatu alat yang bermanfaat untuk membantu supervisor untuk memahami bahwa mereka memiliki pilihan dalam jangka waktu dari perencanaan dan perilaku dalam sesi supervisi. Peranan supervisor sebagai guru, konselor dan konsultan sekarang ini bersifat klasik, meski para supervisor harus jelas bahwa mereka sedang memanfaatkan keterampilan-keterampilan berdasarkan pada peran-peran ini dibandingkan beralih pada ke peran murni (contohnya: supervisor sebagai konselor tidak dapat memberikan layanan konseling pada supervisee). Tiga area focus model diskriminasi secara jelas menggambarkan keberagaman dan keluasan dari perlunya isi supervisor untuk membangun secara penuh seorang konselor. Dua dari area memfokuskan menekankan pada: keterampilan intervensi atau keterampilan tindakan (contoh: apa yang dilakukan oleh konselor) dan keterampilaan konseptual atau kognitif (Contoh: Bagaimana konselor berpikir tentang konseli dan proses konseling). Yang ketiga, personalisasi menekankan pada reaksi emotional terhadap konseli dan self awareness.
o Model Perkembangan.
Berbagai model perkembangan supervisi memberikan sebuah perspektif yang saling melengkapi dengan diskriminasi model. Penekanan terhadap supervisee daripada supervisor. Pada kenyataannya, ketika keduanya secara berdampingan, model perkembangan menyediakan suatu dasar pemikiran yang diperlukan untuk menentukan yang mana peranan dan fokus area yang digunakan untuk supervisee tertentu.
Model perkembangan menawarkan prinsip-prinsip kunci tentang hakikat dari supervisi yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Konselor bergerak maju secara bertahap mempelajari teori dan keterampilan-keterampilan konseling dan penerapannya terhadap para konseli.
2. Secara teoritis, konselor melanjutkan untuk mengembangkan keterampilan mereka sepanjang kehidupan profesional mereka,
3. Kualitas perkembangan konselor melalui tahapan-tahapan.
4. Perkembangan tahapan konselor tidak sama dengan dengan tahapan-tahapan pengalaman.
5. Intervensi-intervensi supervisoran yang berbeda adalah cara yang paling sesuai untuk berbagai tahapan-tahapan perkembangan, dengan suatu peralihan dari lebih direktif, edukatif, dan intervensi yang sangat mendukung ke lebih konfrontatif dan pendekatan konsultatif.
6. Tugas dari para penyelia adalah untuk menyediakan supervisoran yang akan mendorong pertumbuhan dan pengembangan dari mensupervisi.
o Counseling Theory-Based Models
Bagian ketiga dari model supervise adalah Counseling theory based. menurut sejarah, ini tidaklah benar-benar model-model supervisi tetapi lebih pada deskripsi prinsip-prinsip dan ketrampilan-ketrampilan teoritis yang diajarkan di dalam supervisi, yang sering kali melalui aplikasi teori konseling pada supervisee.
Hubungan Kesupervisian adalah Sangat Penting Untuk Proses Pendidikan.
Sebagai hal untuk menolong dan proses pendidikan, hubungan supervisor-supervisees sangatlah kuat mempengaruhi berapa banyak pelajaran dan perubahan dapat terjadi. Supervisor harus berhati-hati dalam tantangan dan dukungan yang diberikan Beberapa dinamika yang unik di dalam hubungan supervisoran juga harus menjadi bahan pertimbangan bagi para supervisor. Di luar dari intervensi konseling dan strategi konseptualisasi kasus, supervisees diminta untuk mengeksplor kepercayaan-kepercayaan mereka, motivasi-motivasi, emosi-emosi dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan konseli seperti juga hubungan dengan supervisor. Dengan cara ini hubungan supervisi itu sendiri menjadi suatu sarana yang baik untuk belajar.
Hubungan Supervisi Dipengaruhi Oleh Gender, Ras, Etnis Dan Orientasi Seksual, Sesuai Dengan Kondisi Budaya Sosial Umum Kita
Selama beberapa tahun terakhir, ada sangat banyak literatur yang memfokuskan pada supervisi lintas budaya dan multikultural. Sekalipun penelitian-penelitian empiris masih sangat terbatas jumlahnya, model-model konseptual dan eksplorasi konseptual telah sangat memperluas pemahaman kita tentang implikasi-implikasi dari gerakan multikultural bagi supervisi. Beberapa model konseptual didasarkan pada proses pengembangan dan mendeskripsikan kemajuan secara progresif dalam pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran multikultural dengan disertai petunjuk-petunjuk bagi intervensi supervisi yang sesuai bagi tahap perkembangan, seperti misalnya pergeseran dari struktur kuat ke pengurangan struktur (Leong dan Wagner, 1994). Beberapa penulis (Cook, 1994; Fong dan Lease, 1997; Leong dan Wagner, 1994) telah membahas tentang model-model identitas rasial (Helms, 1995) dan membawa implikasi bagi supervisi. Para penulis ini memandang bahwa status ego dan identitas ras dari supervisor dan bawahan akan lebih relevan bagi dinamika dari daripada ras atau etnis saja. Khususnya, interaksi antara status ego dalam hubungan berpasangan (dyad) (baik ketika dua orang yang ada dalam sebuah pasangan itu sama statusnya atau yang satu lebih tinggi statusnya daripada yang lain) bisa memprediksikan hasil-hasil yang didapatkan dari supervisi (Cook, 1994).
Penelitian-penelitian awal terhadap ras sebagai efek utama yang mempengaruhi supervisi masih mendapatkan temuan-temuan yang relatif bertolak belakang satu sama lain (Leong dan Wagner, 1994). Dalam sebuah penelitian terbaru (Ladany, Brittan-Powell dan Pannu, 1997), interaksi dari identitas ras (yaitu laporan mandiri (self report, laporan responden tentang kondisi responden sendiri -pent) dari supervisor tentang identitas ras mereka dan identitas ras dari bawahannya) didapati memiliki hubungan dengan peringkat dari bawahan tentang aliansi supervisi dan juga mempengaruhi persepsi mereka terhadap pengaruh dari supervisor terhadap kompetensi multikultural mereka. Ketika identitas rasial dari supervisor adalah tinggi, efek ini didapati lebih kuat. Sekalipun begitu, ras dari supervisor juga memiliki hubungan dengan kompetensi multikultural, dimana supervisor yang memiliki kulit berwarna (yaitu non-kulit putih -pent) didapati lebih besar pengaruhnya, tanpa terpengaruh oleh ras dari bawahannya.
Penelitian yang dilakukan Ladany dkk. (1997), sekalipun memiliki sejumlah kekurangan dari segi metodologi, mendukung pendapat tentang pentingnya identitas rasial di dalam supervisi konseling kng terbentuknya kompetensi multicultural melalui modeling yang diberikan.
Praktek Supervisi Konseling
Masih relatif sedikit penelitian yang sudah dilakukan terhadap praktek supervisor konseling, sehingga masih sedikit juga petunjuk berbasis empiris yang kita miliki bagi pelaksanaan supervisor. Seringkali, supervisor menggunakan intervensi-intervensi yang mereka pelajari dari pengalaman mereka sendiri ketika menjadi bawahan atau bekerja keras untuk menghindari masalah-masalah itu karena mereka pernah mendapatkan pengalaman negatif dalam supervisi. Sementara beberapa supervisor lainnya lebih mengandalkan pada teori-teori konseling yang ada untuk mendapatkan metode yang digunakan dalam mengajarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik berbasis teori. Dan memang sampai belakangan ini, sedikit saja supervisor yang memiliki kesempatan untuk memperhitungkan dan mempraktekkan berbagai jenis intervensi yang tersedia bagi mereka. Maka tidak mengherankan jika para peneliti mendapati bahwa tidak ada banyak perbedaan antara supervisor yang sudah memiliki banyak pengalaman dengan supervisor yang masih baru (Worthington, 1987) dan mereka mendapati bahwa para supervisor sangat mengandalkan pada satu metode supervisi saja, yaitu laporan mandiri (self report) (Borders dan Usher, 1992). Laporan mandiri ini didasarkan pada ingatan bawahan tentang apa yang terjadi dalam sesi-sesi konseling dan juga persepsi mereka sendiri tentang masalah apa yang harus diatasi selama supervisi. Pendekatan semacam ini mungkin efisien dari segi waktu tapi juga memberikan informasi yang sangat terbatas dan bahkan mungkin ber-bias.
Beberapa metode pengajaran, konseling dan konsultasi yang tersedia bagi para supervisor konseling
Para supervisor bisa menggunakan ketrampilan yang mereka dapatkan dari peran mereka lainnya di dalam merancang intervensi supervisi (Borders dan Leddick, 1987). Intervensi berbasis peran telah dibahas secara spesifik oleh Stenack dan Dye (1982) dan sudah diperluas dan diberikan contoh-contohnya oleh Neufeldt dkk. (1995). Dalam prakteknya, metode berbasis peran ini jarang sekali memiliki batasan yang jelas seperti yang nampak secara sekilas, karena seringkali metode-metode itu memiliki tujuan-tujuan yang saling tumpang tindih atau beberapa tujuan yang digabungkan. Tergantung pada implementasinya, satu metode yang sama bisa digunakan untuk mencapai lebih dari satu tujuan.
Seperti yang nampak dari intervensi berbasis peran, tidak banyak metode supervisi yang hanya digunakan dalam supervisi saja, melainkan merupakan metode dari bidang lain yang diadaptasikan dan diterapkan pada supervisi sehingga membuatnya menjadi berbeda dari konteks yang satu dengan konteks yang lain. Tiap metode ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri dan tiap metode adalah lebih baik untuk tujuan pembelajaran tertentu daripada untuk tujuan pembelajaran yang lain.
Seni dari supervisi adalah terletak pada proses di dalam memilih metode yang tepat, mengubahnya agar sesuai dengan kebutuhan, kepribadian, gaya pembelajaran, dan tujuan dari bawahan tertentu, dan kemudian mengimplementasikannya dalam intervensi yang dilakukan di waktu yang tepat. Maka supervisor perlu memiliki beberapa jenis ketrampilan yang berbeda-beda dan metode-metode yang berbeda-beda yang bisa mereka gunakan dan mereka sebaiknya tidak mengandalkan hanya pada pendekatan-pendekatan yang mereka sukai selama ini saja.
Para supervisor sebaiknya menggunakan secara teratur dan konsisten intervensi-intervensi yang bisa membuat mereka mendapatkan pengetahuan langsung tentang pekerjaan konselor
Laporan mandiri (self report), menurut definisinya itu sendiri, memiliki sifat obyektif yang terbatas/sangat rendah. Betapapun besarnya kesediaan dari bawahan untuk memberikan laporan yang lengkap dan tidak ber-bias, namun bawahan hanya bisa melaporkan apa yang mereka amati atau mereka simpulkan berdasarkan kerangka rujukan mereka sendiri tentang diri klien, diri mereka sendiri dan tentang proses konseling. Karenanya, laporan mandiri bisa memberikan informasi yang sangat berguna tentang pengolahan informasi yang dilakukan bawahan tapi ini tetap harus ditunjang dengan pengetahuan langsung tentang pekerjaan klinis. Ada beberapa jenis intervensi langsung yang tersedia selama meninjau kaset audio dan video dari sesi-sesi konseling, seperti observasi langsung dan metode supervisi langsung (seperti metode bug in the ear, metode konsultasi telpon, supervisi oleh tim) dan konseling bersama (co-counseling) (Bernard dan Goodyear, 1992, 1998; Borders dan Leddick, 1987).
Dengan menggabungkan antara laporan mandiri dengan intervensi langsung, maka supervisor bisa mendapatkan pemahaman yang berharga tentang bagaimana ketrampilan observasi dari bawahan dan/atau sejauh mana kesediaan dari bawahan untuk mengungkapkan laporan. Selain itu, metode langsung juga memungkinkan para supervisor untuk mencapai tujuan-tujuan lain seperti mengamati reaksi atau perilaku non-verbal dari klien terhadap intervensi yang dilakukan konselor, waktu dan kecepatan konsleing, dan ritme dari sesi konseling. Ada beberapa metode (seperti bug in the ear dan konsultasi) yang juga memungkinkan untuk mendapatkan masukan secara langsung dan petunjuk selama sesi, sehingga para bawahan bisa bekerja dengan klien yang lebih sulit dalam waktu yang lebih cepat.
Salah satu intervensi langsung, yaitu interpersonal process recall (IPR) (Kagan, 1980; Kagan dan Kagan, 1997) adalah metode supervisi yang mungkin paling unik. Tujuan dari IPR, yang merupakan sebuah pendekatan fenomenologis dan humanistik, adalah untuk meningkatkan kesadaran dari bawahan tentang pikiran dan perasaan serta pengalaman dari klien selama sesi. Supervisor mengambil peranan yang tidak menghakimi dan tidak menilai dan hanya menjadi “penanya” yang mengarahkan para bawahan untuk mengalami kembali sesi yang sudah terjadi. Tujuan dari supervisor adalah untuk memperluas kesadaran dari bawahan menghindar dari pemberina masukan dan ia hanya memfokuskan pada ketrampilan atau hanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan pengarah (seperti “Apakah Anda berpikir tentang ...?”, “Cara lain apa yang Anda coba?”). Bertahan pada posisi hanya sebagai penanya saja seringkali sulit untuk dilakukan oleh supervisor. IPR bisa dilakukan untuk meninjau keseluruhan sesi atau segmen tertentu dari sesi saja, yang dipilih sebelumnya oleh bawahan atau oleh supervisor, tergantung pada apa yang menjadi tujuan dari supervisi itu. Metode ini dapat menunjukkan secara jelas tentang bagaimana pengalaman internal dari bawahan dan proses pikiran bawahan selama sesi (seperti ketika bawahan menyadari bahwa ia perlu melakukan konfrontasi tapi takut akan respon dari klien, atau ketika bawahan menyadari bahwa ada tema tertentu dalam laporan klien tapi tidak tahu bagaimana cara menggunakan informasi itu, atau bawahan mendengar bahwa sang suami kurang memiliki komitmen terhadap perkawinan itu tapi ia sengaja mengabaikannya dengan harapan bahwa perkawinan itu bisa diselamatkan). Bahkan dengan meminta bawahan untuk mengingat kembali seperti ini, maka supervisor bisa mengubah dan memperbaiki asumsi-asumsinya tentang kemampuan dan pemahaman dari bawahannya.
Sebagian besar Pekerjaan dalam Supervisi didasarkan pada Kognitif
Sampai saat ini diskusi secara sistematik dan komprehensif mengenai keterampilan-keterampilan kognitif dan proses yang diperlukan seperti halnya tata cara dimana menggunakan keterampilan kognitif tersebut masih kurang. Berlawanan dengan keterampilan-keterampilan dan teknik-teknik yang nampak, kognisi sulit untuk dispesifikkan dan diajarkan, meskipun sedang ada usaha yang menjanjikan dalam mengembangkannya. Tentu saja hal tersebut terbentur juga oleh berapa banyak poin-poin yang akan disupervisi, tapi hal itu bukanlah hal yang utama. Fokus utamanya adalah pekerjaan pensupervisian. Tujuan akhir pengembangan model supervisi adalah untuk mendorong pemikiran ke arah tingkat pemikiran konsep yang lebih tinggi. Jelasnya, keterampilan-keterampilan ini adalah penting untuk kemampuan konselor dalam memahami klien atau keluarga dan menciptakan rencana treatmen yang sesuai dengan situasi dan kondisi klien. Dengan demikian diperlukan praktik, studi dan evaluasi lebih banyak dalam menggunakan keterampilan-keterampilan kognitif.
Jangan Pernah Meremehkan Kekuatan Perkataan yang Hati-hati dan Pertanyaan yang Tepat Waktunya
Pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat sering menjadi katalis untuk perubahan. Hal itu mungkin menciptakan ketidaksesuaian secara kognitif yang mempersyaratkan supervisee untuk mempertimbangkan kembali asumsi-sumsi dan berusaha keras menemukan cara-cara dimana untuk membuat pertimbangan dalam kaitannya dengan ketidaksesuaian, atau hal tersebut mungkin mengajak supervisee untuk berjalan melalui sebuah proses kognitif secara perlahan-lahan sehingga hal tersebut mungkin bisa diuji.
Para Supervisor selalu menjadi contoh, baik disengaja ataupun tidak
Para supervee belajar suatu bahasa dan sebuah persepsi pada klien dan konseling dari supervisor mereka. Para supervee mungkin memotret apa yang dilihat dari supervisor dan diterapkan dalam sesi-sesi konseling.
Supervisi Kelompok Adalah Sebuah Hal Penting untuk Supervisi Individual, Memberikan sesuatu yang saling melengkapi namun Memiliki Peluang Pembelajaran yang berbeda
Keterampilan-keterampilan supervisor dalam mengarahkan dan menfasilitasi kelompok adalah persyaratan mutlak untuk menstruktur pengalaman-pengalaman supervisi kelompok. Supervisi kelompok juga dipengaruhi kuat oleh latar dan konteks. Artinya bahwa model maupun intervensi yang digunakan dalam supervisi perlu memperhatikan kebutuhan kelompok dan latarnya.
Isu-Isu Profesional: Kredensial, Etika Dan Standar
Isu-isu Etika
Para supervisor memiliki tanggungjawab etik pada klien-kliennya dan superviseenya. Supervisor lebih utama harus mempertimbangkan kesejahteraan dan mengambil tindakan apapun yang perlu untuk melindungi mereka. Jelasnya, para supervisor juga harus sadar/tahu semua isu-isu etik yang berkaitan dengan proses konseling dan yakin bahwa para konselor mematuhi standar-standar etika. Selain itu para klien harus menyetujui istilah atau hal-hal yang berkaita dengan supervisi. Terutama pada awal konseling sebagai bagian dari prosedur informed consent. Dengan kata lain supervisor bertanggungjawab untuk tindakan-tindakan yang dilakukan supervisee dan oleh karena itu dapat menjadi pegangan secara legal mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan tersebut. Selain itu supervisor memiliki tanggungjawab paralel pada supervisee. Mungkin yang utama, para supervisor seharusnya berkualifikasi konselor dan sebagai supervisor dalam istilah pelatihan mereka, pengalaman disupervisi, dan pengembangan keprofesionalan berkelanjutan seperti halnya pada area-area konseling yang mereka supervisi. Batasan-batasan kerahasiaan juga dibutuhkan khususnya diberikan hakekat evaluasi pada supervisi dan tanggungjawab supervisor pada bidangnya dan superviseenya.
Standar-standar Profesional
Profesi konseling memainkan peranan penting dalam mendirikan supervisi konseling sebagai sebuah bidang spesialisasi profesional. Tidak hanya melakukan standar akreditasi untuk praktik dan internship menghadirkan untuk sejumlah jam yang digunakan pada pelaksanaan konseling, juga terdapat kejelasan harapan untuk supervisi secara tatap muka dari pelaksanaan konseling yang internship. Jelasnya profesi ini memiliki nilai tinggi pada proses supervisi konseling untuk beberapa saat.
Dalam usahanya untuk mengoperasionalkan profesi supervisi konseling, Supervision Interest Network dari ACES merencanakan dan melengkapi sebuah proyek bertahap yang didesain untuk mendefinisikan secara khusus dan membuat standar untuk proyek tersebut. Dalam proyek itu dibuat juga standar untuk praktik supervisi (Dye & Borders, 1990), panduan untuk pelatihan para supervisor (Borders et al., 1991), dan etika dalam praktik supervisi. Dokumen-dokumen tersebut mendorong badan pemberi ijin praktik konseling untuk menulis undang-undang pemerintah tentang supervisi dan para supervisor dari pelamar yang memiliki ijin praktik konselor dan memberikan dasar untuk badan pemberi sertifikat/piagam nasional untuk para supervisor konseling melalui Badan Sertifikasi Konselor Nasional (National Board of Certified Counselors). Dampak dari standar tersebut semakin meninggikan derajat profesi supervisi konseling yang menandai pula meluasnya pelatihan bagi para supervisor konselor.
Perspektif di Masa depan
Satu peningkatan penting dalam area pelatihan para supervisor. Adanya undang-undang dan sebuah penganugerahan supervisor konseling nasional yang mempersyaratkan pelatihan yang diperlukan untuk pelatihan supervisor dalam sebuah cara yang pragmatis. Oleh karena itu kita seharusnya tidak menjadi heran pada tampilan dari program-program pelatihan yang didesain untuk membantu praktisi memenuhi persyaratan termasuk lembaga universitas dan pendidikan berkelanjutan
(Oleh: Arbin Janu Setiyowati, Hariadi Ahmad, dan Hasrul Wahid)
___________________________________________________________________________________
No comments:
Post a Comment