Perkembangan
1. Solution-focused brief counseling (SFBC) merupakan salah satu pendekatan
konseling postmodern yang paling penting (Corey, 2009). Pendekatan ini didirikan
dan dikembangkan terutama oleh Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg sejak
dekade 1980-an di Brief Therapy Center di Milwaukee Wisconsin Amerika Serikat
(Capuzzi & Gross, 2009; Sharf, 2004).
2. Dalam perkembangannya, SFBC dipengaruhi pendekatan-pendekatan pemberian
bantuan yang telah berkembang saat itu, diantaranya brief therapy yang
dikembangkan Milton Erickson (Gladding, 2009), pendekatan behavior, pendekatan
cognitive- behavior , dan systems family therapy (Seligman, 2006).
3. Pendekatan konseling ini banyak dibutuhkan pada era para konseli dan lembaga-
lemaga pemberian bantuan psikologis menuntut layanan konseling yang singkat dan
efektif. Demikian pula, keterampilan konseling singkat diperlukan konselor yang
bekerja dalam latar pemberian bantuan yang diharapkan memberikan layanan yang
lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat (Gladding, 2009).
4. Pendekatan konseling ini menjadi semakin populer dalam pelayanan konseling
karena kepraktisan, efisiensi, dan kefektivan dalam pembantuan terhadap konseli
(Sciarra, 2004). Disamping itu, sekarang, SFBC merupakan pendekatan konseling
yang paling banyak digunakan oleh praktisi profesi pemberian bantuan (Sperry,
2010).
5. SFBC efektif dalam pembantuan terhadap keluarga, pasangan, para individu, anak-
anak, dan remaja dengan beragam masalah kehidupan (Prochaska & Norcross,
2007).
Hakikat Manusia
Pada dasarnya, SFBC didasarkan pada pandangan yang positif dan optimistik tentang hakikat manusia (Corey, 2009; Gladding, 2009).
1. Manusia adalah makhluk yang sehat dan kompeten. SFBC merupakan pendekatan
konseling yang nonpatologis yang menekankan pentingnya kompetensi manusia
daripada kekurangmampuan, dan kekuatan daripada kelemahannya.
2. Manusia mampu membangun solusi yang dapat meningkatkan kehidupannya.
Manusia memiliki kemampuan menyelesaikan tantangan dalam hidupnya.
Bagaimanapun pengaruh lingkungan terhadap manusia, konselor meyakin bahwa
saat dalam layanan konseling kliennya bahwa mampu menkonstruksi solusi
terhadap masalah yang dihadapinya.
Teori Kepribadian
1. SFBC tidak menggunakan teori kepribadian dan psikopatologi yang berkembang saat ini.
2. Konselor SFBC berkeyakinan bahwa tidak bisa memahami secara pasti tentang penyebab masalah individu.
3. Konselor perlu tahu apa yang membuat orang memasuki masa depan yang lebih baik dan lebih sehat, yaitu tujuan yang lebih baik dan lebih sehat.
4. Individu tidak bisa mengubah masa lalu tetapi ia dapat mengubah tujuannya.
5. Tujuan yang lebih baik dapat mengatasi masalah dan mengantarkan ke masa depan yang lebih produktif.
6. Konselor perlu mengetahui karakteristik tujuan konseling yang baik dan produktif: positif, proses, saat sekarang, praktis, spesifik, kendali konseli, bahasa konseli.
7. Sebagai ganti teori kepribadian dan psikopatologi, masalah dan masa lalu, SFBC berpokus pada saat sekarang yang dipandu oleh tujuan positif yang spesifik yang dibangun berdasarkan bahasa konseli yang berada di bawah kendalinya.
( Prochaska & Norcross, 2007).
Asumsi dan Aturan Dasar
Pelayanan SFBC didasari oleh asumsi dan aturan dasar sebagai berikut.
1. Ada empat asumsi dasar yang penting diperhatikan konselor, yaitu (a) konseling hendaknya memusatkan pada solusi daripada masalah bagi terjadinya perubahan yang bermanfaat, (b) suatu strategi konseling yang efektif ialah menemukan dan mengubah eksepsi/pengecualian (saat-saat individu bebas dari belitan masalah) menjadi solusi, (c) perubahan kecil mengarahkan pada perubahan yang lebih besar, (d) konseli memiliki sumber-sumber yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, (e) konselor hendaknya memusatkan pada pengembangan tujuan bermakna yang dibangun konselor dan konseli dengan tekanan pada apa yang diharapkan konseli daripada ide/pendapat konselor (Charlesworth, J.R. & Jackson, 2004).
2. Aturan dasar sebagai pengarah konselor dalam melaksanakan konseling, yaitu konselor hendaknya (a) menghindari penjelahan/ekplorasi masalah, (b) efisien dalam pelayanan konseling, konselor hendaknya mencapai tujuan secara optimal dengan jumlah pertemuan intervensi yang paling sedikit, (c) menyadari bahwa tilikan/pemahaman masalah dan penyebabnya tidak memberikan solusi karena itu konselor hendaknya memusatkan pada tindakan daripada pembahasan masalah yang dialami konseli, (d) memusatkan pada saat sekarang dan mendatang. Jika konseli menyadari bahwa saat ini solusi itu sudah ada pada dirinya maka dapat meningkatkan rasa percaya dirinya. Jika konseli berpikir tentang apa yang akan terjadi di masa depan dan sadar bahwa solusi tersedia maka dapat membangun keyakjinan bahwa segala sesuatu akan lebih baik (Charlesworth & Jackson, 2004).
Teori Proses Konseling
1. Berfokus pada solution talk daripada problem talk.
2. Proses konseling diorientasikan bagi paningkatan kesadaran eksepsi terhadap pola masalah yang dialami dan pemilihan proses perubahan secara sadar.
3. Peningkatan kesadaran eksepsi terhadap pola masalahnya dapat menciptakan solusi.
4. Pemilihan proses perubahan dapat menentukan masa depan kehidupan konseli
5. Beberapa petunjuk pilihan yang memandirikan: (1) if it works, don’t fix it. Choose to do more of it, (2) if it works as a little, choose to build on it, (3) if nothing seems to be working, choose to experiment, including imagining miracles, dan (4) choose to approach each session as if it were the last. Change starts now, not next week.. (Prochaska & Norcross, 2007
Hubungan Konseling
1. Kolaborasi antara konselor dan konseli dalam membangun solusi bersama.
2. Kolaborasi menekankan solusi masalah konseli dan teknik konseling yang digunakan konselor daripada hubungan konseling.
3. Konselor sebagai ahli tentang proses dan struktur konseling yang membantu konseli membangun tujuannya menuju solusi yang berhasil.
4. Konseli sebagai ahli mengenai tujuan yang ingin dibangun.
5. Konselor aktif dalam memindahkan fokus secepat mungkin dari masalah pada solusi.
6. Konselor mengarahkan konseli mengeksplorasi kelebihan dan membangun solusi.
7. Konselor mendorong inisiatif konseli dan membantu melihat dan menggunakan
tanggung jawabnya dengan lebih baik (Prochaska & Norcross, 2007)
Teknik-Teknik Konseling
1. Exception-finding questions (Pertanyaan penemuan pengecualian): pertanyaan tentang saat-saat dimana konseli bebas dari masalah. Penemuan eksepsi membantu konseli memperjelas kondisi perubahan, memiliki kekuatan dan kemampuan menyelesiakan masalah, memberikan bukti nyata peneyelesaian dan membantu konseli menemukan kekuatan dirinya yang terlupakan. Misalnya, ”Kapan kamu dapat mengelola masalah ini dengan saksama?’ ”Kapan kamu berbuat yang berbeda dari yang sekarang?” ”Coba kemukakan kepada saya saat-saat kamu bebas dari masalah!”
2. Miracle questions (Pertanyaan keajaiban): pertanyaan yang mengarahkan konseli
berimajinasi apa yang akan terjadi jika suatu masalah yang dialami secara ajaib terselesaikan. Teknik ini membantu memperjelas tujuan dan menyoroti eksespsi masalah dengan merangsang konseli untuk mengimajinasikan suatu solusi dan memberantas hambatan dalam penyelesaian masalah serta membangun harapan terhadap terjadinya perubahan. Misalnya, konseli ditanya,”Bayangkan pada suatu malam, ketika kamu sedang tidur, terjadi suatu keajaiban dan semua masalahmu terselesaikan. Bagaimana kamu tahu bahwa masalahmu terpecahkan? Apa yang kamu lakukan saat itu yang menujukkan bahwa masalahmu terselesaikan dengan tuntas?
3. Scaling questions (Pertanyaan berskala): pertanyaan yang meminta konseli membuat yang abstrak menjadi konkret, yang samar menjadi jelas dengan mengangkakan kekuatan, masalah, keadaan, atau perubahan konseli. Misalnya pernyataan konselor, ”Pada suatu skala dengan rentang 1 sampai 10, dimana 1 berarti kamu tidak memiliki kendali sama sekali terhadap masalahmu dan 10 berarti kamu memiliki kendali penuh terhadap masalahmu, lalu pada rentang angka yang mana kamu menempatkan dirimu dalam skala tersebut? dan ”Apa yang kamu perlukan agar kamu dapat naik satu angka dalam skala tersebut?”
4. Compliments (Penghargaan/Pujian): pesan tertulis yang dirancang untuk memberikan penghargaan dan pujian atas kelebihan, kemajuan, dan karakteristik positif bagi pencapaian tujuan konseli. Teknik ini digunakan sebelum konseli diberi tugas menjelang akhir pertemuan konseling.
5. Presession change question (Pertanyaan perubahan prapertemuan) ialah pertanyaan yang dimaksudkan untuk menemukan eksepsi atau mengeksplorasi solusi yang diupayakan konseli. Tujuannya ialah menciptakan harapan terhadap perubahan, menekankan peran aktif dan tanggung jawab konseli dan menunjukkan bahwa perubahan terjadi di luar ruang konseling. Misalnya, konselor bertanya, ”Sejak pertemuan yang lalu, apakah kamu melihat adanya perubahan pada dirimu?” atau ” Sejak pertemuan yang lau apakah kamu menemukan cara baru dalam melihat masalah yang kamu alami?” atau ”Sejak percakapan kita yang lalu di telepon, apa perubahan yang kamu alami sejauh ini?”
6. Formula first session task (Formula tugas pertemuan pertama): Format tugas rumah yang diberikan konselor kepada konseli untuk dikerjakan antara pertemuan pertama dan pertemuan kedua. Misalnya, Konelor mengatakan,”Antara sekarang dan pertemuan yang akan datang, saya harap kamu dapat mengamati apa yang terjadi pada hubunganmu dengan teman-teman sekelasmu yang kamu ingin terus pelihara sehingga kamu dapat menjelaskannya kepada saya pada pertemuan yang akan datang.” Pada awal pertemuan konseling kedua, konselor menanyakan apa yang telah diamati konseli sekaligus menanyakan apa yang ingin terus dipelihara dalam hubungan dengan teman-teman sekalasnya.
Tahap-Tahap Konseling
A. Pembinaan Hubungan (Establishing relationship)
1. Pembinaan hubungan diperlukan untuk menjalin hubungan baik dan kolaboratif
antara konselor dan konseli bagi pencapaian perubahan yang diharapkan.
2. Dalam pembinaan hubngan baik tersebut, konselor menunjukkan perhatian,
penerimaan, penghargaan, dan pemahaman terhadap konseli sebagai individu yang
khas.
3. Salah satu cara untuk segera berinteraksi pada awal pertemuan konseling ialah
melakukan percakapan topik netral yang dapat membangun kesadaran konseli atas
kelebihan dan sumber-sumber dirinya bagi pengembangan solusi masalah yang
dihadapinya..
4. Perubahan merupakan proses interaksi karena itu hubungan kolaboratif konselor
dan konseli sangat penting. Melalui kolaborasi tersebut konselor dapat memhami
dunia konseli sehingga dapat bersama-sama mengkonstruksi masalah yang dapat
diselesaikan sedari awal hubungan konseling.
B. Identifikasi Masalah Yang Dapat Dipecahkan (Identifying a solvable complaint)
1. Identifikasi masalah merupakan salah satu langkah yang sangat esesnsial dalam
konseling karena dapat memfasilitasi pengembangan tujuan dan intervensi serta
meningkatkan perubahan.
2. Konselor dan konseli mengkonstruksi citra masalah yang menempatkan solusinya
dalam kendali konseli. Misalnya, konstruksi masalah klien berkaitan dengan
“Menjadikan teman sebangku menghentikan penghinaannya.” Konstruksi ini berada di luar kendali konseli dan sulit diubah dengan segara. Namun konstruksi masalah “Saya akan tenang dan membela diri saat teman sebangku menghina saya.” berada dalam kendali konseli.
3. Konselor menggunakan pertanyaan sedemikan rupa sehingga mengkomunikasikan
optimisme dan harapan untuk berubah dan memberdayakan bagi konseli. Masalah
yang dialami konseli sebagai sesuatu yang normal dan dapat diubah. Misalnya,
konselor bertanya kepada konseli ”Setelah kita berbincang tentang hobimu, “Apa
yang membuatmu menjumpai Bapak/Ibu di ruang konseling ini?” daripada
”Masalah apa yang mengagangumu?” atau konselor bertanya ”Apa yang akan kamu
selesaikan/ubah?” daripada pertanyaan ”Apa yang dapat saya bantu bagimu?”
4. Konselor menggunakan teknik accepatance, summarization, klarifikasi, pertanyaan
terbuka, dan teknik-teknik dasar komunikasi konseling yang lain untuk memahami
kondisi konseli secara jelas dan spesifik. Misalnya, konselor bertanya, ”Bagaimana
kamu dapat membuat dirimu sedih seperti sekarang ini?” dan ”Bagaimana cara
belajarmu sehingga kamu mendapatkan nilai-nilai pelajaran yang kurang
memuaskanmu?”
5. Konselor SFBC acapkali menggunakan scaling questions untuk menetapkan data
dasar kondisi konseli dan memfasilitasi identifikasi kemungkinan-kemungkinan dan
kemajuan konseli dalam konseling.
C. Penetepan Tujuan (Establishing goals)
1. Konselor dan konseli berkolaborasi menentukan tujuan yang spesifik, dapat diamati,
terukur, dan konkret.
2. Tujuan pada dasarnya dapat berbentuk salah satu dari bentuk tujuan berkut (a)
mengubah apa yang dilakukan dalam situasi problematik, (b) mengubah pandangan
atau kerangka pikir tentang situasi masalah yang dihadapi, dan (c) mengases
sumber-sumber, solusi, dan kelebihan-kelebihan yang dimiliki konseli.
3. Pertanyaan yang menyiratkan kesuksesan sangat penting seperti dalam penetapan
tujuan konseling. Misalnya “Apa yang akan menjadi penanda pertama bahwa kamu
telah berubah?” “Bagaimana cara kamu tahu bahwa konseling bermanfaat bagimu?”
“Bagaimana kamu dapat menceritakan bahwa kamu telah berubah?”
4. Pembahasan rinci tentang perubahan positif dapat mendorong untuk memperoleh
pandangan yang jelas tentang solusi yang tepat bagi konseli.
5. Konselor SFBC sering menggunakan miracle questions untuk menetapkan tujuan
konseling. Pertanyaan-pertanyaan yang menyertai miracle questions
memungkinkan konseli berimajinasi bahwa masalahnya terpecahkan, menimbulkan
harapan, memfasilitasi pembahasan bagaimana cara agar keajaiban tersebut terjadi
dalam kenyataan. Respons individu terhadap miracle questions biasanya
memberikan masukan bagi konselor dengan berbagai solusi yang dapat digunakan
untuk membantu konseli menyelesaikan masalahnya.
D. Merancang dan Melaksanakan Intervensi (Designing and implementing
intervention)
1. Intervensi dirancang untuk menghambat pola-pola perilaku bermasalah dengan
menunjukkan alternatif cara mereaksi masalah tersebut.
2. Konselor memadukan pemahaman dan kreativitasnya dalam menggunakan strategi
konseling untuk mendorong terjadinya perubahan meskipun sedikit.
3. Pertanyaan yang sering digunakan selama tahap ini adalah “Perubahan apa yang
telah terjadi? “Apa yang telah berhasil di masa lalu ketika kamu menyelesaikan
masalah yang mirip dengan masalah ini? “Bagaimana kamu membuat hal tersebut
menjadi kenyataan?” “Apa yang ingin kamu lakukan agar hal tersebut terjadi lagi?”
4. Alternatif intervensi yang telah dirancang melalui pertanyaan-pertanyataan tersebut
kemudian dilaksanakan dalam kehidupan keseharian konseli sebagai bagian hidup
mereka.
5. Konseli diberi kesempatan mengaplikasikan alternative intervensi dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi antarsesi pertemuan konseling. Penyesuaian
dilakukan jika diperlukan pada setiap awal permulaan sesi konseling untuk
memastikan bahwa konseli dapat secara efektif membuat kemajuan terhadap
perubahan posisitif yang diharapkan.
E. Terminasi, Evaluasi, dan Tindak Lanjut
1. Konselor menggunakan teknik scaling questions untuk mengetahui perubahan
konseli dibandingkan dengan perubahan awal konseling.
2. Setelah masalah konseli terselesaikan dengan memuaskan maka mereka dapat
mengakhiri konseling.
3. Konselor mendorong konseli untuk menjadi konselor bagi dirinya sendiri dan
mengaplikasikan keterampilan pemecahan masalahnya terhadap masalah-masalah
yang baru yang dihadapinya.
4. Konselor melakukan tindak lanjut pelayanan konseling dengan mengikuti
perkembangan perubahan konseli.
DAFTAR PUSTAKA
Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2009. Introduction to the Counseling Profession.
Columbus, Ohio: Pearson.
Charlesworth, J.R. & Jackson, C.M. 2004. Solution-Focused Brief Counseling: An
Approach for Professional School Counselors. Dalam Erford, B.T. (ed.).
Professional School Counseling: A Handbook of Theories, Programs and
Practices. Austin, TX: Caps Press.
Corey, G. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont,
California: Brooks/Cole.
Gladding, S.L. 2009. Counseling: A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson
Education, Inc.
Kelly, M.S., Kim, J.S., & Franklin, C. 2008. New York: Oxford University Press.
Sperry, L. 2010. Highly Effective Therapy. New York: Roudledge.
Nystul, M.S. 2006. Introduction to Counseling: An Art and Science Perspective. Boston: Pearson.
Prochaska, J.O. & Norcross, J.C. 2007. Systems of Psychotherapy. Belmont, California: Brooks/Cole.
Sciarre, D. 2004. School Counseling. Belmont, CA: Brooks/Cole-Thomson Learning.
Seligman, L. 2006. Theories of Counseling and Psychotherapy. Columbus, Ohio: Pearson Merril Prentice Hall.
Sharf, R.S. 2004. Theories of Psychotherapies and Counseling: Concepts and Cases. Pacivic Grove, CA: Brooks/Cole.
No comments:
Post a Comment