Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

June 8, 2011

Person Centered Therapy

KONSELING BERPUSAT PADA PRIBADI

(PERSON CENTERED)

A. Arah Perkembangan

  • v Tahun 1940-an : konseling non direktif.
  • v Tahun 1950-an : self theory --client centerd theraphy
  • v Tahun 1960-an : menerapkan pada kelompok-kelompok kecil. (student centered)
  • v Tahun 1960-an dan 1970-an --- encounter group (kelompok perjumpaan) dan personal growth group).
  • v Tahun 1970-an --- pendekatan berpusat pada pribadi.

B. Landasan Teoritik Konseling Berpusat Pribadi (Person Centered)

1. Pandangan terhadap Manusia

a. Manusia penuh akal, mampu mengarahkan diri, mampu hidup secara produktif dan efektif.

b. Seseorang tidak hanya memiliki konsep diri “sebagaimana saya sekarang ini”, tapi juga “sebagai bentuk ideal yang saya inginkan”.

c. Salah satu karakteristik unik citra person dalam Person Centered adalah usahanya mendeskripsikan seseorang yang berfungsi secara penuh (fully functioning).

d. Setiap individu pada dasarnya dapat dipercaya, memiliki potensi yang besar untuk memahami diri sendiri dan menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa intervensi langsung dari orang lain dan mereka juga mampu untuk mandiri.

e. Menurut Tallman & Bohart, 1999, kepercayaan dalam kapasitas klien untuk penyembuhan diri adalah berlawanan dengan banyak teori-teori yang melihat teknik terapis sebagai agen yang paling kuat yang mengarah pada perubahan. Rogers merevolusi bidang psikoterapi dengan mengusulkan sebuah teori yang berpusat pada klien sebagai agen perubahan diri (Bozarh, Zimring & Tausch 2002).

f. Mengutamakan kualitas pemimpin kelompok atau sikap konselor dibandingkan penguasaan teknik-teknik atau keterampilan.

2. Karakteristik Person Centered

o Memusatkan pada tanggung jawab dan kemampuan konseli untuk menemukan cara-cara yang lebih tepat dalam menghadapi kenyataaan.

o Menekankan pada dunia pengalaman atau dunia subyektif konseli.

o Sikap-sikap konselor-genuineness, nonpossessive acceptance, dan accurate empathy merupakan kondisi yang mutlak diperlukan dan mencukupi bagi efektifitas konseling.

o Teori person centered therapy berkembang melalui penelitian tentang proses dan hasil konseling.

o Menekankan pada kekuatan dari dalam diri individu dan dampak revolusioner dari kekuatan tersebut.

3. Perkembangan Kepribadian

Rogers membagi kepribadian menjadi dua bagian, yaitu:

a. Karakteristik Pribadi Sehat

Pribadi yang sehat menurut Person Centered adalah:

1. Kapasitas untuk memberikan toleransi pada apapun dan siapapun.

2. Menerima dengan senang hati hadirnya ketidakpastian dalam hidup.

3. Mau menerima diri sendiri dan orang lain.

4. Spontanitas dan kreatif.

5. Kebutuhan untuk tidak dicampuri orang lain dan menyendiri (privacy).

6. Otonomi; kapasitas untuk menjalin hubungan antarpribadi yang mendalam dan akrab.

7. Mempunyai kepedulian yang tulus pada orang lain.

8. Mempunyai rasa humor

9. Terarah dari dalam diri sendiri.

10. Mempunyai sikap yang terbuka terhadap hidup.

b. Karakteristik Pribadi Yang Menyimpang

Karakteristik pribadi yang menyimpang menurut Person Centered adalah:

1. Adanya ketidaksesuaian antara persepsi diri dan pengalamannya yang riil

2. Adanya ketidaksesuaian antara bagaimana dia melihat dirinya (self-concept) dan kenyataan atau kemampuannya.

C. Pembentukan Kelompok

Dalam pelaksanaan konseling kelompok terdapat beberapa tahap, diantaranya adalah:

1. Tahap Pembentukan

Pada tahap ini para anggota kelompok saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan kegiatan konseling kelompok yang ingin dicapai dan dipimpin oleh pemimpin kelompok. Tahap ini ditandai dengan keterlibatan anggota dalam kegiatan kelompok.

2. Tahap Peralihan

Pada tahap ini biasanya diwarnai dengan suasana yang seimbang dimana masing-masing anggota kelompok mulai menyesuaikan diri. Tujuan yang hendak dicapai dalam tahap ini adalah terbebasnya anggota kelompok dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu, atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap berikutnya. Semakin mantap suasana kelompok dan adanya kebersamaan antar sesama anggota kelompok, maka semakin mantap pula minat konseli untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok.

3. Tahap Kegiatan

Tahap ini merupakan inti yang sebenarnya dari kegiatan kegiatan konseling kelompok. Kegiatan kelompok pada tahap ini bergantung pada hasil dari dua tahap sebelumnya. Kegiatan kelompok pada tahap ini benar-benar mengarah pada pencapaian tujuan. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini adalah:

a. Terungkapnya masalah yang dirasakan, dipikirkan dan dialami oleh anggota kelompok.

b. Terbahasnya masalah dan topik yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas.

c. Ikut sertanya seluruh anggota kelompok secara aktif dan dinamis dalam membahas masalah atau topik, baik yang menyangkut unsur-unsur perilaku, pemikiran atau perasaan.

4. Tahap Pengakhiran

Inti pada tahap ini lebih ditujukan pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok. Adapun tujuan yang ingin dicapai pada tahap pengakhiran adalah:

a. Terungkapnya kesan-kesan anggota tentang pelaksanaan kegiatan konseling kelompok.

b. Terungkapnya hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai.

c. Terumuskannya rencana kegiatan lebih lanjut.

d. Adanya rasa kebersamaan meskipun kegiatan diakhiri.

D. Kondisi Perubahan

1. Tujuan Konseling

Tujuan dari konseling ini adalah membebaskan konseli dan membuat kondisi yang memungkinkan konseli untuk melakukan eksplorasi bermakna dan bukan hanya menyelesaikan problema, tetapi membantu konseli dalam proses pertumbuhannya sehingga dia bisa lebih baik menangani problema yang dihadapi sekarang maupun di masa mendatang.

Ditegaskan juga oleh Combs, bahwa ketika orang-orang bebas, mereka akan dapat menemukan cara mereka sendiri (Combs,1989. Menurut Broadley (1999) menulis tentang kecenderungan aktualisasi, proses terarah menuju realisasi pemenuhan, otonomi, penentuan nasib sendiri dan kesempurnaan. Pertumbuhan dan kekuatan dalam diri kita menyediakan sumber internal penyembuhan.

2. Pemahaman tentang Peran Konselor

Pemahaman konselor dipusatkan pada sikap, keterampilan, tugas serta fungsinya. Menurut Rogers, sikap yang harus dimiliki konselor adalah kejujuran/ketulusan (kongruensi), sikap positif yang tidak bersyarat (unconditional positive regard) dan pemahaman empati yang akurat. Untuk mewujudkan kualitasnya, maka konselor harus memiliki keterampilan. Adapun keterampilan pokok yang harus dimiliki oleh konselor adalah keterampilan mengamati tingkah laku konseli dan keterampilan mengkomunikasikan pemahaman terhadap konseli. Dan secara umum tugas dari konselor adalah menciptakan suasana konseling yang memfasilitasi pertumbuhan kepribadian konseli, sedangkan fungsi dari konselor adalah sebagai fasilitator, motivator, reflektor, dan model bagi konselinya.


Peran konselor antara lain:

* Menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga dapat mengenal hambatan pertumbuhannya dan dapat mengalami aspek dari sebelumnya terganggu.

* Membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan dan kepercayaan yang lebih besar kepada dirinya.

* Keinginan untuk menjadi pribadi, dan meningkatkan spontanitas hidup.

Selain itu, disebutkan pula bahwa keterampilan dan sikap konselor :

* Kepercayaan pada proses kelompok

Kepercayaan pada proses kelompok dapat menumbuhkan kemajuan dalam kelompok. Contoh perubahan “kemajuan” dalam kelompok:

a. Dari memainkan peran tertentu kea rah menyatakana diri.

b. Dari sikap tertutup ke arah lebih terbuka.

c. Tidaka danya kontak penglaamn internal ke arah kesadaran terhadap hal itu.

d. Dari upaya mencari jawaban di luar dirinya ke arah kesediaan untuk mengatur hidupnya sendiri.

e. Dari ketidak percayaan ke arah keterbukaan dan ekspresif dalam mengahadapi orang lain.

* Mendengarkan secara aktif.

Terdapat beberapa hambatan dalam keterampilan mendengar, yaitu:

a. Terlalu memusatkan diri pada pemecahan masalah sebelum konseli menjajaki perasaannya.

b. Memberikan nasihat.

c. Terlalu banyak mengemukakan pertanyaan tertutup.

d. Bertindak terlalu direktif.

e. Terlalu memperhatikan kata-kata, tapi kurang mengamati perilaku yang mengisyaratkan makna di balik kata-kata.

f. Mengelompokkan peserta.

* Empati

a. Rogers (1961) empati sebagai kemampuan untuk melihat dunia orang lain denga menggunakan kerangka rujukan internal orang yang bersangkutan.

b. Kemampuan seseorang untuk mersakan dunia pribadi konseli “seakan-akan” dunia pribadi konseli adalah dunianya sendiri.

c. Empati ---penjajakan diri

* Unconditional positive regard

a. Menerima tanpa syarat dan apa adanya.

b. “Saya menerima Anda sebagaimana adanya….”

* Genuinenes dan Self-disclosure : ketulusan dan pengungkapan diri.

* Respect (Egan”1982)

Pernyataan yang menunjukkan respect :

a. “Saya berharap bahwa kita dapat bekerjasama dalam kelompok ini dan menjadikannya tepat yang memberikan kebebasan bagi Anda untuk menyatakan perasaan Anda masing-masing”.

b. “Apabila Anda percaya bahwa kelompok ini akan dapat membantu Anda, maka saya pun percaya bahwa Anda bersedia melakukan perubahan yang konstruktuif dalam kehidupan Anda”

c. “Mungkin saya sulit untuk menyetujui dengan beberapa nilai yang Anda anut, tapi saya benar-benar menghormati hak Anda untuk berpikir berbeda dengan jalan pikiran saya”.

* Immediacy : kesegeraan dalam memberikan respon pada konseli.

* Kongkrit (Carkhuff: 1969, Ivey & Authier (1978), Egan (1982)

a. Berarti kekhususan dalam mendiskusikan kepedulian, perasaan, pemikiran dan tindakan seseorang (Carkhuff, Ivey, Egan).

b. Contoh

Konseli : “Saya ingin menyentuh perasaan saya”.

Konselor : “Perasaan apa? Apa yang Anda maksudkan dengan

menyentuh ?”

Konseli : “Pada intinya saya merasa ngeri”.

Konselor : “Dalam hal apa Anda merasa ngeri ?”

* Konfrontasi

a. Egan (1982) mengartikan konfrontasi sebagai “undangan” kepada seseorang untuk menguji perilakunya secara lebih jujur.

b. Contoh : “Saya rasa Anda sedikit sekali berbicara dalam kelompok ini, saya ingin sekali mendengar pendapat Anda. Saya khawatir, apakah Anda mendapat kesulitan sehingga diam saja atau mungkin sebenarnya Anda ingin lebih banyak bicara. Apakah Anda sadar hal-ahal apa yang mencegah Anda untuk menyatakan perasaan dan pikiran Anda ?”

* Experincieng, encountering, reflecting

Keterampilan konselor agar konseli mengalami, mampu menghadapi masalah dan merefleksikan masalah.

3. Pemahaman tentang Peran Konseli

Agar proses konseling dapat mencapai perubahan pribadi konseli yang diinginkan, maka diperlukan beberapa kondisi yang seharusnya ada pada konseli, yaitu adanya kesediaan konseli secara sukarela untuk menerima bantuan dan dapat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dapat mengungkapkan perasaan tertekannya dengan baik dan konseli dan konselor harus bisa menciptakan suasana yang kondusif dalam proses konseling .

E. Mekanisme Perubahan

1. Situasi atau Interaksi

Menurut Rogers ada kondisi yang diperlukan konseli untuk bisa mengalami kebebasan yang diperlukan agar terjadi adanya perubahan kepribadian, yaitu:

a. Ada dua orang atau lebih dalam kontrak psikologis.

b. Orang pertama yaitu konselor, mengalami hal yang kongruen dan terintegrasi dalam hubungan itu.

c. Orang kedua yaitu konseli, mengalami hal yang tidak kongruen.

d. Konselor menaruh perhatian yang positif yaitu betul-betul peduli terhadap konseli.

e. Konselor mengkomunikasikan kepada konseli berupa pemahaman empati dan perhatian positif yang tidak berlebihan.

2. Tahap-tahap Konseling

a. Konseli datang kepada konselor atas kemauannya sendiri atau atas saran orang lain. Apabila konseli datang atas saran orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang nyaman dan permisif agar konseli dapat menentukan untuk tetap mengikuti konseling daripada membatalkannya.

b. Situasi konseling sejak awal menjadi tanggung jawab konseli, sehingga konselor berperan untuk mengarahkan konseli.

c. Konselor mendorong konseli untuk mampu mengungkapkan pikiran, perasaan, bersikap ramah, bersahabat dan menerima konseli apa adanya.

d. Konselor menerima dan memahami konseli.

e. Konseli berupaya agar konseli mampu menerima dirinya sendiri (self-acceptnce)

f. Konseli menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (planning).

g. Konseli merealisasikan pilihannya.

Secara kongkrit, tahapan konseling dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Tahap Perkenalan

Pada tahap ini pemimpin yang berpusat pribadi diharapkan dapat menghindari penggunaan praktek yang direncanakan dan teknik untuk mendapatkan “kemajuan dalam kelompok”. Mereka berpedoman pada kapasitasnya dalam kelompok untuk memutuskan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Sikap kepemimpinan dan karakter individu jauh lebih penting dibandingkan teknik yang digunakan. Dalam tahap perkenalan, konselor memulai percakapan misalnya dengan :

* Memperkenalkan diri

* Mempersiapkan aturan main ( peran, kerahasiaan, waktu dan tujuan pertemuan

* Basa – basi awal, bisa dengan menanyakan identitas, kabar, dsb.

* Mengawali percakapan : “ Ada yang bisa saya bantu?”

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap ini, teknik-teknik atau keterampilan kunci meliputi keterampilan mendengar aktif, klarifikasi, pengenalan diri, pemberian penghargaan dan pengertian. Anggota dituntun untuk berbicara secara terbuka tentang apapun yang mereka rasakan saat itu. Gambaran dalam tahap pelaksanaan :

Menceritakan Masalah

* Dari awal kita harus mencari apakah ada problem atau tidak.

* Bagaimana konseli merumuskan problemnya.

* Apakah ini problem satu – satunya.

* Perhatikan perasaan, bukan hanya pikiran.

* Tanyakan semua berdasarkan kacamata konnseli.

Mencari Pemecahan dan alternatif

* Tanyakan dulu pada k;onseli “ apa yang akan dilakukannya?”.

* Menanyakan masa lampau dan apa yang dulu membantunya hingga berhasil.

* Mengajak berandai – andai (dengan beberapa pilihan) dan bermain peran.

c. Tahap Akhir (Terminasi)

Pada tahap ini pemimpin tidak diperlukan lagi. Apabila kelompok telah berjalan secara efektif, maka untuk sekarang kelompok telah bergerak dan dapat menggambarkan potensi-potensi dirinya untuk digunakan dalam kelompok. Pemimpin dapat membantu anggotanya untuk menyimpulkan apa yang telah mereka dapatkan dan menerapkan hal tersebut dalam kehidupan nyata setelah sesi konseling kelompok diakhiri. Dalam tahap akhir ini konselor:

Mengakhiri percakapan

* Rangkuman percakapan, rumusan langkah pertama, dukungan terhadap rencana perilaku, membuat rujukan dan membuat janji bila bertemu lagi.

3. Teknik-teknik Konseling

Teknik-teknik konseling yang dapat diterapkan, antara lain:

v Rapport, yaitu teknik yang bertujuan untuk membuat pendekatan dan hubungan yang baik dengan konseli agar selama proses terapi dapat berlangsung dengan lancar.

v Teknik klarifikasi, yaitu suatu cara konselor untuk menjernihkan dan meminta konseli untuk menjelaskan hal-hal yang dikemukakan oleh kepada konselor.

v Teknik refleksi, (isi dan perasaan) yaitu usaha konselor untuk memantulkan kembali hal-hal yang telah dikemukakan konseli (isi pembicaraan) dan memantulkan kembali perasaan-perasaan yang ditampakkan oleh konseli (perasaan dalam usaha untuk menciptakan hubungan baik antara konselor dengan klien dan menggali atau memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengeksplorasi diri dan masalahnya.

v Teknik “free expression” yaitu memberikan kebebasan kepada klien untuk berekspresi, terutama emosinya, cara kerja teknik ini seperti cara kerja kataris.

v Teknik “silence”, yaitu kesempatan yang berharga diberikan oleh terapis kepada klien untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali pengalaman-pengalaman dan ekspresinya yang lampau. Kesempatan ini dapat diberikan diantara waktu konseling dan dapat berlangsung cukup lama. Jika terlalu lama maka konselor perlu mengambil inisiatif untuk memulai lagi komunikasi dengan konseli.

v Teknik “transference” yaitu ketergantungan konseli kepada konselor. Hal ini dapat terjadi pada awal terapi, tapi bukan merupakan dasar untuk kemajuan terapi. Kemungkinan transference terjadi karena sikap konselor yang memberikan kebebasan tanpa menilai atau mengevaluasi konseli.

Prengantar Teori dan Praktek Konseling Oleh Dr. dr. Limas Sutanto. SpKj (K)

Apakah Konseling itu?
Upaya ampuh membantu klien yang memiliki masalah dalam dunia pikiran, perasaan, dan prilakunya, melalui jalan hubungan klien dan konselor yang berkekutan menerima dan mengerti pengalaman-pengalaman klien, baik pengalaman kini maupun pengalaman masa lampau, bahkan pengalaman masa kanak-kanak.
Dalam jalin hubungan itu konselor yang telah mengolah dan mengelola kepribadiannya sendiri sehingga relatif bebas masalah, menggunakan teori-teori kepribadian dan teknik-teknik spesifik yang colok untuk klien, demi membantu klien bertumbuh kembang, baik dalam aspek pikiran, perasaan, maupun prilakunya sehingga klien dapat mengatasi masalahnya.
Dalam jalinan hubungan itu arah pembantuan semata tertuju dari konselor ke klien dan bukan sebaliknya
Konselor telah memenuhi persyaratan akademik profesional, dan legal yang disepakati oleh kalangan teman sejawat, konselor di negerinya dan mengejawantahkan serta memelihara reputasi etis sesuai dengan kode etik konseling