Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

April 26, 2010

Hakikat Konseling Lintas Budaya


A. PRESPEKTIF KONSELING LINTAS BUDAYA

Banyak hal saat ini dikendalikan oleh pemahaman tentang perubahan cepat menuju masyarakat multirasial, multikultural, dan multigual (Sue, 1991; Sue & Sue, 1990). Masa lalu masarakat berpola dengan cara pandang utama monokultural dan monoligual dan telah menjadikan “encapsulated counselor” (Wrenn, 1962)
Diversifikasi Amerika
Sensus amerika tahun 1990 (the 1990 U.S. sensus) mengungkap saat ini amerika berbeda dalam perubahan demografi yang radikal. Tren populasi ini disebut sebagai “diversitifacation of Ameica” sebagai akibat dari (a). Pola imigrasi saat ini dan (b). Perbedaan rentang kelahiran antara kulit putih dan ras serta etnis minoritas lain. Saat ini imigran terdiri dari keturunan Asia (34%), Latino (34 %) dan selebihnya ras lain, populasi yang tumbuh tercepat adalah penduduk Amerika keturunan Asia yang berkembang mendekati 80% pada tahun 1980an. Semetara Latino telah mencapai 55 juta dan akan menjadi populasi terbesar dalam 2025, sementara itu angka kelahiran kulit putih menurun dan lebih kecil dibanding ras dan etnis lainnya (White American = 2,9; African Americans = 2,4, Mexican Americans = 2,9; Vietnamese = 3,4; Latians = 3,6; Cambodians = 7,4; dan Hmongs = 11,9/per ibu).
Implikasi pertumbuhan ini berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan sosial termasuk ketenagakerjaan yang diwarnai latar belakang ras dan etnis yang berlainan. Para pendidik dan konselor akan menghadapi realita demografis didalam kerjanya.

Kenyataan Pelatihan Model Monokulltural
Beberapa literatur menyatkan bahwa pendekatan dan teknik konseling tradisional tidak efektif diterapkan pada ras dan etnis monoritas penduduk di Amerika (Bernal & Padilla, 1982, dkk). Profesional konseling memahami ras, kultur, dan etnik sebagai fungsi dan bukan dibatasi “hanya pada minoritas” tertentu saja. APA (Americans Psychologist Association) telah memberikan sinyal harapan dengan nilai memproses revisi anggaran rumah tangga dan etika dasar (Bylaws dan Ethical Priciples) untuk merefleksi perbedaan budaya. Pada musim semi 1990 sub komite budaya dan perbedaan individu telah me-review Criterion II of APA “Criteria for Accreditation” hasilnya mengambarkan bahwa multibudaya merupakan hal yang tidak terpisahkan, harus dikembangkan dan berbeda dalam seluruh program pelaksanaan.
Realitas Sosial Politik
Profesi konseling seringkali merefleksikan nilai-nilai masyrakat luas (Kats, 1985; Sue & Sue, 1990). Beberapa refrensi menyebut konseling sebagai “tangan utama status quo” dan “penyabung nilai-nilai masyarakat”. Hal ini mengidikasikan bahwa konseling memiliki potensi dalam sosial politik yaitu:
a. Cara pandang konselor dan klien terhadap dunianya pada akhirnya terkait dengan sejarah dan pengalaman terkini tentang rasisme dan tekanan AS (Atkinson, Morten & Sue, 1989, dkk)
b. Para profesional konseling perlu memahami bahwa pelaksanaan konseling tidak terpisah dengan peristiwa-peristiwa besar di masyarakat

Penelitian dan konsep tentang multikultural
Sistem nilai-nilai kelas menegah para kulit putih, seringkali terefleksi dalam penelitian konseling dan psikologi tentang ras dan etnis minoritas. Berdasar sejarah terdapat tiga model yang cukup hangat dalam mengkonseptualisasikan penelitian bertemakan ras dan bahasa kaum minoritas (Casas, 1987; Katz, 1985; Ponterotto, 1988; Sue & Sue, 1990). Pertama tentang inverioritas dan pathological. Premis dasar menyatakan bahwa para minoritas lebih rendah tingkat evolusioner-nya, (lebih primitiv) dan patologis dari pada kaum kulit putih, model kedua menyatakan para kulit hitam, ras, dan minoritas lain tidak cukup secara biologis dibandingkan dengan kulit putih. Sementara kaum minoritas lebih rendah secara biologis dan genetis, ketiga model penurunan budaya, yang menyatakan para ras dan kaum minoritas tidak memiliki “budaya yang bener”
Dalam sepuluh tahun terakhir, konsep-konsep baru berbeda model, muncul dalam literatur, seringkali muncul seperti: culturally different model (Katz, 1985; Sue, 1981), multicultural model (Johson, 1990), Culturally pluralistik model atau Culturally diverese model (Pototerotto & Cassas, 1991), model-model baru ini membuat beberapa asumsi:
a. Pertama keyakinan bahwa pendekatan budaya tidak sama dengan Deviancy, pathologi, atau inveriority.
b. Rasial dan minoritas etnis adalah bicultural dan berfungsi dalam dua kontek budaya yang berbeda
c. Bilcultural dipandang sebagai kualitas positif dan diharapkan memperkaya potensi kehidupan dalam segala lapisan
d. Individu-individu dipandang dalam hubungannya dengan lingkungannya dan kekuatannnya dan kekuatan sosial yang lebih besar, daripada secara individual atau kelompok minoritas


Isu-isu etika
Para fropesional tampa latihan dan kompetensi kerja dengan klien dengan latar belakang budaya berbeda, adalah tidak etis, jika percaya bahwa pandangan multikultural dapat dipandang sebagai malajustment dalam masyarakat yang pluralistik (Szapoeznic, Santisteben, Durtines, Pres Vidal & Hervis, 1983). Konselor yang tidak sadar akan basis perbedaan yang terjadi antara individu dan budayanya, akan menyalahkan karakteristik-karakteristik negatif dari suatu budaya, diperlukan kesadaran tentang kondisi konselor, kondisi kliennya, dan sistem sosial poliik agar konselor tidak terjebak dalam praktek yang tidak etis dan berbahaya.


B. KOMPETENSI DAN STANDAR KONSELING LINTAS BUDAYA
Jelaslah bahwa kebutuhan konseling lintas mudaya diperlukan dan sangat penting terkait penerapan etika dan kebutuhan kerja profesional konseling

Kompetensi konselor litas budaya
Sue & Sue (1990) mengorganisir karakteristik konselor dalam tiga dimensi:
a. Konselor yang berketarampilan budaya adalah seorang yang aktif berproses menjadi sadar terhadap anggapan-anggapannya tentang tingkah laku manusia, nilai-nilai, bias-bias, keterbatasan pribadi, dan sebagainya
b. Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif memahami pandangannya terhadap perbedaan budaya klien tampa penilaian yang negatif
c. Konselor yang berketerampilan budaya adalah seorang yang aktif dalam proses pengembangan dan menerapkan secara tepat, televan, dan sensitif menggunakan startegi dan keterampilan intervensi sesuai dengan perbedaan budaya klien

Dimensi Kompetensi Kultural
Kompetensi konseling lintas budaya terbagai atas tiga dimensi yaitu: (a) Keyakinan dan sikap, (b). Pengetahuan, (c). Keterampilan (Carney & Kahn, 1984; Sue, 1982). Penjelasan dari tiga dimensi tersebut adalah:
a. Keyakinan dan sikap konselor terhadap ras dan etnis minoritas, kebutuhan meneliti bias-bias dan steriotipe, pengembagan menuju orentasi positif multikulturalisasi, nilai-nilai dan bias-bias konselor yang menghalangi efektifitas konseling lintas budaya
b. Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap cara pandangnya sendiri, memiliki pengetahuan khusus tentang budaya kelompok partner kerjannya, memahami pengaruh sosiopolotik
c. Memiliki keterampilan khusus bekerja kelompok minoritas


Kompetensi-kompetensi konseling litas budaya: sebuah kerangka kerja konseptual
Pembahasan kompetensi konselor lintas budaya dikembangkan atas kemungkinan 3 karakteristik X 3 dimensi sebagai dasar matrik pengembangan, dalam tiga karakteristik tersebut memiliki tiga dimensi dengan demikian secara keseluruhan terdapat sembilan kompetensi konselor litas budaya, untuk lebih jelas sebagai berikut:
a. Kesadaran konselor terhadap asumsi-asumsi, nilai, bias-biasnya sendiri
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya harus mengubah ketidaksadarannya menuju kesadaran budaya serta cukup sensitif terhadap warisan budaya sendiri untuk menilai dan menghormati perbedaan-perbedaan
- Konselor lintas budaya menyadari bagaimana latar belakang budaya dan pengalaman, sikap, nilai-nilai, dan bias-bias berpengaruh pada proses psikologis
- Konselor lintas budaya dapat mengenali keterbatasan kompetensi kliennya
- Konselor lintas budaya menikmati perbedaan dirinya dengan klien mencakup ras, etnis, budaya, maupun kepercayaan
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus tentang rasial, warisan budaya, dan bagaimana hal tersebut secara pribadi dan secara profesional mempengaruhi pengertian-pengertiannya, bias-bias normalitas-abnormalitas, serta proses konseling
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bagaimana tekanan, rasial, deskriminasi dan striotipe mempengaruhi pribadi dan kerjanya
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan dampak sosialnya berpengaruh pada orang lain. Mereka tahu tentang perbedaan gaya komunikasi, bagaimana gayanya bertentangan atau menunjang proses konselingnya, dan tahu bagaimana mengantisifasi akibat-akibatnya pada orang lain
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya mencari bidang pendidikan, konsultasi, dan pengalaman pelatihan dalam memperkaya pemahamannya dan efektifitas kerjannya dalam populasi budaya yang berbeda. Untuk mengenali keterbatasan kopetensinya mereka harus: berkonsultasi, studi atau latihan lanjutan, menjadi lebih berkualifikasi, terlibat dalam tiga aspek tersebut
- Konselor lintas budaya secara konstan mencari pemahaman dirinya sebagai rasial, berbudaya dan secara aktif mencari identitas non rasial

b. Pemahaman cara pandang terhadap perbedaan budaya klien
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya menyadari reaksi emosional negatifnya terhadap ras maupun eknik lain yang terbukti murugikan proses konseling
- Konselor litas budaya menyadari streotipenya dan preconcelved Notions mempengaruhi rasial dan kelompok minoritas lainnya
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan khusus dan informasi tentang kelompok tertentu dari klien yang sedang dihadapinya
- Konselor lintas budaya memahami bagaimana ras, budaya, etnis, berpengaruh pada pembentukan pribadi, pemilihan pekerjaan, ganguan psikologis, ketepatan dan ketidaktepatan pendekatan konseling
- Konselor lintas budaya memahami dan memiliki pengetahuan tentang pengaruh sosiopolitik yang berbenturan dengan kehidupan ras tertentu maupun etnis minoritas
3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya cukup mengenal riset yang relevan dan penemuan mutakhir tentang kesehatan mental, gangguan mental pada berbagai ras dan etnis
- Konselor lintas budaya aktif terlibat dengan individu dari minoritas tertentu diluar seting konseling

c. Pengembangan strategi intervensi dan teknik-teknik yang tepat
1. Keyakinan dan sikap
- Konselor lintas budaya menghargai keagamaan dan keyakinan klien serta keyakinan dan nilai-nilai fungsi-fungsi fisik dan mental
- Konselor lintas budaya menghormati praktek-praktek bantuan pribumi menghormati jaringan bantuan intrinsik masyarakat minoritas
- Konselor lintas budaya menghormati ke-dwibahasaan dan tidak memandang bahasa lain sebagai halangan untuk konseling
2. Pengetahuan
- Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang jelas, eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi dan bagaimana jika dia bertentangan dengan nilai-nilai budaya dari berbagai kelompok minoritas
- Konselor lintas budaya sadar akan hambatan secara lembaga yang menghambat para kaum minoritas memanfaatkan layanan kesehatan mental
- Konselor lintas budaya mempunyai pengetahuan tentang potensi bias alat-alat pengukuran dan menggunakan prosedur, mengiterprestasi temuan berdasar budaya dan karakteristik bahasa klien
- Konselor lintas budaya memiliki pengetahuan tentang struktur keluarga para minoritas, herarki, nilai-nilai, dan keyakinan
- Konselor lintas budaya sadar akan relevansi perbedaan praktek-praktek pada tingkat sosial dan komunitas tertentu yang memungkinkan mempengaruhi kesejahteraan psikologis populasi yang mendapat pelayanan

3. Keterampilan
- Konselor lintas budaya memiliki keterampilan dalam berbagai macam respon verbal maupun nonverbal, mereka dapat mengirim dan menerima respon verbal maupun non verbal secara akurat dan tepat. Dia juga dapat mengatisipasi akibat negatif keterbatasan dan ketidaktepatan cara/gaya bantuannya
- Konselor lintas budaya dapat melatih keterampilan intervesi secara lembaga atas nama kliennya. Mereka dapat membnatu klien menentukan masalah mana yang bersumber dari rasisme, atau bias-bias lain, sehingga klien secara tidak tepat menyalahkan dirinya
- Konselor lintas budaya tidak menentang untuk mencari konsultasi secara tepat dengan para penyembuh tradisional, para religius, para pemimpin agama, para praktisi, dalam proses tretmennya pada klien yang berbeda budaya
- Konselor lintas budaya bertanggung jawab atas interaksi dalam bahasa-bahasa yang diminta klien; hal ini juga memungkinkan reveral ke pihak luar secara tepat. Permasalahan yang sering muncul adalah konselor tidak memiliki kemampuan bahasa sesuai dengan klien. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan: 1) mencari terjemah yang memiliki pengetahuan bahasa dan latar belakang profesi yang tepat, 2). Menunjuk konselor yang cakap dalam dwibahasa
- Konselor lintas budaya memiliki keahlian dalam menggunakan intrumen testing dan pengukuran tradisional
- Konselor lintas budaya dapat menghadirkan dan juga menghilangkan bias, prasangka, dan praktek-praktek diskriminasi
- Konselor lintas budaya bertanggungjawab membelajarkan klien dalam prose intervensi psikologi seperti tujuan, harapan, keabsahan, dan orentasi konselor.

C. Pendekatan Emic dan Etic
Konselor litas budaya memasukkan pendekatan informal adalah mengunakan kontributor terhadap konseling lintas budaya yaitu berusaha menyampaikan pengharapan conseli tentang latar belakang budaya berbeda, dengan mendorong kesadaran untuk menetralkan masalah dalam memperoses konseling lintas budaya bagi pengalaman klien. Konselor yang berorentasi emic dihasilkan berdasarkan konsep, dan pendekatan yang indigen terhadap budaya, sedangkan konseling berorentasi etik didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan antara budaya adalah kuantitatif dan konsep dasar diaplikasikan
Apa yang hendak didorong pengarang adalah pergeseran dari pandangan etic kepada emic, dan sebaliknya, melalui improvisasi dan pencampuran kreatif dua perspektif tersebut, kadang-kadang dengan mengintegrasikannya ke dalam konseptualisasi dan teknik. Orientasi yang mereka sampaikan menunjukkan tarik menarik dengan formulasi Berry (1969)


TEKNIK VERSUS HUBUNGAN
Generalisasi secara tentatif menyatakan bahwa hubungan variabel-variabel lebih kuat ketika ditransfer antar budaya daripada dalam teknik khusus, seperti yang disampaikan oleh refleksi perasaan, menonjol dan populer pada waktu itu. Beberapa pengarang menggabungkan pengakuan pentingnya ‘fleksibilitas teknik,... sensitivitas pribadi dan keterbukaan terhadap intervensi aktif dan langsung’ (Draguns, 1976), Untuk membantu konselor mengimplementasikan prinsip-prinsip umum ini, berikut disampaikan :
Dalam mengadaptasikan teknik (misalnya level aktivitas umum, mode intervensi verbal, konteks remark, nada suara) dengan latar belakang budaya dari klien; penerimaan komunikasi dan penghargaan klien dalam bentuk makna dan kepintaran di dalam kerangka budaya dia sendiri; dan keterbukaan terhadap kemungkinan intervensi langsung dalam kehidupan klien daripada etos tradisional yang ditentukan atau dibolehkan oleh konselor.

KONSELING BUDAYA SEBAGAI PROSES PEMBELAJARAN BILATERAL
Kontributor edisi pertama Konseling Lintas Budaya mengakui bahwa Konseling Lintas Budaya melibatkan pengalaman pembelajaran bilateral di mana baik konselor ataupun klien berpartisipasi, dan di mana keduanya terpengaruh, klien memperoleh perubahan menguntungkan. Namun kontak dan interaksi budaya di secara pribadi bermanfaat dan secara emosional mengisi hubungan, karakteristik pengalaman konseling selalu mempengaruhi konselor dengan baik. Pertama, terdapat pengalaman perbedaan yang tidak dapat dihindari. Dari ini seringkali terdapat reaksi yang sulit dan kadang-kadang menyakitkan, pikiran terbuka dan konselor perseptif dapat belajar banyak tentang dirinya dan pandangan mereka tentang budaya lain. Dalam proses tersebut, mereka dapat meningkatkan sensitivitas dan kompetensi lintas budaya.
Sebuah keuntungan insidental bagi konselor konseling lintas budaya ditemukan dalam pandangan klien yang menyampaikan pengalaman subyektif tentang budaya lain

KONSELING LINTAS BUDAYA SEBAGAI USAHA BERORIENTASI MASA DEPAN
Prince (1963) telah pergi ke Nigeria dan membawa kembali dua kesimpulan penting: berdasarkan irrelevansi teknik terapi barat yang tidak dimodifikasi dan tentang efektivitas intervensi pribumi (indigenous). Torey (1972) telah menyampaikan kasus untuk mengidentifikasi isi efektif psikoterapi dalam non barat tradisional dan psikoterapi Euro-American, Konsensus dalam bidang tersebut menekankan kesulitan-kesulitan lintas budaya dalam intervensi terapi (Wintrob 1976; Wohl 1976).




DAFTAR RUJUKAN

Pedersen, P.B. 1991. A conceptual framework. Journal of Counseling and Development. Vol 70. No 1. hal 5.

Pedersen, P.B. 1991. Multiculturalisme as a generic counseling and development. Journal of Counseling and Development. Vol 70. No 1. hal 6-12

Pedersen, P.B.; Draguns, J.G.; Lonner, W.J. dan Trimble, J.E. 2002 Counseling Across Cultures. 5th Edition. London: Sage

March 23, 2010

HAKEKAT ANALISIS TINGKAHLAKU Analisis Consequent (Negatif)


A. CONSEQUENCES
Consequences adalah kejadian-kejadian yang menyertai suatu tingkah laku yang berfungsi untuk meningkatkan/memperkuat atau mengurangi tingkah laku. Sedangkan konsekuensi merupakan akibat langsung dari suatu tingkah laku setelah tingkah laku itu terjadi yang mengakibatkan suatu tingkatan tertentu dari tingkah laku tersebut. Pengaruh perilaku konsekuensi melalui suatu proses yang disebut: Operant Conditioning (Pengaruh keadaan Operant). Operant Conditionin merupakan berbagai cara umum yang digunakan dalam proses pembelajaran. Dalam Operant Conditioning terjadi suatu tingkah laku tertentu yang terjadinya tergantung dari apa yang benar-benar terjadi setelahnya. Pengaruh Operant Conditioning mengacu pada suatu proses dimana terjadinya tingkah laku yang sedikit dimodifikasi oleh konsekuensi dari tingkah laku (Reynolds, 1968)
Positive Reinforcement
Positive Reinforcement (Penguatan positif) yaitu konsekuensi yang membuat tingkah laku akan lebih mungkin untuk terjadi lagi dimasa yang akan datang. Biasanya reinforcer adalah sesuatu yang diperkuat oleh pengalaman individu yang menyenangkan atau bermanfaat, seperti es krim coklat. Reinforcer bisa datang dalam bentuk terukur atau tak terukur, seperti permen atau senyum dari sesorang yang kita sukai, ini sangat menggoda kita untuk mendapatkannya.
Primary Reinforcer (Reinforcer primer)
Primary Reinforcer (Reinforcer primer) adalah tingkah laku yang menguatkan untuk diri sendiri umumnya berhubungan untuk membantu kehidupan kita, misalnya makanan dan minuman secara alami menguatkan kita untuk mengambilnya pada saat kita lapar dan haus (sataus dari sedang lapar dan haus menjadikan suatu peristiwa).
Secondary reinforcer, conditioned reinforcer.
Reinforcer sekunder biasanya berupa ucapan seperti memuji, berterimakasih atau memberikan suatu kehormatan dan anugerah yang pada hakekatnya akan menguatkan diri mereka sendiri.
Extrinsic reinforcer
Extrinsic reinforcer yaitu reinforcer yang terukur atau konsekuensinya jelas terlihat, bisa dirasakan, bisa disentuh dan sebagainya. Contohnya Acul bin Hasrul memainkan gitar karena diminta oleh Sari karena akan diberi hadiah apabila mau memeinkan gitar
Intrinsic reinforcer
Intrinsic reinforcer yaitu suatu tingkah laku yang akan memperkuat dirinya sendiri. Aktifitas kreatif sering dipertimbangkan sebagai reinforcer. Contohnya Acul bin Hasrul memainkan gitar dan bernyanyi karena keinginannya sendiri (hobi). Jadi dalam hal ini sebenarnya kita tidak bisa menambahkah konsekuensi kepada Hasrul untuk memainkan gitarnya
Automatic reinforcement, (Penguatan otomatis)
Automatic reinforcement, (Penguatan otomatis) yaitu tingkah laku yang tidak ada hubungannya dengan interaksi orang lain, tapi tingkah laku tersebut dapat merugikan diri sendiri. Contohnya tingkah laku merokok. Pengaruh nikotin dan pola tingkah laku self-stimulating nya sebenarnya merugikan diri sendiri. Hal ini adalah contoh dari penguatan otomatis dan beberapa tingkah laku self-injurious (SIBs) yang dipertahankan dengan penguatan otomatis.
Social reinforcement (Penguatan social)
Social reinforcement (Penguatan social) adalah salah satu jenis penguatan sekunder yang melibatkan pemberian perhatian dari pihak lain. Bergantung kepada keadaan sosial dan siapa perhatian berasal, perhatian mereka mungkin dapat menguatkan atau mungkin tidak menguatkan. Peristiwa yang sama dapat melibatkan kedua reinforcer (primer dan sekunder).
Generalized reinforcer (reinforcer yang disamaratakan)
Sebagai tambahan dari reinforcer terkondisikan, maka generalized reinforcer misalnya uang, tanda, bintang, chip, titik dan berbagai macam reinforcer yang dapat ditukar.
Backup reinforcer
Generalized reinforcer tidak akan efektif kecuali jika mereka mempunyai backup reinforcer dangan yang dapat diperoleh sebagai pertukaran dengan generalized reinforcer. Backup reinforcer (misalnya TV, mobil, pakaian, boneka, buku, makanan kecil, hak istimewa, dsb.)
Edibles (hadiah yang dapat dimakan)
Makanan dapat digunakan sebagai salah satu reinforcer, hal ini sering dikenal sebagai edible. Bentuk edible biasanya potongan kecil dari makanan, seperti kacang, biskuit kering/crackers, buah anggur dan lainnya. Pada skema dasar pemikiran, penggunaan makanan khususnya permen dan beberapa bahan sehat lainnya dimaksudkan sebagai suatu keadaan sementara, dengan harapan suatu saat dapat digantikan dengan reinforcer sosial atau reinforcer alami.
Contrived reinforcement (Mengusahakan Penguatan)
Contrived reinforcement adalah suatu istilah yang digunakan oleh Skinner untuk menunjuk secara khusus konsekuensi tiruan pada tingkah laku. Reinforcer tidak dapat terjadi secara alami dari tingkah laku yang diusahakan.
Satiation
Suatu pertimbangan penting kedua yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan satiation atau deprivation dengan memberikan penghargaan pada reinforcer yang dimaksud. Contoh jika Anda memakan coklat itu terus menerus, meskipun awalnya ini menjadi reinforcer, tapi hal ini mungkin akan menjadi punish (hukuman), karena rasa coklat yang mungkin akan membosankan (tidak nikmat lagi). Ketika waktu telah berlalu, maka rasa coklat dapat berubah fungsi lagi menjadi reinforcer.
Habituation
Pada dasarnya digunakan untuk mengubah sesuatu, biasanya digunakan untuk sesuatu yang baru atau perhatian kita yang menginginkan keadaan yang lebih baik daripada yang biasanya dilakukan. Di sisi lain kita dapat menggunakannya untuk mengubah hal-hal yang tidak menarik dan dapat digunakan sebagai reinforcer positif.
Negative reinforcement
Beberapa orang mengasumsikan penguatan negatif sama dengan hukuman padahal dua hal ini berbeda, Penguatan negatif tidak memperlemah perilaku, penguatan negatif lebih pada tahap di mana frekuensi tingkah laku umumnya meningkat atau diperkuat. Ada dua jenis penguatan negatif, yaitu :
· Escape, yaitu dimana tingkah laku terjadi dan berakhir pada situasi aversive. Misalnya ketika malam hari kita membunyikan alarm (jam weker) agar bisa bangun pagi. Ketika alarm berbunyi di pagi hari (sesuai jam yang kita setel), maka secara otomatis tyangan kita kanm mematikan bunyi alarm karena bising.
· Avoidance; jenis reinforcement negatif yang kedua adalah avoidance. Dalam hal ini kita dapat membuat suatu cara tertentu untuk menghindari tingkah laku aversive sebelum terjadi. Misalnya ketika kita mengendarai kendaraan dengan cepat kemudian kita melihat ada polisi, maka kita akan mengurangi kecepatan supaya tidak mendapat tilang.
Extinction
Extinction ialah proses penghentian pemberian reinforcement secara mendadak dalam rangka mengurangi sasaran deselerasi. Misalnya awalnya agar anak terbiasa, maka orang tua sering memberikan iming-iming hadiah dengan tujuan agar anak mau melakukan hal baik yang akan menjadi kebiasaan. Setelah kebiasaan terbentuk, orang tua akan menghilangkan hadiah tersebut.
Extinction burst
Dalam sebuah situasi nyata, extinction merupakan cara yang baik untuk mengatasi kemarahan. Tapi hal ini akan berhubungan dengan tingkat kesabaran untuk menghilangkan tingkah laku tidak baik. Kadangkala seseorang yang menggunakan jadwal extinction menunjukkan peningkatan yang temporer/sementara dalam frekuensi dan intensitas dari target tingkah laku sebelum adanya penurunan tingkah laku. Peningkatan sementara atau temporer ini disebut extinction burst.
Extinction memerlukan waktu dan sebaiknya tidak diterapkan apabila belum memiliki waktu untuk menetapkan target tingkah laku. Anda harus bersabar. Jika extinction diterapkan dan gagal, maka kesempatan untuk mencapai target tingkah laku hanya akan bertambah buruk. Extinction sebaiknya dikombinasikan atau dipadukan dengan reinforcenment positif.
Response cost
Response cost dapat didefinisikan sebagai suatu penghapusan dari sejumlah reinforcer yang mengikuti suatu target respon yang berakibat mengurangi kemungkinan terjadinya respon di masa depan. Beberapa orang menganggap respon cost sebagai salah satu bentuk hukuman. Secara logis, respon cost bisa dianggap sebagai hukuman negatif. Respon cost terlihat lebih efektif dan lebih sedikit dampak yang tidak diinginkan daripada pemberian hukuman.
Jadwal pemberian reinforcement
Orang pada umumnya tidak dapat menjadi reinforce setiap waktu mereka inginkan. Sedikit tingkah laku mereka yang tidak selalu direinforcer dalam lingkungan yang alami. Seyogyanya, orang-orang biasanya tidak dapat dikuatkan setiap waktu. Paling tidak perilaku mereka tidak dapat selalu menjadi kuat pada lingkungan alami. Oleh karena itu perlu membuat jadwal pemberian reinforcement.
Reinforcement yang berkelanjutan (continous reinforcement)
Ketika orang menerima penguatan setiap kali mereka melakukan suatu perilaku tertentu, maka kita dapat mengatakan mereka berada di atas satu penguatan jadwal berkelanjutan (continous reinforcement). Ini biasanya cara yang paling cepat untuk mengubah perilaku baru. Penguatan berkelanjutan tidak perlu untuk memelihara atau mempertahankan perilaku sebenarnya karena hal ini justru tidak efisien dan tidak terlalu praktis.
Reinforcement intermittent (berselang-seling, reinforcement sebagian)
Dalam reinforcement parsial, tingkah laku kadangkala diberikat penguatan, tapi tidak selalu. Ada empat macam jadwal intermittent reinforcement. Dua dari jadwal didasarkan pada jumlah tingkah laku yanag ditunjukkan dan dua jadwal lainnya didasarkan pada lamanya waktu sejak tingkah laku yang dikuatkan terjadi.
B. PUNISHMENT
Hukuman adalah suatu tindakan memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan yang mengikuti tingkah laku yang tidak baik. Salah satu hal yang paling kontroversial dalam modifikasi tingkah laku adalah penggunaan kontrol aversif, yaitu hukuman secara khusus. Banyak orang menentang penggunaan hukuman dalam alasan-alasan etis. Sementara pihak lain mengatakan hal ini tidak menjadi masalah. Pihak lain pun masih mencegah penggunaan hukuman sesedikit mungkin karena dalam penerapannya muncul banyak masalah yang pantas dipertimbangkan. Murray Sidman menulis sebuah buku hebat yang berjudul Coercion and its Fallout (1989) yang mendiskusikan tentang penggunaan hukuman dan masalah-masalahnya.
Secara etis hukuman digunakan secara luas dalam setting pendidikan, hal ini mungkin bermanfaat untuk menjawab beberapa permasalahan yang diperoleh dalam menggunakan hukuman.
Pertama, salah satu permasalahan dalam penggunaan hukuman adalah bahwa hukuman cenderung menekan daripada menghilangkan perilaku. Hal ini berarti bahwa hukuman yang diterapkan pada individu mungkin sekedar untuk menekan sementara, ketika hukuman tidak diberikan maka tingkah laku akan muncul kembali. Hal ini mungkin bisa menekan sementara, bukan menghilangkan.
Kedua, dampak dari pemberian hukuman sering terlihat tidak spesifik untuk situasi tertentu. Disini terdapat sedikit generalisasi pada situasi lain daripada ketika reinforcement digunakan.
Behavioral contrast (tingkah laku yang berlawanan) Pada umumnya, jika tingkah laku mendapatkan hukuman dan menekan dalam sebuah situasi, hal ini mungkin justru akan meningkat pada situasi lain ketika hukuman tidak lagi diberikan. Hal ini disebut behavioral contrast.
Ketiga, posisi dimana hukuman terjadi menjadikan tingkah laku aversif pada orang yang dihukum. Seberapa sering kita mendengar cerita tentang orang yang tidak ingin kembali ke tempat dimana hal buruk menimpanya? Reaksi emosi mereka merespon posisi yang dapat membuatnya pergi menghindari kembalinya tindakan yang tidak diinginkan.
Keempat, orang dewasa yang menghukum sering menjadi aversif pada anak yang dihukum. Hal ini membuat anak sulit untuk mengontrol tingkah laku dalam berbagai hal. Ingatkah pada saat kita berbicara tentang orang tua yang memberikan reinforcement bersyarat? Dengan cara yang sama, hukuman dapat menjadi stimulus aversif yang membawa rasa takut dan rasa tidak suka terhadap hukuman mereka.
Kelima, beberapa model hukuman untuk tingkah laku justru menunjukkan peningkatan. Menugaskan satu halaman ekstra dari soal matematika sebagai satu rieiko hukuman, tanpa disengaja justru memperkuat ketidaksukaan anak pada pelajaran matematika. Tentunya akibat sampingan ini tidak dikehendaki.
Keenam. Beberapa percobaan hukuman mungkin menjadi tidak aversif pada orang yang mencoba untuk menghukum.
Ketujuh, sama halnya reinforcer cenderung menjadi kurang efektif kalau terlalu sering digunakan dan banyak punishment menjadi tidak efektif kalau terpakai terlalu banyak. Ingat habituation?
Kedelapan. Sejak menggunakan hukuman mungkin tugas akan cepat terselesaikan dan bisa menekan perilaku yang tidak dikehendaki. Orang yang menghukum biasanya akan menggunakan hukuman lagi apabila dirasa hukuman dapat mengurangi atau menekan perilaku tidak baik.
C. REINFORCEMENT
Reinforcement ialah hubungan fungsional antara tingkah laku dengan semua peristiwa yang menyertai tingkah laku. Istilah yang lain yang berhubungan dengan reinforcement adalah reinforcer. Reinforcer adalah segala sesuatu yang dirancang untuk meningkatkan tingkah laku. Ada beberapa bentuk reinforcer yang digunakan untuk meningkatkan sasaran akselerasi, yaitu:
1. Reinforcer Primer yaitu reinforcer yang memiliki dampak biologis bagi individu. Reinforcer primer yang biasa digunakan untuk meningkatkan sasaran akselerasi berupa makanan dan minuman
2. Reinforcer sekunder, terdiri atas:
a. Reinforcer sosial dapat berupa:
- Ekspresi; misalnya senyuman, anggukan kepala, acungan jempol, mengacungkan tinju (ekspresi negatif)
- Sentuhan; misalnya usapan di kepala, di punggung, jambakan di rambut (sentuhan negatif)
- Kedekatan; misalnya pemberian kesempatan untuk duduk di dekat guru
- Kata-kata/kalimat pujian; misalnya ucapan “baik”, pekerjaanmu bagus, dan yang lain
- Hak istimewa; misalnya pemberian kesempatan untuk menggunakan mainan tertentu, menempelkan hasil karya di dinding atau papan kelas
b. Kegiatan; misalnya membaca buku dipojok kelas, atau bermain game di komputer atau akses internet gratis
3. Reinforcer Umum, biasanya berupa token economy, pada prinsifnya token ekonomi sama dengan sistem kupon yang umumnya digunakan dalam perdagangan untuk mendapatkan hadiah dari suatu produk tertentu, misalnya, dengan mengumpulkan 5 kupon yang terdapat pada suatu produk tertentu, pembeli berhak mendapat sebuah gelas atau piring. Token economy adalah simbol yang digunakan dalam pengubahan tingkah laku yang memiliki nilai tertentu. Simbol-simbol itu dapat berupa misalnya kancing baju, stiker, kupon untuk makanan atau minuman, stempel dan lainnya. Token economy tidak ada artinya bila tidak disertai adanya reinforcer yang sebenarnya (back-up reinforcer). Oleh karena itu dalam menggunakan token economy harus merancang back-up reinforcer dengan cermat.
Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan reinforcer adalah jadwal pemberian reinforcer antara lain:
Fixed Ratio (FR)
Jadwal pertama yaitu jadwal fixed ratio dimana individu selalu diberikan penguatan untuk jumlah waktu yang sama agar terjadi target pengubahan tingkah laku. Contohnya seorang sales akan menerima komisi/bonus setiap kali bisa menjual empat sepatu atau seorang anak akan memperoleh bintang apabila dapat menjawab 10 pertanyaan dengan baik.
Variabel ratio (VR)
Jadwal kedua adalah variable ratio. Dalam variable schedule ratio, sejumlah respon diperlukan untuk menjaga reinforcement yang diubah.
Fixed Internal (FI)
Dua jadwal tersebut didasarkan pada waktu yang disebut interval schedule. Dalam interval schedule hal ini tidak menjadi masalah seberapa lama sebuah tingkah laku terbentuk, sepanjang hal ini terjadi.
Variabel Interval (VI)
Disini terdapat jadwal variabel interval. Pernahkah Anda mencoba menghubungi seseorang dengan telepon tapi yang terdengar nada bunyi sibuk? Kita mencoba menghubungi lagi ketika sudah tidak sibuk. Hal ini tidak menjadi masalah bagaimana waktu kita mencoba. Tapi kesuksesan pertama ketika kita dapat menghubungi dapat menjadi penguat.
Thinning ; adalah proses dimana kita mengubah jadwal dari reinforcement berkelanjutan ke reinforcement bagian. Secara perlahan-lahan, hampir bahkan tidak diperhatikan, sejumlah tingkah laku yang diinginkan untuk diberikan peningkatan reinforcement, tapi sebuah rata-rata cukup rendah, sehingga tingkah laku yang diinginkan tidak dapat dihilangkan untuk mengurangi reinforcement yang cukup.
-->
A. DESELERASI
Deselerasi yaitu tingkah laku yang akan dikurangi. Ada dua macam teknik yang digunakan untuk mengurangi sasaran deselerasi, yaitu (1) penggunaan Reinforcement, dan (2) penggunaan Punisment/hukuman. Teknik tersebut dilakukan secara bertahap. Hal ini berarti bahwa untuk mengurangi sasaran deselerasi digunakan teknik yang paling ringan ke yang paling berat. Teknik-teknik penggunaan sasaran deselerasi sebagai berikut:
Level I : Strategi penggunaan reinforcement
Strategi ini merupakan strategi yang digunakan untuk mengurangi tingkah laku dengan cara mengunakan reinforcement. Ada tiga tahap penggunaan strategi ini yaitu;
a. Strategi pemberian reinforcement untuk tingkahlaku menurun. Pada tahap ini reinforcer diberikan bila sasaran deselerasi dapat berkurang atau bertambah jumlahnya sampai pada suatu priode waktu tertentu
b. Strategi pemberian reinforcement untuk tingkah laku menghilang. Pada tahap ini reinforcement diberikan bila sasaran deselerasi tidak muncul sama sekali dalam suatu priode tertentu
c. Stategi pemberian reinforcement untuk tingkahlaku pengganti. Pada tahap ini reinforcement diberikan bila sasaran deselerasi menurun disertai dengan munculnya sasaran akselerasi
Level II : Extinction
Extinction ialah proses penghentian pemberian reinforcement secara mendadak dalam rangka mengurangi sasaran deselerasi. Apabila kita ingin mengurangi frekuensi sebuah tingkah laku khusus, maka kita harus meyakinkan bahwa target tingkah laku telah tercapai. Proses dimana tingkah laku dieliminasi oleh reinforcement disebut extinction. Ketika dipergunakan dengan baik, extinction sebaiknya dipadukan dengan penguatan positif (positive reinforcement). Apabila anak tidak diberikan penguatan yang baik, maka anak akan mengembangkan kebiasaan buruk lain.
Level III : Penghapusan Stimulus
Ada dua macam prosedur pada tahap ini yaitu: denda dan time-out.
a. Denda, yaitu prosedur pengurangan sasaran deselerasi dengan cara mengambil kembali reinfocerment yang telah diberikan, sistem ini banyak dilakukan bila reinforcer yang digunakan token economy
b. Time-out, yaitu prosedur mengurangi sasaran deselerasi yang dilakukan dengan cara mengeluarkan individu/siswa dari situasi tertentu yang mengganjar dalam suatu periode waktu tertentu. Ada tiga macam prosedur time-out, yaitu:
- Siswa tidak dikeluarkan dari setting pengajaran (kelas), tetapi situasi pengajaran disusun sedemikian rupa sehingga reinforcemen positifnya tidak ada.
- Siswa masih berada dalam kelas tetapi dipindahkan dari setting pengajaran. Contoh memindahkan siswa ke depan ruangan untuk berdiri.
- Siswa dikeluarkan dari kelas dan dimasukan kedalam suatu ruangan yang lain, yang sama sekali bebas dari hal-hal yang mengganjar
Level IV : Pemberian stimulus yang tidak menyenangkan
Ada dua macam stimulus menyakitkan, yaitu: stimulus natural dan stimulus yang dikondisikan.
a. Stimulus natural; yakni stimulus-stimulus yang menimbulkan sakit secara fisik dan tidak menyenagkan. Stimulus ini sering disebu dengan hukuman universal (universal funishment) yang tidak dipelajari, misalnya; pukulan, cubitan
b. Stimulus yang dikondisikan, yakni stimulus-stimulus yang diberikan bersama-sama dengan stimulus natural. Misalnya: teriakan bersama dengan pukulan atau cubitan. Cubitan merupakan stimulus natural, sedangkan teriakan merupakan stimulus yang dikondisikan.
c. Overcorrection, yakni prosedur pemberian hukuman dengan cara menyuruh anak melakukan perbaikan berkali-kali atau berlebihan, misalnya menulis “saya tidak bolos lagi” sebanyak 500 kali, atau lebih extrim lagi menyuruh siswa lari keliling lapangan sekolah sebanyak 20 kali atau lebih. Tujuan overcorrection ialah memberi tanggung jawab kepada anak atas tingkah laku yang tak dikehendaki dan mengajarkan tingkah laku baru yang dikehendaki.
Tabel 01: tentang Analisi tingkah laku Consekuensi

DAFTAR RUJUKAN
Albert J. Kearney. 2008. Understanding Applied Behavior Analysis: An Introduction to ABA for Parents, Teachers, and other Professionals. Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers
Schloss, P.J. & Smith, M.A. 1994. Applied Behavior Analysis in the Classroom. Boston: Allyn and Bacon



oleh: Hariadi Ahmad dan Muthmainnah