Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

June 8, 2011

RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY dalam Perkembangan Kepribadian

-->
A. Pengantar
Albert Ellis (02 September 1913 – 24 July 2007) adalah seorang psikolog Amerika yang pada tahun 1955 mengembangkan REBT, ia dilahirkan dari keluarga Yahudi di Pittsburgh, Pennsylvania, dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, Ayah Ellis adalah seorang pengusaha yang sering melakukan perjalanan bisnis dan kurang memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya
Dalam otobiografinya, Ellis menyebutkan ibunya sebagai perempuan yang tenggelam dalam kesibukannya sendiri dengan kekalutan pribadi yang bersifat bipolar, dan merupakan “pengoceh yang tidak pernah mendengar orang lain” Dia selalu ngotot dengan pendapatnya dalam banyak hal tetapi juga jarang memberikan dasar factual bagi pendapatnya itu. Seperti ayahnya, ibunya mempunyai jarak emosional dari anak-anaknya. Ellis mengatakan bahwa pada saat dia pergi sekolah, ibunya masih tidur dan pada saat pulang , ibunya sudah tidak ada di rumah. Kepahitan tentang kedua orangtunya itu, dia malah mengambil tanggungjawab untuk mengurus saudara-saudaranya. Sebagai anak-anak, Ellis sering sakit dan menderita berbagai masalah kesehatan pada masa remajanya. Pada umur 5 tahun, dia dirawat dirumah sakit karena penyakit ginjal, kemudian juga karena penyakit amandel, yang menyebabkan infeksi kerongkongan yang parah sehingga memerlukan oprasi. Dia mengatakan bahwa dia mengalami delapan kali perawatan dirumah sakit antara umur 5 sampai 7 tahun, salah satunya diantaranya dirawat selama hampir satu tahun, para orang tuanya hampir tidak memberikan dukungan emosianal dalam tahun-tahun itu, jarang sekali menjenguknya, Ellis mengatakan bahwa dia belajar berkonfrontasi dengan penderitaannya itu.
Ellis merasa takut untuk berbicara di muka umum dan selama masa remajannya benar-benar merasa malu terhadap perempuan, pada umur 19 tahun, telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang terapis perilaku-kognitif, dia memaksa dirinya untuk berbicara dengan 100 orang permpuan di Bronx, Botanical Garden selama lebih dari satu bulan, dia selalu berusaha untuk menahan kekecewaan pada saat ditolak bebicara oleh perempuan
Ellis memusatkan studinya dalam bidang psikologi klinis setelah mendapat gelar sarjana muda dalam bidang bisnis dari City university of New York pada tahun 1934. Pada tahun 1942, dia memulai studi Ph.D. dalam bidang psikologi klinis di Teachers College, Colombia University, yang melatih para psikologi terutama dalam pendekatan psikoanalisis. Dia meraih gelar M.A dalam psikologi klinis pada bulan Juni 1943, dan memulai dengan paruh waktu parkatek sambil melanjutkan studinya untuk mencapai Ph.D. Ellis mulai menerbitkan berbagai artikel sebelum dia memperoleh gelar Ph.D. Tahun 1946 dia menulis suatu kritikan mengenai tes kepribadian yang secara meluas menggunakan “tes pensil dan kertas”. Dia menyimpulkan bahwa hanya Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) yang memenuhi standar instrument berbasis penelitian
Pada tahun 1947 Ellis memperoleh Doktor kehormatan di Columbia dan pada saat itu dia menyakini bahwa psikoanaliss merupakan bentuk therapy yang sangat mendalam dan sangat efektif. Seperti halnya dengan para psikolog di saat itu, dia sangat tertarik dengan teori Sigmund Freud. Dia melakukan pelatihan tambahan dalam psikoanalisis dan mulai praktek psikoanlisis klasik. Tahun 1947 Ellis mulai analisi pribadi dan Hermann Rorschach, seorang analis pelatihan terkenal pada Istitut Karen Horney dan pengembang tes tesan tinta Rorschach (Rorschach inkblot test). Pada saat itu dia mengajar di New York University dan Rutgers University dan menduduki posisi pimpinan pada kedua universitas itu. Kemudian lama kelamaan kesetiaannya kepada psikoanalisi memudar
Pendekatan ini dikembangkan semenjak pertengahan tahun 1950-an oleh Albert Ellis, pendekatan ini dikenal dengan rational emotive therapy (RET). Ellis sendiri mengemukakan berbagai masalah emosional yang pernah dideritanya pada masa kecil beserta akibatnya terhadap perilakunya sendiri. Salah satunya dari masalahnya adalah perasaan takut berbicara didepan umum, untuk menanggulagi kecemasan itu Ellis mengembangankan pendekatan Kognitife-filosofis yang dikombinasikan dengan model latihan bicara dan tugas pekerjaan rumah yang mencakup bicara didepan umum, bagaimanapun tidak menyenagkannya pada pemulaan latihan itu, dengan metode tersebut Ellis berhasil menaklukan hambatan-hambatan tersebut
Sebagai bagaian dari latihan praktek berdasar pendekatan psikoanalisis, Ellis menjalani praktek analisi selama tiga tahun, dalam praktek psikoterapinya Ellis menggunakan teknik-teknik psikoanalisis model lama. Di samping memperoleh hasil yang baik dalam praktenya itu, Ellis merasakan ketidakpuasan dengan pendekatan itu, dia merasa jemu dengan peraturan-peraturan psikoanalisi kalsik dan menjadi terapis new-Frudian. Akan tetapi, dia masih juga tidak puas dengan parakteknya itu. Oleh karena itu, dia mulai membujuk konselinya untuk melakukan sesuatu yang sangat ditakutinya untuk melakukan, seperti mengambil resiko penolakan dari orang lain yang sangat berarti baginya. Berangsur-angsur, Ellis berubah menjadi lebih elektik dan lebih aktif dan direktif sebagai seorang terapis. Ellis mengemukakan bahwa dasar falsfah REBT adalah fenomologi. Dia percaya bahwa tidak ada sesuatu yang akan menjegkelkan sesorang, yang menyebabkan sesorang itu menjadi jengkel adalah pandangannya sendiri. Ellis mulai mendapatkan dasar kesulitan emosional dan prilaku konseli-konselinya, yaitu dalam cara mereka merespon dan menafsirkan kenyataan secara subyektif. Ini bertentangan dengan pandangan bahwa masalah individu itu disebabkan oleh situasi dalam dunia nyata.
Dalam formulasi awalnya, Ellis menekankan terapi rasional, yaitu unsur kognitif dari perilaku manusia, asumsi ini sangat bertentangan dengan asumsi yang popular pada pertengahan tahun 1950-an. Kemudian, pendekatannya itu diperluas dengan memasukkan unsur perlaku disamaping unsur kognitif (Ellis, 1962). Modifikasi selanjutnya REBT ini mencakup teknik-teknik konseling perilaku seperti relaksasi, metode khayal, latihan menyerang perasaan malu. Dengan demikian, REBT ini dapat dipandang sebagai Model terapi perilaku yang berorentasi kognitif. Pendekatan ini telah mengalami evolusi sedemikian rupa, yang pada akhirnya menjelma menjadi pendekatan yang komperhensif dan ekletik yang menekankan unsur-unsur berpikir, menimbang, memutuskan dan melakukan. Akan tetapi pendekatan ini masih tetap mempertahankan arah pemikiran Ellis sendiri yang bersifat didaktis dan direktif, dan REBT masih tetap mempertahankan dimensi berpikir daripada dimensi perasaan
REBT didasari asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi rasional (berpikir langsung) dan juga irasional (berpikir berliku-liku/tidak langsung).keyakinan irasional itu yang menyebabkan gangguan emosional, mungkin telah berbaur dengan hal-hal yang berasal dari luar manusia akan tetapi manusia tetap bertahan pada sikap yang cenderung mengalahkan diri dengan suatu proses indokrinasi diri sendiri. Untuk mengatasi indokrinasi yang membawa hasil berpikir irasional itu, maka para konselor dari REBT menggunakan teknik-teknik yang bersifat aktif dan direktif seperti mengajar, memberi saran, membujuk, dan pemberian tugas pekerjaan rumah, dan mereka menantang konseli-konselinya untuk mengganti keyakinan yang irasional dengan rasional
REBT tidak memandang hubungan antar pribadi antara konseli dan konselor sebagai suatu yang sangat penting dalam proses terapeutik. Yang penting bagi pendekatan ini adalah keterampilan dan kesediaan konselor untuk menantang, mengkonfrontasikan dan menyakinkan konseli mempraktekkan kegiatan (baik di dalam maupun di luar kelompok konseling) yang akan mengarah kepada perubahan yang konstruktif dalam pemikiran dan perbuatan konseli. Pendekatan ini menekankan tindakan berbuat sesuatu mengenai wawasan-wawasan yang diperoleh dalam konseling, diasumsikan bahwa perubahan akan muncul terutama melalui komitmen terhadap niat untuk selalu mempraktekkan prilaku baru yang menantang prilaku lama yang tidak efektif
REBT menggunakan prosedur kelompok sebagai alternative terhadap prosedur individual, Susana kelompok dipandang sebagai suatu suasana yang memberi kesempatan kepada konseli untuk menatang pemikiran yang merusak diri dan untuk mempraktekkan perilaku yang berbeda dengan perilaku lama dan tidak efektif
B. Tori dan Perkembngan Kepribadian
Teori A – B – C tentang kepribadian dan gangguan emosional merupakan unsur yang sangat penting dalam teori dan praktek pendekatan rasional-emotif ini. Menurut Ellis, manusia membentuk emosi dan perilakunnya sesuai dengan dasar pikiran dan filsafat yang ditemukannya sendiri. Dasar pemikiran itu dibentuk oleh lingkungan sosial manusia yang bersangkutan. Akan tetapi unsur yang terutama membentuk kepribadian dan gangguan perasaan itu bukan kondisi-kondisi sosial itu sendiri, melainkan reaksi manusia sendiri kepada kondisi-kondisi sosial itu. Teori A – B – C berpendapat bahwa apabila sesorang mempunyai reaksi emosional pada titik C (Consequence; akibat) sesudah peristiwa yang mengerakkan yang terjadi pada titik A (Activating; mengerakkan) dalam hal ini bukan bukan peristiwa itu sendiri (A) yang menyebabkan keadaan emosi (C), meskipun A itu dapat memberikan sumbanganya kepada C. Yang menciptakan C itu, sesungguhnya adalah system keyakinan ( B – Belief system; system keyakinan) atau keyakinan yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Misalnya; apabila kita merasa ditolak atau disakiti (C) karena suatu peristiwa yang tidak diterimanya cinta oleh si pulan ( A), yang menyebabkan perasaan sakit hati itu bukanlah fakta bahwa kita tidak diterimanya cinta, melainkan keyakinan (B) mengenai peristiwa itu, karena menyakini bahwa tidak diterima/ditolak cintanya itu berarti bahwa kita adalah seorang yang gagal dan bahwa upaya kita selama ini tidak mendapat penghargaan. Keyakinan itulah yang membentuk akibat emosional dalam bentuk perasaan ditolak dan disakiti, jadi manusia itu bertanggung jawab dalam menciptakan gangguan emosinya sendiri melalui keyakinan-keyakinan yang dihubungkannya dengan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya
Pendekatan rational emotive behavior therapy berpendapat bahwa manusia itu mempunyai kapsitas untuk mengubah kognisinya, perilakunya, dan perasaan-perasaannya. Apabila manusia memaksakan pilihan untuk berpikir dan bertindak lain, maka dia dapat dengan segera mengubah pola menciptakan gangguan itu menjadi cara hidup yang konstruktif. Dia dapat menyelesikan tugas mencapai tujuan itu dengan menghidarkan keadaan dirinya yang terlena dengan A – yaitu peristiwa – dan dengan mengenal terapi menolak goadaan untuk terus menerus memikirkan akibat emosional pada titik C. orang dapat memilih jalan menguji, menantang, memodifikasi, dan meruntuhkan B – yaitu keyakinan irasional mengenai A. Ellis menekankan bahwa, karena manusia dapat berpikir, mereka dapat pula memilih dirinya sendiri untuk mengubah atau menghilangkan keyakinan yang menghambat dirinya, dengan melatih disiplin diri, dengan mencari bantuan dari orang-orang yang mampu berpikir secara obyektif dan rasional, dengan menjalani terapi individual atau konseling kelompok, dan dengan membaca buku-buku tentang REBT atau mendengarkan kaset
Perasaan cemas, tertekan, ditolak, marah, dan terkucilkan dimulai dan diabaikan oleh system keyakinan yang cenderung mengalahkan diri sendiri didasarkan atas gagasan-gagasan irasional yang didekanpnya tampa kritik pada masa kanak-kanak. Keyakinan yang cenderung mengalahkan diri sendiri itu didukung dan dipertahankan dengan pernyataan-pernyaan tentang dirinya yang negative, mutlak dan tidak logic yang dikatakan oleh orang lain terus-menerus. Pernyataan-pernyataan itu kemudian diterimnaya sebagai ciri pribadinya, seperti: “Saya ini orang yang tidak berguna”, “Apabila saya tidak memperoleh cinta dan persetujuan orang lain, maka saya busuk”, “Seharusnya saya bener-benar mampu dalam segala hal yang saya lakukan”, “Saya harus memiliki segala sesuatu sesuatu yang saya inginkan”.
Apabila orang hidup secara rasional, memiliki keyakinan yang positif, maka mereka akan cenderung merasa bahagia, santai, atau sekurang-kurangnya tenang; sebaliknya, apabila orang itu menyembunyikan, gagasan-gagasan yang sinis, pesimistik, dan putus asa, maka dia akan cenderung merasa bersedih, tertekan, dan putus asa. Oleh karena itu konseling yang efektif akan mencakup upaya membantu konseli mengembangkan sikap yang realistik terhadap masa kini dan masa depannya, memerangi keyakinan-keyakinan negatifnya, dan mengubah pernyataan yang menghambat tentang dirinya menjadi pernyataan-pernyataan yang baru yang lebih rasional, dan lebih sehat
Sebagai suatu model konseling kognitif, REBT mengajar orang-orang untuk mengkonfrontasikan system keyakinan yang menciptakan gangguan. Tujuan ini akan tercapai dengan menjelaskan bagaimana gagasan-gagasan irasional menyebabkan gangguan emosional, dengan menyerang gagasan-gagasan itu secara ilmiah, dan dengan mengajar konseli tentang bagaimana konseli harus menatang pemikirannya dan tentang bagaimana menganti gagasan-gagasan irasional dengan rasional
Proses terapeutik dimulai dengan mengajarkan teori A – B – C kepada konseli. Apabila konseli telah melihat bagaimana keyakinan dan nilai–nilai irasional itu berkaitan serta sebab akibat dengan gangguan emosional dan perilaku, dia telah siap untuk membantah keyakinan dan nilai–nilai itu pada titik D (Disputing; membantah). D merupakan penerapan prinsip–prinsip ilmiah untuk menantang filsafat yang cenderunmg mengalahkan diri sendiri dan mengalahkan dugaan-dugaan yang irasional dan tidak dapat dibuktikan. Kebnayakan dari gagasan-gagasan irasional itu dapat dikembalikan kepada tiga bentuk keharusan, yaitu: 1) saya harus mampu, dan saya harus memperoleh persetujuan dari orang-orang yang berarti dalam hidup saya; 2) orang lain harus memperlakukan saya dengan adil dan penuh perhatian; dan 3) Hidup saya harus enak dan menyenagkan. Saya harus memiliki sesuatu yang benar-benar saya inginkan. Dalam hal sedemikaian itu, konselor rasional emotif secara cepat dan efesien mencoba menunjukkan kepada konseli-konselinya, bahwa mereka mempunyai satu, dua dan tiga-tiganya dari keyakianan yang irasional itu. Apabila mereka telah menyakini akan adanya ketiga bentuk keharusan itu, maka mereka telah sampai pada atau akibat bantahannya itu atau pada titik E (akibat), yaitu melepaskan paham merusak diri, perolehan filsafat hidup yang lebih realistik dan rasional, dan penerimaan terhadap frustasi-frustasi yang tidak dapat dielakkan dalam hidup. Filsafat hidup yang baru, dengan sendirinya mempunyai sisi yang praktis, yaitu E yang kongkrit, dalam contoh yang dikemukakan di atas mengenai peristiwa ditolak cintanya pada titik E ini, kita dapat membuat kesimpulan yang empiris dan rasional, seperti: “ya, sungguh tidak enak bahwa saya ditolak cinta oleh si pulan, tetapi hal itu bukan merupakan akhir dari dunia ini. Lain kali mungkin ada kesempatan lain. Di samping itu, tidak mendapat Cintanya berarti bahwa saya adalah orang yang gagal. Jadi saya tidak perlu terus menerus berbicara tentang segala macam yang tidak perlu itu”. Yang penting bagi REBT, hasil akhir dari konseling adalah hilangnya perasaan tertekan dan ditolak
Menurut Ellis, kita mempunyai suatu kecenderungan yang kuat untuk menilai tindakan dan perilaku kita sebagai “baik” atau “buruk”. Di samping itu kita mempunyai kecenderungan pula untuk menilai diri kita sendiri sebagi keseluruhan pribadi sebagai “baik” atau “buruk” berdasarkan penampilan kita. Penilaian diri kita itu mempengaruhi perasaan dan tindakan kita, karena proses penilaian diri ini merupakan salah suatu sumber dari gangguan emosional kia. Oleh karena itu konselor REBT mengajar para konselinya tentang bagaimana memisahkan penilaian perilakunya dari penilaian tentang pribadinya dan mengajar bagaimana mereka menerima dirinya sendiri dengan ketidak sempurnaannya. Berapa contoh dari penilaian diri adalah: “kenyataan bahwa saya membuat kesalahan berarti bahwa saya tidak mampu dan tidak berguna”, “Saya telah melakukan tidakan yang salah, jadi saya ini jelek, bersalah dan memalukan”, “Apabila orang-orang tidak menerima dan tidak menyetujui saya, maka saya ini seorang yang brengsek”.
Penilaian diri semacam ini, jelas mengarah kepada berbagai kesulitan, misalnya menempatkan diri sebagai orang yang paling penting, kecendrungan mengutuk diri sendiri dan orang lain, tidak pernah merasa puas, dan menghambat pencapaian tujuan sendiri
Beberapa asumsi dasar REBT yang dapat dikategorikan di bawah ini antara lain:
- Berpikir, merasa dan berperilaku serta berinteraksi secara terus-menerus akan mempengaruhi satu sama lain
- Gangguan emosional yang disebabkan atau dikontribusikan oleh faktor kompleks biologis dan lingkungan. Untuk memahami permasalahan dan bekerja dengan manusia tidak perlu menghabiskan banyak waktu mengeksplorasi trauma emosional masa lalu atau menghidupkan kembali masa kanak-kanak
- Manusia akan terpengaruh oleh orang-orang dan hal-hal di sekitar mereka, dan mereka juga sengaja mempengaruhi orang di sekitar mereka. Orang memutuskan, atau memilih, untuk mengganggu mereka - atau tidak mengganggu diri mereka sendiri - sebagai tanggapan terhadap pengaruh sistem di mana mereka tinggal
- Orang-orang mengganggu kognitif diri mereka sendiri, secara emosional, dan berperilaku. Mereka sering berpikir dengan cara yang mengalahkan kepentingan terbaik mereka serta yang lain dalam kelompok sosial mereka
- Ketika kejadian yang tidak menyenagkan terjadi, orang cenderung untuk menciptakan keyakinan irasional tentang peristiwa yang ditandai dengan absolutis dan berpikir dogmatis. Biasanya, keyakinan irasional ini dipusatkan pada kompetensi dan sukses, cinta dan persetujuan, yang diperlakukan dengan adil, dan keselamatan dan kenyamanan
- Kejadian yang tidak menyengkan itu terjadi hal ini tidak menyebabkan gangguan emosi, melainkan keyakinan irasional yang sering menimbulkan masalah kepribadian
- Sebagian besar manusia memiliki kecenderungan yang luar biasa untuk membuat dan menjaga diri mereka terganggu secara emosional. Dengan demikian, mereka menemukan hampir tidak mungkin dalam menjaga kesehatan mental yang baik. Kecuali mereka dengan jelas dan berpikir keras dalam mengakui kenyataan, mereka akan membuat usaha yang terbaik untuk mengubah mereka
- Ketika orang-orang berperilaku dengan cara-mengalahkan diri, mereka memiliki kemampuan untuk menjadi sadar cara dimana keyakinan negatif mereka mempengaruhi mereka. Dengan kesadaran ini mereka juga memiliki kapasitas untuk sengketa pikiran irasional dan mengubahnya menjadi keyakinan rasional. Dengan mengubah keyakinan tentang peristiwa-peristiwa tertentu, orang juga mengubah perasaan yang tidak sehat dan perilaku-mengalahkan diri
- Setelah ditemukan keyakinan irasional, mereka dapat dinetralkan dengan menggunakan kombinasi metode kognitif, emotif, dan perilaku. REBT memiliki berbagai teknik menunjukkan orang-orang bagaimana meminimalkan pikiran mereka sendiri, perasaan, dan perilaku
- Klien lebih baik bersedia untuk (1) mengakui bahwa mereka bertanggung jawab terutama atas pikiran terganggu, emosi, dan tindakan mereka sendiri, (2) melihat bagaimana mereka berpikir, merasa, dan berperilaku ketika mereka mengganggu diri mereka sendiri, dan (3) memaksakan dalam berkerja keras yang akan dibutuhkan untuk mengubah diri mereka
C. Rational Emotive Behavior Therapy dalam Konseling Kelompok
Seperti telah dikemukakan di atas, konseling rasional emotif behavior terapi menekankan penataan kembali kognisi dan sangat tergantung pada sisi didaktis dari proses terapeutiknya. Konseling dipandang secara luas sebgai upaya pendidikan kembali emosi dan intelektual, seperti halnya bentuk-bentuk mengajar lainnya, REBT sering dilakukan dalam suasana kelompok. Konseling kelompok rasional emotif behavior banyak digunakan alat pandang, dengar, bacaan, film, kaset video, pelajaran berprograma, dan metode mengajar lainya.
Ellis (1977) mengemukakan bahwa diharapkan intervrestasi kelompok itu akan merupakan cara pemecahan masalah yang lebih mendalam, lebih cepat dan halus dibandingkan dengan bentuk konseling manapun. Untuk mencapai pemecahan masalahnya, para anggota kelompok harus belajar memisahkan keyakinan yang rasional dari keyakinan yang irasional dan memahami asal mula gangguan emosionalnya dan juga gangguan perasaan orang lain. Para peserta diajar berbagaicara untuk 1). Membebaskan diri dari filsafat hidup yang irasional sehingga mereka dapat berfungsi secara efektif sebagai individu, dan 2). Belajar tentang cara-cara yang lebih tepat untuk memberikan respon sehingga mereka tidak perlu terganggu oleh berbagai kenyataan dalam hidup. Para anggota kelompok saling membantu dan mendukung dalam upaya belajar
Tujuan utama dari konseling REBT adalah agar para konseli dapat menguji tampa ketakutan dasar pemikiran filsafat hidupnya, berpikir tentang dasar-dasar pemikiran secara sadar dan secara bersama-sama, memahami bahwa mereka bertindak berdasarkan asumsi-asumsi atau kesimpulan-kesimpulan yang tidak logis dan tidak konsisten, dan menyerang asumsi dan kesimpulan itu dengan kegiatan verbal dan motorik secara konsisten sehingga semuanya itu hilang atau sedikitnya berkurang sampai batas minimum. Ellis berpendapat bahwa konseling kelompok REBT ini dapat dilakukan dengan kelompok besar yang beranggotakan 50, 100 orang atau lebih, dengan menggunakan bentuk lokakarya atau dapat pula dilaksanakan dengan kelompok kecil yang beranggotakan 10 sampai 13 orang. Kelompok kecil bertujuan:
1. Membantu para anggota kelompok untuk memahami agar masalah emosional dan perilakunya dan menggunakan wawasan itu untuk mengatasi gejala-gejalanya dan belajar tentang cara-cara yang halus untuk berperilaku
2. Memberi kesempatan kepada para peserta untuk mengembangkan pemahaman tentang masalah orang lain, dan mereka belajar bagaimana dirinya dapat memberi bantuan terapeutik kepada rekan sekelompoknya
3. Memberi kesempatan kepada para peserta untuk belajar tentang cara-cara untuk memahami keadaan kehidupan dan memberikan reaksi yang rasional kepadanya, sehingga mampu menguragi gangguan terhadap dirinya sendir
4. Memberi kesempatan kepada para peserta untuk mencapai perubahan perilaku dan kognisi dasarnya, termasuk mempelajari cara-cara untuk menghadapi kenyataan yang tidak menyenagkan, mengalahkan cara berpikir yang cenderung mengalahkan diri sendiri dan menggantikannya dengan cara berpikir yang rasional, dan menghentikan praktek penilaian diri yang negative, dan belajar memperlakukan dirinya sebagai manusia yang mungkin melakukan kekeliruan
Pada dasarnya, para peserta diajarkan bahwa mereka bertanggung jawab tentang reaksi emosinalnya sendiri, bahwa dapat mengubah gangguan-gangguan emosionalnya sendiri dengan memperhatikan verbalitas dirinya dan dengan mengubah keyakinan dan nilai-nilai yang dianutnya, dan bahwa apabila mereka memperoleh filsafat hidup yang baru dan lebih relistik, lalu mereka akan dapat mengahadapi secara efektif peristiwa-peristiwa yang paling tidak menguntungkan dalam hidupnya
Menurut Ellis, suasana kelompok sangat efektif untuk membantu para peserta dalam mengubah kepribadian dan perilaku secara konstruktif Ellis mengemukakan berbagai keuntungan dari pelaksanaan REBT dalam kelompok, antara lain adalah:
1. Para anggota kelompok dapat memperigatkan satu sama lain mengenai kehendak menerima kenyataan dan bekerjasama menghasilkan perubahan yang positif
2. Karena REBT menekankan diri sendiri, maka anggota kelompok yang lain dapat memainkan peran penting dalam menantang cara berpikir yang irasional
3. Para anggota kelompok dapat memberikan sumbangan dalam bentuk saran, komentar, dan hipotesis, dan menguatkan hal-hal yang dikemukakan oleh konselor
4. Tugas-tugas pekerjaan rumah yang merupakan unsur penting dalam REBT lebih efektif apabila dilakukan dalam sussana kelompok dari pada dalam konseling individual
5. Susana kelompok memberikan lingkungan yang efektif untuk berbagai prosedur yang bersifat aktif-direktif, seperti permainan peranan, latihan bertindak tegas, gladi prilaku, percontohan, dan latihan mengambil resiko
6. Kelompok berfungsi sebagai laboraturium dimana perilaku dapat diamati secara langsung
7. Konseli seringkali menyelesaikan format laporan pekerjaan rumah yang menuntut penelusuran situasi yang menggangu dengan prosedur A – B – C dan kemudianan belajar cara bagaimana memperbaiki pemikiran dan perbuatan yang salah. Degan mendengarkan laporan-laporan yang dikemukakan oleh orang lain dan mempelajari bagaimana orang lain menghadapi situasi yang dipersoalkan, maka para peserta dapat juga menagani permasalahannya sendiri. Meskipun tugas pekerjaan rumah itu dapat dilaksanakan dalam konseling individual, suasana kelompok lebih efektif, karena para anggota dapat melatih perilaku yang ingin mereka tingkatkan dan hilangkan dalam kehidupannnya di lingkungan hidup yang sesungguhnya. Jadi, apabila seorang merasa takut untuk memberikan reaksi kepada orang lain, maka dia dapat didorong untuk mengerjakannya di dalam pertemuan kelompok. Kelopok berfungsi sebagai laboraturium dimana perilaku dapat diamati, dan bukan hanya wahana yang akan dilaporkan hasil pekerjaan rumah
8. Dalam situasi kelompok para anggota kelompok menemukan bahwa mereka tidak perlu mengutuk dirinya sendiri karena memiliki masalah
9. Melalui balikan diri orang lain dalam kelompok para peserta mulai memandang dirinya sendiri sebagai orang lain memandang dirinya, dan melihat secara jelas perilakunya yang perlu diubah
10. Apabila pernyataan yang dikemukakan para anggota menunjukkan pemikiran yang keliru, anggota lainnya dan konselor dapat segera memperlihatkan kekeliruan itu kepada yang bersangkutan, sehingga pemikiran yang keliru itu dapat segera diperbaiki
11. Dengan memperhatikan anggota-anggota lain, para peserta dapat melihat bahwa perlakuan bantuan dapat menjadi efektif, bahwa manusia dapat berubah, bahwa ada langkah-langkah yang dapat mereka ambil untuk membantu dirinya sendiri dan bahwa konseling yang berhasil adalah suatu pekerjaan yang sulit dan memerlukan ketahanan
12. Dalam kelompok, konseli mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan alternatif yang lebih luas untuk memecahkan persoalan mereka dari pada dalam konseling individual
13. Kelompok memberikan kesempatan dan dorongan ke pada anggota-anggotanya untuk mengungkapkan dirinya dan mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi secara intim. Pengungkapan diri secara intim itu merupakan kegiatan terapeutik dengan sendirinya, karana dengan pengungkapan diri itu konseli telah mengambil keputusan untuk mengambil resiko, bahwa dia mungkin ditertawakan orang, dicemoohkan orang, atau sama sekali dikucilkan dari kelompok
14. Karena REBT sangat bersifat kependidikan dan didaktis, maka dalam kegiatannya banyak mencakup pemberian informasi dan diskusi untuk menentukan strategi pemecahan masalah. Ditinjau dari sisi praktis dan ekonomis, maka kegiatan semacam itu lebih baik dilaksanakan dalam bentuk kelompok daripada dalam suasana individual, kelompok juga memberikan Susana untuk mengajar, belajar, diskusi dan praktek yang mendorong para peserta menjadi terlibat secara aktif dalam upaya penyembuhan
15. Kelompok REBT bertemu rata-rata dua setengah jam setiap pertemuan, yaitu pertemuan yang disertai konselor, waktu itu ditambah pula dengan pertemuan lanjutan tampa konselor selama lebih kurang satu jam. Waktu selam ini memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk secara efektif saling menantang keyakinan yang cenderung mengalahkan diri sendiri yang telah tertanam dalam diri konseli secara kaku
16. Prosedur kelompok secara khusus bermanfaat bagi orang-orang yang terikat secara kaku oleh pola prilaku yang salah fungsi, karena suasana kelompok memberikan tantangan yang diperlukan untuk menilai kembali pola-pola yang salah itu dan mengambil pola baru yang lebih sehat dan lebih efektif
D. Peran dan Fungsi Konselor
Kegiatan terapeutik kelompok REBT dilaksanakan dengan satu tujuan utama, yaitu membantu para peserta mengusur gagasan-gagasan irasionalnya dan menggantikannya dengan gagasan-gagasan yang logis. Tujuan akhirnya adalah untuk memungkinkan para anggota kelompok menginternalisasikan suatu filsfat hidup yang rasional, apabila mereka telah menginternalisasikan keyakinan-keyakinan yang dogmatis dan keliru yang diperolehnya dari lingkunagan sosial budayanya
Dalam bekerja kearah pencapaian tujuan utama itu konselor kelompok mempunyai fungsi-fungsi dan tugas-tugas khusus. Tugas pertamanya adalah menunjukkan kepada para anggota kelompok bagaimana mereka telah menciptakan kesengsaraannya sendiri. Tugas ini dilakukannya dengan mengklarifikasikan hubungan antara gangguan emosional dan perilaku mereka dengan nilai-nilai, keyakinan, dan sikap-sikapnya. Dengan bantuan konselor, mereka dapat melihat bagaimana mereka secara tidak berpikir-pikir menerima seperangkat “keharusan”. Konselor bertindak sebagai orang yang melakukan lawan propaganda yang mengkonfrontasikan para anggota dengan propaganda yang telah diterimanya pada permulaan tampa memikirkan arti sesungguhnya dari propaganda itu, dan menunjukkan kepada mereka bagaimanasekarang dia melanjutkan indoktrinasinya sendiri dengan asumsi-asumsi yang tidak teruji. Konselor kelompok membujuk para anggota untuk melibatkan diri di dalam kegiatan-kegiatan yang akan bertindak sebgai wahana lawan propaganda
Untuk membantu konseli memerangi gagasan-gagasan tidak logis dan mengantinya dengan yang logis, maka konselor kelompok berusaha keras untuk mengubah pemikirannya. REBT berasumsi bahwa keyakinan yang tidak logis sesorang itu demikian tertanamnya secara mendalam sehingga tidak mudah untuk mengubahnya. Dengan demikian, peran konselor dalam hal ini adalah mengajar para anggota tentang bagaimana menantang asumsi-asumsinya dan bagaimana seyogyanya mereka memutus lingkaran setan mengenai proses penilaian diri yang negative dan tindakan menyalahkan diri
Menghilangkan gejala gangguann emosional dan perilaku adalah belum cukup. Apabila hanya masalah atau gejala khusus saja yang ditangani, ketakutan irasional lainnya akan muncul. Jadi dalam ini peran lain dari konselor kelompok adalah mengajar para nggota kelompok untuk menghidarkan diri dari kemungkinan menjadi korban dari keyakinan irasional pada masa yang akan dating. Dalam hal ini konselor kelompok menyerang pemikiran konseli yang tidak logis dan mengajar mereka tentang bagaimana menerapkan cara berpikir logis pada waktu menghadapi masalah pada waktu yang akan datang
Karena REBT adalah suatu proses kependidikan, maka peran konselor kelompok yang paling penting adalah mengajar para anggota kelompok mengenai cara untuk memahami diri dan mengubah diri. Para konselor dari pendekatan REBT menggunakan teknik-teknik yang tepat dan bertubi-tubi dan sangat dirktif yang menekankan unsur kognitif
E. Pandangan irasional yang merupakan sumber prilaku irasional adalah sebagai berikut:
  1. Orang harus selalu dicintai dan diterima oleh setiap orang dilingkungan agar berharga
  2. Orang harus memiliki kemampuan campuran dalam rangka agar berharga
  3. Orang yang jahat, keji, dan kejam harus dicela dan dihukum seberat-beratnya
  4. Suatu bencana besar, bila suatu peristiwa terjadi tidak seperti yang dikehendaki seseorang
  5. Ketidakbahagiaan itu berasal dari luar dari individu karena itu individu tersebut tidak punya kemampuan untuk menghadapi ketidakbahagiaan tersebut
  6. Orang harus terus menerus mengeluhkan dan memikirkan peristiwa yang berbahaya atau merugikan
  7. Lebih mudah menghindari kesulitan dan tanggung jawab dari pada menghadapinya
  8. Orang perlu bergantung pada orang lain yang lebih kuat dari pada dirinya
  9. Masa lalu sesorang menentukan prilaku saat ini dan tidak dapat diubah
  10. Orang harus perhatian dan gelisah dengan masalah dan kondisi orang lain
  11. Hanya ada satu jawaban yang sempurna untuk setiap masalah dan bencana besar jika jawaban tersebut tidak ditemukan
F. Daftar Pustaka
Corey, G 2004. Theory and Practice of Group Counseling. Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole
Corey, G 2004. Student Manual:Theory and Practice of Group Counseling. Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole
Corey, M.S. & Corey, G. 2006. Process and Practice of Group Counseling. Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole
Ivey, Allen E., Michael D’Andrea, Mary Bradford Ivey, Lynn Simek Morgan. 2009. Theories of Counseling and Psychotherapy a multicultural perspective. New York. Pearson

January 16, 2011

PROGRAM BIMBINGAN DAN KONSELING YANG KOMPREHENSIF

A. PENGANTAR
Hari ini isu akuntabilitas berada di garis depan dialog profesional (Dahir & Stone, 2003; Gysbers & Henderson, 2000; Isaacs, 2003; Johnson & Johnson, 2003; Myrick, 2003). Konselor Sekolah, bekerja dalam kerangka program bimbingan konseling komprehensif , dan semakin diminta untuk menunjukkan bahwa pekerjaan mereka memberikan kontribusi untuk keberhasilan siswa, terutama prestasi akademik siswa. Konselor sekolah tidah hanya diminta untuk menceritakan apa yang mereka lakukan, mereka juga diminta untuk menunjukkan bagaimana yang mereka lakukan untuk membuat perbedaan dalam kehidupan siswa. Apakah fokus pada akuntabilitas merupakan sebuah fenomena baru atau profesi kami selalu memiliki keperdulian untuk menilai dampak dari pekerjaan konselor sekolah? Tujuan artikel ini adalah untuk menjawab pertanyaan ini dengan menelusuri evolusi akuntabilitas seperti yang didokumentasikan dalam literatur profesional. Cerita ini dimulai pada tahun 1920, segera setelah bimbingan dan konseling diperkenalkan di sekolah sebagai pedoman kejuruan di awal 1900-an. Sebuah contoh sastra dalam setiap dekade dari tahun 1920 hingga 2003 ditinjau, pertama untuk bukti ekspresi dari keprihatinan tentang perlunya akuntabilitas, dan kemudian, untuk setiap rekomendasi yang konselor sekolah bisa ikut bertanggung jawab. Hasil dari kajian ini disajikan dalam bagian pertama dari artikel. Kemudian, sampling sastra untuk periode waktu yang sama ditinjau untuk studi empiris yang memberikan bukti program bimbingan konseling komprehensif yang telah berdampak pada kehidupan siswa. Hasil dari kajian ini disajikan pada bagian kedua dari artikel ini. Akhirnya, bagian terakhir dari artikel mengidentifikasi beberapa tema dari literatur yang menggambarkan kondisi prasyarat yang diperlukan untuk akuntabilitas terjadi.

B. EVOLUSI DARI PROSES AKUNTABILITAS
Tahun 1920
• Sebelum tahun 1920 pekerjaan paraprofesional difokuskan pada membangun/mendirikan BK (yang kemudian disebut sebagai bimbingan vokasional) di sekolah-sekolah
• Kebanyakan pekerjaan pada akuntabilitas difokuskan pada membangun standar untuk menilai baik atau tidaknya kelengkapan sebuah program BK
• Myers (1926) mengidentifikasikan standar yang dibuat, yaitu: 1)kelengkapan seperti yang diukur oleh sejumlah kegiatan BK, 2) Penekanan distribusi seperti yang ditunjukkan oleh waktu masing-masing aktivitas, 3) Kecermatan (keterperincian) dan kualitas dari penyelesaian suatu pekerjaan, 4) Konsistensi organisasi

Tahun 1930
• Kerja difokuskan pada kerja yang telah dibuat oleh Myers (1926) dan Edgerton (1929) untuk membuat standar dalam menilai kegiatan BK
• Kebutuhan untuk mengembangkan standar-standar untuk menilai suatu kelengkapan sebuah program yang dibuat oleh karena luasnya kegiatan yang dilaksanakan dibwah kjayaan BK saat ini
• Aistetter (1938) menyatakan bahwa tiada program dalam sekolah yang lebih sulit untuk dievaluasi dibanding mengevaluasi layanan bimbingan. Becker (1937) mendaftar sejumlah kriteria yang dapat digunakan untuk menilai keefektifan bimbingan

Tahun 1940
• Sebuah literatur tahun 1940, menekankan kebutuhan dalam mengevaluasi bimbingan. Pada tahun tersebut terdapat isu pelatihan yang diperlukan oleh para konselor sekolah untuk meningkatkan perhatian
• Dokumen yang menampakkan adanya evaluasi ditulis oleh Frolich (1949). Dia mereview dan mengklasifikasi 173 kajian menurut sistem berikut: Kriteria eksternal?, tindak lanjut, apa yang terjadi kemudian? Metode, pendapat klien, apa yang anda pikirkan?metode pendapat ahli, metode ”informasi tolong”, teknik-teknik spesifik, metode-metode kecil, perubahan dalam kelompok, sebelum dan sesudah metode, perubahan antar kelompok, apa yang berbeda?

Tahun 1950
• Kebutuhan akan evaluasi ini lebih difokuskan dan ditekankan untuk mendirikan suatu kriteria yang lebih baik dalam mengukur hasil-hasil bimbingan di sekolah
• Cottle (1957) melaporkan pada beberapa studi yang mengindikasikan keseluruhan program bimbingan di sekolah berdampak pada kehidupan siswa

Tahun 1960
• Tahun 1958 terjadi perkembangan dalam bidang BK yang cukup signifikan sebagai dampak diperlakukannya Undang-undang Pendidikan Pertahanan Nasional
• Pada tahun 1960 juga menjadi saksi munculnya gerakan akuntabilitas dalam pendidikan
• Perlunya konselor sekolah mengukur lalu menunjukkan bagaimana sasaran bimbingan berkaitan dengan tujuan pendidikan.
• Bahwa nilai dari program bimbingan yang secara meningkat didasarkan pada dampaknya terhadap siswa
• Wellman dan kolega mengembangkan suatu model sistem untuk menandai evaluasi dengan membuat taksonomi dalam domain dari pendidikan, vokasional dan perkembangan sosial. Sistem ini kemudian menjadi sebuah dasar untuk sejumlah model-model evaluasi yang mulai munculdi akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970

Tahun 1970
• Secara bersamaan, minat dalam pengembangan pendekatan sistematik yang komprehensif untuk pengembangan program dan memenejemen bimbingan menjadi meningkat
• McDaniel (1970) mengusulkan sebuah model untuk bimbingan yang disebut Youth Guidance System. Model tersebut mengorganisir di sekitar tujuan, sasaran, desain untuk evaluasi. Model ini berkaitan dengan model system bimbingan karier yang komprehensif ( Comprehensif Career Guidance System/CCGS) yang dikembangkan oleh personel American Institutes for Research. CCGS yang dirancang secara sistematik untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi program bimbingan. Pada saat yang sama, personel pada National Center for Vocational and Technical Education merancang sebuah model perilaku (behavioral) untuk bimbingan karir yang didasarkan pada sebuah pendekatan sistem yang berfokus pada evaluasi.

Tahun 1974
 Pengembangan 12 kompetensi berdasarkan pada modul pengembangan staf sebagai pedoman pengembangan program pengembangan karir K-12 secara menyeluruh. Modul 3 berjudul Assesing Desire Outcome (penilaian hasil yang diinginkan) (dayton,n.d), difokuskan pada kebutuhan program untuk menjadi dapat dipercaya yang diawali dari hasil yang diinginkan oleh siswa.

Tahun 1975
 Pine, dalam jurnal Measurement and Evaluation in Guidance (vol 3, okt 1975) menuangkan semua isu mengenai evaluasi konseling sekolah. Dia menyatakan bahwa “dalam era akuntabilitas, evaluasi konseling sekolah adalah perhatian yang paling penting kepada semua konselor tanpa memperhatikan bias teori filosofi mereka

Tahun 1978
 Campbel menggambarkan bahwa secara sederhana bimbingan memerlukan tidak cukup hanya sebuah program bimbingan, karena pembuat keputusan memerlukan dokumen hasil. Dia memfokuskan penelitian pada isu researdh menguji kebutuhan untuk penelitian dan bagaimana bentuk penelitian yang berbasis akuntabilitas.

Tahun 1980
Perhatian terhadap akuntabilitas tidak berkurang pada tahun 1980-an, tapi justru menunjukkan peningkatan. Bahkan terdapat asumsi bahwa kelangsungan hidup sekolah dan konselor bergantung pada akuntabilitas (Hayden & Pohlmann, 1981; Shay, 1981; Wiggins, 1981). Sebagai akibat dari kondisi ini banyak artikel ditulis tentang perlunya akuntabilitas dalam bimbingan dan kurangnya pekerjaan yang dilakukan untuk membuat akuntabilitas (Froehle & Fuqua, 1981 program; Wilson & Rotter, 1982; Wilson, 1985). Sejumlah penulis lain selama tahun 1980 memberikan ide tentang bagaimana melakukan evaluasi program (Lewis, 1983; Lombana, 1985; Pine, 1981; Wheeler & Loesch,1981). Fairchild dan Zins (1986) melaporkan pada survei nasional tentang praktek akuntabilitas.
Dari 239 responden (239 dari 500), 55 persen mengindikasikan mereka tengah mengumpulkan data akuntabilitas. Sisanya menyatakan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan tentang prosedur akuntabilitas. Pada tahun 1981, Departemen Pendidikan California menerbitkan Panduan untuk Pengembangan Panduan Program Komprehensif di Sekolah Umum California: TK sampai Sekolah Menengah. Dokumen evaluasi formatif dan sumatif digambarkan menggunakan data produk, proses data, dan data konteks. 

Tahun 1990
Evaluasi juga dijelaskan pada tahun 1990-an. Johnson dan Whitfield (1991) menyajikan suatu keseluruhan berencana untuk mengevaluasi program bimbingan sekolah. Dalam pembukaan kalimat pengantar untuk mengedit monografi, mereka menyatakan bahwa "Evaluasi merupakan bagian integral dari setiap program dan dianggap dapat membantu pengembangan program dan menentukan tujuan dengan jelas serta terukur. "(hal. 1). Gysbers, Hughey, Starr, dan Lapan (1992) menggambarkan kerangka evaluasi secara keseluruhan dan upaya Missouri yang dipandu untuk mengevaluasi komprehensif program bimbingan sekolah. Dua dari lima pertanyaan dalam proses evaluasi difokuskan pada pengukuran penguasaan siswa pada kompetensi bimbingan dan kemungkinan dampak program pada iklim dan tujuan sekolah. Selama periode waktu yang sama., Drury (1992) menyatakan bahwa komponen yang jelas memiliki program evaluasi. Pada komponen ini disarankan bahwa "Rencana evaluasi harus berfokus pada hasil program daripada layanan program "(hal. 493). Mereka menyarankan rencana evaluasi yang akan berfokus pada hasil serta berbagai metode evaluasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas ini. Kemudian pada 1990-an, Whiston (1996) menguraikan beberapa pendekatan untuk penelitian yang bisa digunakan di sekolah. Dia menunjukkan bahwa konselor sekolah menghadapi peningkatan tekanan untuk bertanggung jawab, dan karenanya,harus lebih aktif dalam penelitian hasil. Kemudian pada tahun 1998, Whiston dan Sexton (1998) mempresentasikan review hasil penelitian yang dipublikasikan konseling sekolah antara 1988 dan 1995. Dalam pembukaan mereka, kalimat mereka menyatakan bahwa "Dalam era akuntabilitas, konselor sekolah semakin diminta untuk memberikan informasi kepada orang tua, administrator, dan anggota legislatif pada efektifitas konseling sekolah kegiatan "(hal. 412).

Tahun 2000
Penekanan pada akuntabilitas dimulai pada tahun 1920 yang dilanjutkan dengan semangat baru dalam dekade pertama Abad ke-21. Trevisan dan Hubert (2001) menegaskan kembali bahwa pernyataan yang dibuat selama 20 tahun terakhir tentang pentingnya program evaluasi dan pemerolehan data akuntabilitas tentang hasil siswa. Foster, Watson, Meeks, dan Young (2002) juga menegaskan kembali perlunya akuntabilitas untuk konselor sekolah dan menawarkan penelitian desain single subjek sebagai cara untuk menunjukkan efektivitas. Lapan (2001) menekankan pentingnya program yang komprehensif tentang pedoman dan konseling yang “dikonseptualisasikan sebagai sistem berbasis hasil" (Hal. 289). Dalam sebuah artikel, Lapan menggambarkan kerangka untuk perencanaan program bimbingan dan evaluasi. Hughes dan James (2001) juga mencatat pentingnya penggunaan data akuntabilitas dengan manajemen berbasis situs kelompok dan personil sekolah lainnya. Selain itu, terdapat artikel oleh Myrick (2003), Johnson dan Johnson (2003), dan Dahir dan Batu (2003) pada bulan Februari 2003 yang menggambarkan isu Konseling Sekolah Profesional yang menekankan perlunya akuntabilitas.


C. STUDI EMPIRIS

Mengingat 80 tahun diskusi tentang pentingnya akuntabilitas untuk bimbingan dan konseling, maka pertanyaan yang muncul adalah, ‘Apakah ada studi empiris yang dilakukan untuk mengevaluasi dampak dari bimbingan dan konseling pada siswa?’ .Jawabannya adalah ya. Studi ini telah mengambil dua bentuk yaitu, mengevaluasi dampak kegiatan dan layanan BK secara khusus dan mengevaluasi dampak program BK secara keseluruhan. Kedua jenis evaluasi ini merupakan hal yang penting.

Kefauver dan Hand
Pada musim gugur 1934, Kefauver dan Hand (1941) melakukan penelitian selama 3 tahun yang melibatkan siswa SMP. Penelitian ini didukung oleh hibah dari Yayasan Carnegie untuk kemajuan pengajaran. Setting penelitian ini dipilih dua Sekolah Menengah Pertama dari Oakland, California, dan dua Sekolah Menengah Pertama dari Pasadena, California. Subyeknya adalah siswa yang memasuki kelas tujuh pada musim gugur 1934. Satu sekolah di masing-masing kota dipilih sebagai sekolah eksperimen, sedangkan yang kedua dipilih sebagai sekolah kontrol. Enam tes dan dua inventori yang dikembangkan oleh Kefauver dan Hand diberikan kepada kelompok eksperimen dan kontrol.

Studi Empirik yang mengevaluasi dampak BK

Peneliti Tahun Tipe Penelitian Penemuan
Cantoni 1954 Eksperimen longitudinal/kelas kontrol, siswa Sekolah Menengah Data tindak lanjut mengindikaskan bahwa kelompok eksperimen lebih baik dalam penyesuaian pendidikan, tingkat okupasi, kestabilan emosi.
Wellman & Moore 1975 Eksperimen/kelas kontrol, siswa SD Kelompok eksperimen lebih tinggi dalam pencapaian prestasi
Lapan, Gysberg & Sun 1997 Perbandingan siswa sekolah menengah atas dengan implementasi program BK yang menyeluruh dan kurang menyeluruh Siswa di sekolah menengah dengan program BK menyeluruh lebih mampu dalam mempersiapkan masa depan dan sekolah mereka lebih memiliki suasana yang positif.
Nelson, Gardner & Fox 1998 Perbandingan siswa sekolah menengah atas dengan implementasi program BK yang menyeluruh dan kurang menyeluruh Siswa dari sekolah menengah dengan program BK yang menyeluruh lebih unggul dalam pelatihan matematika, pengetahuan, dan vokasi.
Lapan, Gysberg & Petroski 2001 Perbandingan siswa sekolah menengah dengan implementasi program BK yang menyeluruh dan kurang menyeluruh Siswa dari sekolah menengah dengan program yang menyeluruh dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi, memiliki hubungan baik dengan guru, merasa lebih aman di sekolah dan lebih puas dengan pendidikan mereka.
Sink & Stroh 2003 Perbandingan siswa SD dengan implementasi program BK komprehensif dan tidak komprehensif Siswa SD yang mendapatkan layanan BK komprehensif lebih tinggi dalam pencapaian prestasi.

Apa temuan-temuan dari studi ini? Kefauver dan Hand (1941) melaporkan bahwa terdapat dampak yang menguntungkan pada sekolah eksperimental dalam memberikan layanan pendidikan, rekreasi, dan panduan informasi sosial. Dampak yang lebih menguntungkan adalah dalam pemberian bimbingan kesehatan dan layanan bimbingan vokasi.

Rothney dan Roens
Studi utama lain dalam bimbingan dimulai di sekolah tahun 1936-1937 di Arlington, Massachusetts (Rothney & Roens, 1950). Kedelapan anak kelas dibagi ke dalam kelompok binaan (eksperimental) dan kelompok terarah (kontrol). Pada awal penelitian, ada 129 siswa dalam setiap kelompok. Kelompok eksperimen menerima layanan secara intensif oleh konselor, sedangkan kelompok kontrol tidak menerima layana selain membantu siswa dalam memilih program dan membuat rencana pendidikan dan kejuruan yang telah tersedia sebelumnya.
Perbandingan dibuat antara dua kelompok pada akhir tahun senior (Juni 1941). Ada sebanyak 81 siswa dalam kelompok binaan dan 90 siswa pada kelompok terarah pada waktu wisuda di Juni 1941. Perbandingan dilakukan pada kriteria:-drop out, kegagalan subjek, kelas kegagalan, perubahan kurikulum, kelulusan dan masuk ke perguruan tinggi. Temuan adalah sebagai berikut:



1. Kejadian drop-out dalam dua kelompok itu kurang lebih sama. Bimbingan rupanya
tidak berpengaruh terhadap retensi siswa.
2. Tingkat kegagalan subyek dan jumlah rata-rata kegagalan per mata kuliah menurun pada kelompok eksperimen .
3. Tingkat kegagalan lebih tinggi pada kelompok kontrol di 10 kelas.
4. Siswa dari kelompok binaan lebih sedikit yang mengalami perubahan kurikulum.
5. Peringkat akademis rata-rata kelompok binaan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok terarah.
6. Pencapaian secara signifikan lebih besar dari kelompok binaan daripada kelompok terarah. (Rothney &Roens, 1950, hal 216-217).
Hasil tambahan dari penelitian ini adalah dengan mengumpulkan perbandingan jawaban atas pertanyaan yang diberikan kepada siswa binaan dan terarah selama mereka berada di kelas senior tahun (85 dibimbing dan 94 tidak dibimbing) dan 8 bulan kemudian (85 dibimbing dan 82 tidak terarah). Apa hasilnya? Tanggapan menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok binaan lebih baik dalam memperoleh informasi untuk tujuan masa depan mereka, lebih baik dalam penyesuaian dan percaya diri, lebih akrab dengan komunitas lembaga, merasa lebih aman dengan masa depan mereka, dan merasa lebih puas dengan pilihan sekolah atau kerja mereka.

Rothney
Kajian utama pada tahun 1950 mengenai efek bimbingan di sekolah terjadi di negara bagian Wisconsin. Hal ini dikenal sebagai Studi Konseling Wisconsin (Rothney, 1958). Rincian hasil studi diterbitkan dalam buku Pedoman Praktek dan Hasil. Sejumlah 870 mahasiswi di sekolah-sekolah dari empat komunitas di Wisconsin ditempatkan, baik di kelompok eksperimen atau kelompok kontrol. Kelompok eksperimen menerima program bimbingan intensif, sedangkan kelompok kontrol tidak.
Pada hari kelulusan pada bulan Juni 1951, terdpata 690 lulusan. Tiga tindak lanjut terjadi: 6 bulan setelah lulus SMA, dua dan satu-setengah tahun setelah lulus, dan 5 tahun setelah kelulusan tahun 1956. Seratus persen dari siswa (sebanyak 685) tinggal berpartisipasi dalam akhir tindak lanjut. Berikut adalah temuan dari studi penting ini.
Siswa yang menerima konseling :
1. Meraih catatan akademik sedikit lebih tinggi pada sekolah tinggi dan pendidikan sekolah pasca-tinggi.
2. Menunjukkan lebih realisme tentang kekuatan mereka sendiri dan kelemahan pada saat mereka lulus dari sekolah tinggi.
3. Merasa kurang puas dengan pengalaman tinggi sekolah.
4. Terdapat perbedaan aspirasi vokasional.
5. Lebih konsisten dalam pengungkapan, pemikihan dan penentuan pikihan vokasi mereka.
6. Terdapat kemajuan selama lima tahun periode.
7. Adanya perencanaan pendidikan yang lebih tinggi.
8. Adanya kepuasan yang lebih tinggi pada pendidikan pasca SMA.
9. Menunjukkan adanya kepuasan yang lebih tinggi pada 5 tahun setelah lulus SMA.
10. Partisipasi dalam kegiatan self-empowerment setelah lulus SMA.
11. Terlihat lebih baik dalam pencapaian tujuan 479-480)
Rothney (1950) menawarkan kesimpulan sebagai berikut:
“Terdapat perbedaan baik besar maupun kecil dalam beberapa arahan yang dihipotesiskan oleh adanya bimbingan dan konseling di sekolah. Tampaknya perbedaan yang lebih besar akan muncul jika konseling dilaksanakan dalam keadaan yang ideal (menyeluruh). Keadaan akan terlihat baik dan lebih diterima apabila konseling menjadi bagian regular sebagai upaya pemberian pengalaman bagi siswa di sekolah, adanya dukungan yang lebih antusias dari orang tua dan personil sekolah, dan dengan teknik evaluasi yang lebih baik. (Hal. 482-483)

D. AKUNTABILITAS MERUPAKAN TANGGUNG JAWAB YANG SEDANG BERJALAN
Akuntabilitas bukan suatu fenomena sesaat. Akuntabilitas adalah tanggung jawab yang berlanjut atau berjalan. terhadap profesi dalam negara, nasional, dan lokal.
Jika akuntabilitas tidak pernah berakhir, apa yang bisa dipelajari dari literatur yang luas pada 80 tahun terakhir yang dapat membantu konselor sekolah memenuhi akuntabilitas? Keadaan tidak mengijinkan untuk sebuah presentasi rinci mengenai bagaimana teknik dan metode akuntabilitas di masa lalu dapat diaplikasikan saat ini. Namun demikian, ada beberapa tema dominan yang muncul secara konsisten dalam literatur akuntabilitas yang berbicara dengan kondisi prasyarat yang diperlukan, yang harus ada jika akuntabilitas akan dicapai.
Tema pertama berhubungan dengan pola pikir bahwa individu memiliki akuntabilitas. Beberapa melihatnya sebagai ancaman. Literatur membuatnya jelas bahwa hal ini penting untuk menyingkirkan pikiran dari kekhawatiran “phobia” akuntabilitas. Apa yang dibutuhkan adalah pola pikir bahwa menjadi akuntabel hanyalah sebuah bagian dari pekerjaan bimbingan dan konseling yang dilakukan di sekolah setiap hari.Ini adalah cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan menunjukkan keefektifan kerja. Hal ini penting untuk memulai tiap tahun ajaran, semester,bulan, minggu, dan hari dengan berorientasi hasil. Ketika memberikan kegiatan bimbingan dan konseling mulailah selalu dengan terlebih dahulu mengidentifikasi hasil yang diharapkan atau target.
Tema kedua berfokus pada hasil bimbingan dan konseling di sekolah. Jika pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang fokus pada hasil, maka sekolah lokal perlu meningkatkan rencana perbaikan. Kebanyakan rencana berisi hasil program kegiatan bimbingan dan konseling.
Tema ketiga dan terakhir adalah pencapaian akuntabilitas yang tidak cukup hanya dengan berbicara. Hal ini penting untuk diingat bahwa akuntabilitas yang belum dapat dicapai merupakan suatu keprihatinan dan hal ini perlu tindakan. saatnya untuk bertindak. Sudah saatnya konselor sekolah dan para pemimpin di semua tingkatan untuk menerima tantangan akuntabilitas.

IMPLEMENTASI TERHADAP PROGRAM BK DI INDONESIA
 Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang implementasi uraian diatas dengan situasi dan kondisi di indonesia, maka sebagai awal akan dibahas sedikit mengenai evolusi program BK yang ada di Indonesia. Jika kita melihat betapa panjangnya perkembangan proses akuntabilitas BK di negara barat, lalu bagaimana dengan di Indonesia?
 Di Indonesia BK mulai diperkenalkan di sekolah sekitar tahun 1962 setelah pejabat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (P & K) menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya beberapa pejabat kementrian P & K mengadakan peninjauan di AS. Pada waktu itu penetapan kriteria tugas konselor (guru BP/BK/GC) tidak jelas dan sangat lebar, mulai dari peran semacam “polisi sekolah” sampai dengan konversi hasil ujian untuk seluruh siswa di suatu sekolah menjadi skor standar. Baru pada tahun 1975 layanan BK masuk dalam kurikulum (yang dikenal dengan Kurikulum 1975). Dalam kurikulum tersebut layanan Bk sebagai salah satu dari layanan dalam wilayah sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai SMA. Tahun 1976 ketentuan layanan BK juga masuk dalam sistem persekolahan untuk jenjang SMK, namun seiring berjalannya waktu layanan BK di SMK kurang di follow-up oleh para kepala SMK. Selain itu juga penyelenggaraan BK di jenjang SD juga tidak berjalan sesuai dengan harapan karena memang belum ada konselor yang diangkat di SD kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu. Walaupun undang-undang belum memberikan ruang gerak yang jelas bagi layanan BK, namun karena didorong keinginan kuat untuk memperkokoh profesi ini maka didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). IPBI ini adalah wadah profesi konselor/bimbingan yang bertugas di lapangan.
 Tahun 1994 dengan diberlakukan kurikulum 1994, mulai ada ruang gerak bagi layanan ahli BK dalam sistem persekolahan di Indonesia karena salah satu ketentuannya mewajibkan tiap sekolah menyediakan 1 konselor untuk setiap 150 peserta didik (kegiatan BK baru terealisasi pada jenjang pendidikan menengah). Dengan adanya ketentuan tersebut maka kebutuhan akan konselor di sekolah semakin meningkat. Meskipun begitu di lapangan lulusan S1 BK masih sangat minim apalagi ditambah kebijakan Ditjen Dikti untuk menciutkan jumlah S1 BK di seluruh tanah air. Dampaknya adalah sekolah-sekolah mengalih tugaskan guru-guru yang bisa dilepas (dispensable) untuk mengemban tugas meenyelenggarakan pelayanan BK setelah dilatih melalui Crash Program dan lulusannya disebut Guru Pembimbing.
 Pada tahun 2003 diberlakukan UU no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut adanya jabatan konselor pada pasal 1 ayat (6). Namun pada pasal berikutnya tidak ditemukan kelanjutan mengenai jabatan konselor pun. Hal ini membuat banyak salah tafsir terutama tentang tugas dan peran konselor di sekolah. Dalam UU tersebut tercantum bahwa konselor adalah pendidik, karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut maka secara awam ditafsirkan tugas konselor sama juga dengan tugas guru. Sampai pada UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun juga belum ditemukan tentang konteks tugas dan ekspektansi kinerja konselor. Baru pada tahun 2007 Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN d/h IPBI) menyusun rujukan dasar bagi penyelenggaraan layanan BK khususnya bagi jalur pendidikan formal. Dengan rujukan tersebut kegiatan layanan BK di Indonesia mulai di tata kembali dalam penyelenggaraannya sesuai rambu-rambu yang tercantum pada rujukan tersebut. Selain itu muncul pula Permendiknas nomor 27 tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Dengan demikian secara yuridis jabatan konselor sebagai suatu profesi dapat dipertaruhkan dan dapat diminta pertanggungjawabanya terutama pada penyelenggaraannya di jalur pendidikan formal.
 Dari uraian singkat mengenai perkembangan BK di Indonesia dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa secara historis layanan BK di Indonesia juga menempuh jalur panjang dalam meneguhkan eksistensinya sebagai salah satu layanan profesional di masyarakat. Selain itu yang perlu dicermati adalah dengan adanya pasang-surut penyelenggaraan layanan BK di Indonesia memberikan indikasi bahwa masalah akuntabilitas masih sangat perlu untuk digarap secara serius agar layanan tersebut dapat tampil benar-benar secara profesional.
Akuntabilitas layanan terwujud dalam kejelasan program, proses implementasi, dan hasil-hasil yang dicapai serta informasi yang dapat menjelaskan apa dan mengapa sesuatu proses dan hasil terjadi atau tidak terjadi. Ada hal yang sangat penting di dalam akuntabilitas yaitu informasi yang terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan/atau kegagalan peserta didik di dalam mencapai kompetensi.
 Sebagai pengejawantahan akuntabilitas layanan BK khususnya di jalur pendidikan formal, maka perlu adanya penyusunan program BK yang jelas dan didasarkan pada kebutuhan penggunanya (khususnya peserta didik) serta mengacu juga pada hasil evaluasi layanan BK yang telah diselenggarakan. Hal tersebut juga mengandung arti bahwa konselor perlu menguasai dan memiliki kemampuan dalam pendataan (sekaligus selalu meperhatikan up date data) karena dari data tersebut dijadikan dasar dalam penyelenggaran BK. Hal lain dari penerapan akuntabilitas ini adalah operasionalisasi (proses) implementasi dari program yang telah dibuat dan hasil-hasil apa yang telah dicapai. Dari hasil yang dicapai maka perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui efektif tidaknya suatu program dibuat.
 Seperti yang telah dilakukan di negara barat, evaluasi sebagai sebagai salah satu dasar pengembangan suatu program. Demi terwujudnya suatu program yang berkualitas dan efektif serta akuntabel, perlu diinformasikan hasil-hasil yang telah dicapai dalam suatu program. Selain itu sangat penting sebagai bahan pendukung dari suatu program maka diadakan riset agar dapat diketahui dampak maupun keefektifannnya. Sebagai suatu profesi yang akuntabel, konselor di sekolah melakukan riset terhadap layanan BK yang telah diselenggarakannya sekaligus melaporkan dan mendokumentasikan hasil risetnya. Pelaporan atau sebagai ganti dari kata “menginformasikan” memiliki nilai dan efek yang besar terhadap adanya suatu program BK di sekolah. Hal ini dapat memberikan bukti bahwa ada manfaat yang dapat diambil dari suatu program yang dilakukan. Selain itu juga sebagai bahan perbandingan antara program satu dengan lainnya. Dengan demikian, baik para personel di sekolah, orang tua maupun masyarakat mengetahui dan menilai dengan sendirinya dampak dari suatu program khususnya bagi pengembangan peserta didik.
 Sebagai bahan pemikiran, akuntabilitas adalah suatu proses tanggungjawab yang tidak pernah berhenti. “Accountability is An Ongoing Responsibility” adalah suatu kalimat yang rasanya semua profesi selalu memperhatikan dan terinternalisasi pada masing-masing pribadi penyandang profesi tersebut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa akuntabilitas bukan merupakan ancaman bagi seseorang yang profesional namun lebih sebagai suatu kewajiban yang perlu dipelihara, dilaksanakan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu. Dengan demikian konselor tidak hanya berbicara dan berefleksi tentang apa yang telah ia lakukan namun juga lebih banyak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat dipertanggungjawabkan demi kemaslahatan penggunanya.
  Berangkat dari bagaimana pemenuhan kebutuhan akuntabilitas bimbingan dan konseling, konselor sekolah dituntut untuk meningkatkan profesionalitas terhadap pelaksanaan program bimbingan dan konseling yang memandirikan. Dalam hal ini, konselor sekolah perlu melakukan kegiatan penelitian dan penilaian dalam rangka bimbingan dan konseling di sekolah. Ini dimaksudkan untuk menelaah program layanan bimbingan dan konseling yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangkan dan memperbaiki program bimbingan khususnya program bimbingan di sekolah yang bersangkutan. Dengan demikian memungkinkan program bimbingan berfungsi lebih efektif.