Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

June 11, 2011

Hambatan Konseling Lintas Bidaya


Salah satu kasus yang paling sulit yang pernah saya hadapi adalah ketika menghadapi keluarga Meksiko Amerika di Kalifornia. M. Fernando adalah seorang pria berusia 56 tahun dan baru saja migrasi ke Amerika Serikat. Dia menikah dengan wanita berusia 35 tahun yang bernama Refugio. Mereka dikaruiai 10 orang anak. Empat anak yang hidup dengan mereka, 3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Fernando dilahirkan disebuah desa kecil di Meksiko hingga 3 tahun lalu dia pindah ke kalifornia. Dia tidak mengenal banyak tentang Kalifornia. Dia dating ke Kalifornia selama musim panen.
Keluarga Fernando menyewa sebuah rumah tua, kecil, tidak bercat di lingkungan yang kumuh. Mereka tidak memiliki mobil, dan angkutan umum tidak yang lewat jauh dari rumahnya. Sementara kehidupan mereka di bawah standar kemiskinan. Namun kehidupan mereka masih lebih baik dari keluarga mereka di Meksiko,
Komplain yang dihadapinya adalah dia mendengan suara yang tidak menyenangkan. Bahkan ada oaring yang mengancam akan membunuhnya dan sesuatu yang buruk lainnya yang bakal terjadi. Dia menjadi takut untuk meninggalkan rumah, kondisi kesehatannya yang menurun, dan akhirnya tidak punya pekerjaan.
Ketika keluarga Fernando memasuki klinik, saya diminta menemui mereka karena therapist yang paham bahasa mereka sedang sakit. Saya berharap Fernando dan Refugio dapat berbahasa Inggris. Untunglah 2 dari anak tertua mereka mengetahui bahasa Inggris. Sepertinya yang lebih muda lebih fasih bahasa Inggrisnya. Saya dapat menangkap bahawa mereka agak keberadaan anak kedua mereka. Akibat yang terjadi adalah komunikasi yang kami lakukan menjadi terhambat. Sehingga pada akhirnya anak mereka dapat dihadirkan kembali.
Dari perbincangan kami pada sesi pertama, saya mendapat gambaran bahwa Fernando sangat terancam. Dia nampak ketakutan, tensi, dan mungkin berhalusinasi. Saya menyarankan kepada Refigio untuk membantu suaminya, tetapi dia nampak keberatan. Saya dapat merasakan kekawatiran dan ketakutan sang istri tentang suaminya. Saya mengatakan untuk datang kembali pada minggu berikutnya. Refugio mengatakan ini menjadi sulit karena Fernando takut meninggalkan rumah. Saya mengatakan kepada Fernando,”Fernando, saya tahu betapa beratnya masalah ini bagimu untuk dating kemari, namun kita sangat ingin membantumu. Bagaimana, bisa datang sekali lagi? Dr. Escobedo (terapist penerjemah) akan menemani kita secara langsung.”
Keluarga Fernando tidak kembali lagi pada sesi berikutnya. Ketidakhadiran mereka sangat mengganggu saya. Sejak saat itu saya berbicara dengan para beberapa ahli psikologi Latin yang mempunyai pemahaman multi budaya. Saya bekerja dengan para psikolog Latin dengan harapan Fernando datang di tempat praktek kami.
Contoh di atas menggambarkan pentingnya pemahaman multibudaya untuk menjawab serangkaian pertanyaan:
  1. Apakah kesalahan yang serius bagi terapis untuk menemui keluarga Fernando ketika dia tidak bisa bahasa Spanyol?
  2. Sementara akan menjadi ide yang baik untuk mengikutsertakan salah satu dari anak mereka untuk sebagai penerjemah, apakah membantu kesenjangan budaya? Apakah dia dapat menafsirkan? Kendala apa yang bakal terjadi?
  3. Terapis mencoba melakukan pendekatan informal. Apakah ada pengaruh apabila terapis memanggil nama pertama mereka atau nama kedua mereka?
  4. Terapis melihat kasus Fernando adalah masalah serius. Penjelasan yang bagaimana yang dia harapkan?
  5. Mengetahui bahwa Fernando menghadapi permasalahan dalam meninggalkan rumah, haruskah terapis mempertimbangkan treatmen lain? Jika benar, apakah itu?
Menjawab pertanyaan diatas sangat sulit untuk dipecahkan. Tantangannya adalah a) memahami nilai budaya, kehidupan budaya klien yang berbeda; b) membebaskan mereka dari kondisi budaya tentang apa yang mereka percaya untuk mendapatkan terapi yang benar; c) mengembangkan sensifitas budaya terhadap klien; dan d) memainkan peranan baru dalam proses membantu. Tiga factor yang menjadi hambatan : kesenjangan social, kesalahpahaman bahasa, dan kesenjangan budaya.
Pertama, reaksi Fernando yang berlebihan dan halunisasinya diakibatkan beberapa hal. Ada kemungkinan alasan sosio politik, budaya, atau bilologi. Apakah ketakutannya disebabkan oleh deportasi, kreditor, atau polisi? Beberapa penelitian menunjukkan factor budaya menjadi alas an yang masuk akal ketika masyarakat yang berbahasa Spanyol menghadapi suara atau melihat peristiwa. Kemungkinan yang lain adalah kehidupan kerja Fernando.
Lebih lanjut, praktek kesehatan mental menggambarkan sebagai aktivitas kelompok Putih kelas menengah yang berjuang dalam melawan kemiskinan. Sebagai contoh, keluarga Fernando tergolong miskin. Mereka tidak memiliki mobil, angkutan tidak lewat dekat rumahnya. Klien miskin mengalami kesulitan untuk mendapat bantuan psikologi, selain karena sesi yang tidak menyenangkan juga karena biaya yang terasa mahal.
Kedua, hambatan bahasa menjadi kendala yang dihadapi klien. Klien harus menyampaikan fikiran dan perasaan mereka dalam bahasa lisan. Permasalahan selain pengguaan bahasa Inggris yang standar, juga kendala dalam aksen dan pengucapan. Peenggunaan penerjemah bisa menjadi solusi dalam bahasa namun apakah penerjemah dapat menyampaikan dengan akurat dan menafsirkan makna yang disampaikan klien?
Ketiga, permasalahan budaya nampaknya menjadi masalah dalam kasusnya Fernando. Terapis kesulitan memanggil nama klien dangan Pak M atau Fernando. Pada budaya Negara yang satu, memanggil nama pertama menunjukan keakraban, namun di tempat lain dianggap tidak sopan.
Mari kita lihat contoh lain untuk lebih memahapi hambatan multi budaya dalam konseling/terapi.
Beberapa tahun yang lalu saya diminta membantu seorang panitia pelayanan mahasiswa di sebuah universitas negeri untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadikan layanan mereka lebih relevan pada kelompok mahasiswa minoritas. Mereka mendapat tekanan dari kelompok minoritas agar tidak terjadi permasalahan rasial. Director pusat pelayanan konseling telah meminta para kelompok minoritas untuk melakukan konseling namun usaha ini tidak berjalan mulus. Penelitian terkini yang dilakukan universitas menunjukkan angka 16% dari Asia Amerika, 17% dari Afrika Amerika, 3% berasal dari Latin, dan kurang dari 1% adalah Amerika India. Sangar sedikit kelompok minoritas menggunakan fasilitas pelayanan.
Dari pengamatan saya bahwa permasalahn terbanyak pada pelayanan klinis (konseling personal/emosional) dan pelayanan secara face to face. Saat konselor ditanya model pelayanan yang disukai, 85% mendata klinis, sementara hanya 15% memilih permasalah akademik/jurusan. Lebih lanjut, dari 28 staff yang tersedia, hanya tiga orang berasal dari kelompok minoritas.
Dalam contoh kasus ini, ada beberapa alas an mengapa pusat konseling sedikit memberikan nilai. Pertama, karena sebagian besar staff adalah kelompok putih. Kelompok minoritas yang ada hanyalah seorang konselor Afrika Amerika, tetapi yang lainnya adalah anggota staf administrasi dan seorang penjaga perpustakaan Asia Amerika. Kekurangan kelompok minoritas yang professional dalam pusat konseling menjadi kendala dalam memberikan pelayanan. Persepsi dari sebagian besar kelompok minoritas adalah mereka tidak memahami perbedaan budaya yang terdapat di lapangan.
Kedua, bagaimana pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat kampus juga penting berkaitan dengan perbedaan budaya. Kasus ini menjadi jelas ketika pelayanan dilakukan dengan cara tradisional, one by one: konselor menerima klien di kantor mereka. Pelayan model begini nampaknya kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan cara yang lain. Pada kasus pertama yang terjadi pada Fernando, dia beradaptasi budayanya konselor, bukan konselor beradaptasi pada budaya klien. Ini akan lebih baik bila konselor beradaptasi dengan budaya klien. Banyak kelompok minoritas menganggap bahwa kenseling secara face to face di kantor terkesan formal, terkekang, dan aneh. Ketika konselor mendatangi tempat dimana klien berada, hal ini mengindikasikan adanya komitmen dan minat pada klien. Menurut pandangan nontradisoanal, bahwa konseling tidaklah hanya duduk di dalam kantor tetapi juga ikut serta dalam permainan basket atau bilyard dengan klien dalam lingkungan mereka. Sayangnya, sebagian besar pelatihan konseling dan klinis tidak mengikutsertakan program ini. Konselor menganggap kegiatan ini tidak professional.
Ketiga, pusat konseling dalam contoh ini dikenal dengan konselong sosio-emosional. Sekali lagi, ini bukanlah aneh dalam sebagian besar dalam program pelatihan pendidikan konselor. Sering, calon konselor lebih intens pada isu personal-emosional (psikiatris) dibandingkan dengan isu penjurusan atau akademik. Namun nampaknya banyak kaun minoritas lebih tertarik pada masalah akademik, penjurusan dan karir mereka. Konselor beranggapan bahwa dengan memberikan bimbingan akademik kurang bergengsi, sehingga mereka mulai menawarkan pelayanan personal-emosional. Hasilnya adalah banyak kaum minoritas tidak percaya pada kaum putih sehingga mereka lebih menggunakan pelayanan untuk masalah penjurusan dan karir.
Ciri Konseling/Terapi
Konseling dan psikoterapi secara hukum dipandang sebagai hubungan, komunikasi, dan pengaruh sosial antar pribadi. Kedua belah pihak harus mampu mentransfer informasi baik secara verbal maupun non verbal. Permasalahan muncul apabila keduanya berasal dari ras atau etnis yang berbeda.
Pada pembahasan ini kita foklus pada nanalisa formal bagaimana hal di atas mengganggu komunikasi atau mempengaruhi hubungan terapi. Kita bicarakan implikasi terhadap terapi dan munculnya skema konsep yang dapat digunakan untuk mebandingkan bagaimana bahasa, budaya, dan tingkat sosial digunakan untuk menentukan intervensi yang tepat. Perbandingan analisa szangat membantu sebagai alat untuk menentukan pendekatan konseling yang tepat—tidak hanya untuk perbedaan budaya tetapi juga popuilasi kusus lainnya (wanita, gay/lesbi, cacat, lansia)
Ciri Umum Konseling/Terapi
Di Amerika setikat, budaya kaum putih keturunan Eropa Amerika, menentukan beberapa nilai dalam melakukan proses tindakan terapi. Semua teori konseling dan psikoterapi dipengaruhi oleh asumsi bahwa para teoritis membuat tujuan dalam terapi, metodoli yang digunakan untuk mencapai perubahan, dan definisi yang dipakai adalah kesehatan mental atau gangguan mental. Konseling dan terapi secara tradisional telah dijadikan konsep oleh masyarakat Barat.
Psikoterapi dan konseling masih digunakan oleh kaum putih kelas menengah dan kelas atas. Sehingga klien yang berasal dari budaya yang berbeda masih belum begitu nampak. Terapis nampaknya lebih suka dengan klien yang masih muda, enerjik, menarik, pandai, dan sukses. Sindrom ini mengabaikan kelompok minoritas. Yang secara sosioekonomik lebih rendah. Sindiran kasar disampaikan oleh Sundberg (1981) bahwa terapi tidak diperuntukkan bagi kaum pendian, jelek, tua, miskin, dan beda budaya. Ada tiga cirri utama dalam konseling dan psikoterapi yang barangkali menjadi akar terjadinya konflik terhadap kelompok dengan latar belakang budaya berbeda.
Pertama, terapis sering berharap bahwa klien yang datang dengan tingkat keterbukaan yang tinggi, berpikiran psikologi, atau berkelas. Sebagian besar teori membicarakan tentang bagaimana mengakomodasi verbal, emosi, dan ekspresi diri. Kedua, secara tradisional, terapi adalah kegiatan face to face perorangan yang mengharap klien berbicara atau membicarakan aspek kehidupannya. Individu yang tertutup menjadi masalh dalam kegiatan ini. Ketiga, konseling atau terapi kadang membingungkan. Klien dipaksa berbicara semetara konselor hanya mendengarkan dan memberi respon.
Ada empat factor yang diidentifikasi dalam terapi. a) orientasi monolog, b) menekankan pada tujuan jangka panjang, c) penekanan perbedaan antara jiwa dan raga, dan d) penekanan pada hubungan sebab dan akibat. Selanjutnya, karena terapi biasanya terisolasi dari lingkungan klien dan kontak sangat singkat (berlangsung selama 50 menit, sekali seminggu), maka secara sebaiknya diagendakan solusi jangka panjang.
Hal lain yang terlupakan adalah asumsi implisit antara kesehatan jiwa dan raga atau gangguan jiwa dan raga. Banyak klien yang mempunyai budaya berbeda memiliki kerancuan dalam membedakannya. Sebagai akibatnya, timbul masalah dalam terapi.
Ornstein membagi fungsi kerja dalam dua bagian, otak kiri dan otak kanan. Otak sebelah kiri bekerja secara linier, rasional, dan proses kognitif. Otak kanan lebih condong pada intuisi, perasaan, dan orientasi pengalaman. Ketika keduanya dijalankan secara terpisah-pisah, makan akan mempengaruhi fungsi kita sebagai manusia. Dia menyebutkan bahwa budaya barat lebih condong menggunakan otak kiri dibandingkan otak kanan yang dianggap kurang legitimasinya.
Kesimpulannya, ciri umum dalam konseling/terapi dalam dilihat dalam tiga kategori:
  1. Nilai keterikatan budaya: individual centered, ekspresi verbal/emosional/tingkah laku, pola komunikasi dari klien ke konselor.
  2. Nilai keterikataan kelas/status: waktu yang ketat (50 menit sekali atau dua kali seminggu) rancu dan pendekatan ke masalah tidak terarah, dan mencari solusi jangka panjang.
  3. Variabel bahasa: menggunakan bahasa Inggris standard dan menekankan pada komunikasi verbal.
Sumber Masalah dan Salah Paham dalam Terapi
Nilai Keterikatan Budaya
Budaya meliputi cita-cita, keyakinan, skill, tool, alat, kebiasaan, dan institusi yang didapat dari tempat dimana dia dilahirkan. Penulis telah menekankan perlunya pakar social membahas aspek-aspek positif dalam multibudaya, dimana masalah timbul pada kelompok minoritas. Istilah orang marginal pertama disampaikan oleh Stonequist dan mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk mengidentifikasi etnis ganda. Ras/etnis minoritas ditempatkan diurutan bawah dibandingkan dengan kelompok mayoritas. Sehingga mereka dianggap abnormal, atau sakit.
Banyak pakar social percaya bahwa psikologi dan terapi ditetapkan hanya untuk menetapkan status quo. Para terapis dipandang sebagai alat untuk agen mentransfer budaya yang dikontrol oleh nilai-nilai Barat.
1. Focus pada Individu
Sebagian besar bentuk konseling dan psikoterapi menerapkan individual centered. Individualisme, otonomi, dan kemampuan menjadi diri sendiri dianggap sebagai sikap yang sehat dan tujuan yang diharapkan. Kalau melihat perkembangan manusia yang disampaikan oleh sebagian besar teori Eropa-Amerika, kita tahu bahwa mereka menekankan pada “individualisasi” sebagai perkembangan yang sehat dan normal. Pederson mencatat bahwa tidak semua budaya memandang individualisme sebagai orientasi yang positif tetapi dianggap sebagai cacat dimana tujuan sepiritual adalah penting.
Dalam banyak budaya dan kelompok masyarakat menekankan pada kekuatan keluarga, kelompok atau masyarakat. Dalam budaya Asia Amerika, identitas seseorang dihubungkan dengan keluarga konstilasi. Artinya sesorang bertindak berdasarkan kebiasaan atau hokum keluarga. Dengan demikian dia tidak bisa menjadi diri sendiri.
Dalam budaya menganggap kolektifitas dipandang lebih baik dari pada individualism. Contoh, orang Asia Amerika menyapa dengan,”Bagaimana kabar keluargamu.” Sangat kontras dengan orang Amerika asli menyapa sesame dengan, “Apa kabarmu?” Yang pertama menekankan pada kelompok dan yang kedua menekankan pada perpektif individu.
Ekspresi sikap dalam terapi sangat mempengaruhi dalam orientasi. Konselor dan terapis yang gagal membedakan antara penggunaan kolektifitasan dan individualisme akan menghadapi masalh dalam terapi. Banyak klien Asia yang mengatakan saya tidak dapat menyelesaikan masalah saya sendiri, saya perlu membicarakannya dengan keluarga. Bagi sebagian orang yang lain ini dianggap tidak dewasa. Setelah itu, terapi ditujukan untuk membantui seseorang dapat menyelesaikan msalah klien sendiri dengan cara yang “dewasa” dan “bertanggung jawab.”
2. Ekspresi verbal/Emosional/Tingkah laku
Banyak konselor dan terapis menganggap ketiga ekpresi diatas sangat penting. Klien perlu menyampaikan perasaan dengan bahasa verbal, mengekspresikan perasaan tanpa beban dan punya hak untuk duduk atau berdiri.
Karakter di atas lebih banyak terjadi pada budaya Amerika. Sementara budaya Jepang, misalnya, anak ditanamkan untuk tidak berbicara kalau belum diperbolehkan untuk berbicara. Pola komunikasi condong dalam bentuk vertikal. Dari status yang lebih tinggi ke status yang lebih rendah. Dalam situasi terapi, klien Jepang menganggap terapis adalah orang yang lebih tua, bijaksana, dan posisinya lebih tinggi sehingga responnya lebih pendiam. Sayangnya, terapis menganggap klien semacam ini sebagai orang yang kurang pintar dan tidak dapat berkomunikasi.
Terapis berharap klien mengeksperiskan perasaan sepuasnya ketika terapi. Namun bagi Asia mengganggap bahwa kematangan dan kebijakan seseorang diasosiasikan dengan kemampuan seseorang mengontrol emosi di depan public, baik ketika sedang jatuh cinta maupun depresi. Sayangnya, terapis tidak paham dengan budaya ini sehingga klien dianggap tertutup, kurang spontan dan repressive.
Terapis yang mengandalkan ekpresi verbal, emosional, dan tingkah laku berarti mereka tidak sadar bahwa mereka sedang menggunakan budaya mereka sendiri. Ini disebut dengan cirri konseling arogan tidak hanya kepada nilai status social yang lebih rendah tetapi juga pada budaya lain. Wood mengingatkan bahwa terapis perlu memahami ketrampilan yang dimiliki oleh klien.
3. Cara Pandang
Pendekatan ini perlu dilakukan untuk memahami dinamika dan penyebab masalah. Kita menyadari bahwa pendekatan tidak dinilai oleh mereka yang punya budaya berbeda. Mereka yang berasal dari social ekonomi rendah lebih memikirkan ,”Dimana saya mendapat pekerjaan?” “Bagaimana saya memberi makan keluarga saya?’ atau “Bagaimana saya bisa mengobatkan anak saya ke dokter?”
Pertama, banyak kelompok budaya menilai bahwa terlalu banyak hal yang dipikirkan menyebabkan masalah. Dalam penelitian terhadap orang cina di San Fransisko menyatakan bahwa jalan menuju jiwa yang sehat adalah “hindari terlalu banyak pikiran.” Saran ini disampaikan oleh orang tua yang menasehati anaknya yang sedang frustasi. Dapat dimengerti kenapa orang menjadi pemarah karena terlalu banyak pikiran. Cara orang Asia tradisional adalah tetap sibuk dan jangan dipikirkan masalah yang ada. Pikirkan keluarga dan jangan pikirkan diri sendiri.
Kedua, banyak ahli psikologi dari ras/etnis minoritas merasa bahwa cara pandang adalah nilai diri sendiri. Menurut asumsi psikoanalitik kuno bahwa ketika seseorang memahami konflik mereka sendiri, maka tingkah laku atau sympton akan berubah atau hilang.
4. Keterbukaan dan Kedekatan
Sebagian besar konseling/psikoterapi menekankan pada kemampuan kedekatan dan ketebukaan. Sementara orang yang tidak memiliki keterbukaan dalam konseling dan psikoterapi dipandang negative atau paranoid. Ada dua permasalahan kenapa seseorang mengalami kesulitan dalam ketebukaan dan kedekatan.
Pertama, permasalah relevansi kedekatan personal atau social dianggap masuk akal karena kesulitan tidak hanya terpancar pada diri sendiri tetapi juga pada seluruh keluarga. Sehingga keluarga berpengaruh besar pada klien Asia Amerika dibandingkan orang lain atau pihak luar. Seorang terapis yang berhadapan dengan klien dari kelompok yang berlatar belakang minoritas menganggapnya pemalu, pendiam, atau tertutup. Ini berbeda dengan standar Barat.
5. Empirisme Ilmiah
Konseling dan psikoterapi di budaya Barat dan masyarakat segaris dengan ilmu fisik. Masyarakat barat menyebutnya dengan metode ilmiah yang memasukkan tujuan, rasionalisasi, pikiran linier. Kita sering mendengar ungkapan terapis yang obyektif, netral, rasional, dan berfikiran logis. Terapis menggunakan cara problem solving linier dan evaluasi kuantatif yang melibatkan tes psikodiagnosis, tes intelejen, penemuan personalitas, dan sebagainya.
Nampaknya cara yang dominan dalam tanya jawab tentang kondisi seseorang di masyarakat Amerika lebih dengan metode ilmiah. Yang selanjutnya diberi nama eksperimen. Di perguruan tinggi kita sering mendengar bahwa untuk menentukan hubungan sebab akibat adalah dengan eksperimen. Dengan menentukan variable dependen dan independen dan mengontrol variable asing, kita dapat menguji hipotesa sebab akibat. Sementara penelitian korelasi, penelitian histories, dan pendekatan lain dianggap menggambarkan “ilmiah kita”.
6. Perbedaan antara Fungsi Mental dan Raga
Banyak budaya dari Amerika Indian, Asia Amerika, dan Negro mempunyai pemahaman yang berbeda tentang kesehatan mental, gangguan mental, dan adaptasi. Masalah non fisik biasanya dibawa ke pendeta atau dokter. Harapannya, ketika mereka datang ke terapis juga diperlakukan dengan cara yang sama. Solusi cepat berupa saran atau obat. Ketika ada seorang Dokter Medical (MDs) dan bukan beregelar PhDs ditanya oleh oleh ayahnya, apakah pasien membayarmu karena mereka duduk dan ngobrol sama kamu?
7. Kerancuan
Aspek situasi terapi yang rancu dan tidak terstruktur mengakibatkan klien tidak nyaman. Peerbedaan budaya yang tidak dipahami dalam terapi menjadikan proses terganggu. Akibat yang muncul seperti kekhawatiran dan kebingungan. Contoh:
Maria W. merasa tidak nyaman daan khawatir pada interview pertama, yaitu konseling tentang jurusan. Kekhawatiran ini nampaknya karena situasi yang rancu dimana Maria merasa bingung dengan pertanyaan dan komentar dari konselor.
Konselor : Mari kita berhenti sejenak untuk mengetahui apa yang kita lakukan dalam konseling jurusan, yaitu suatu usaha untuk mengerti keseluruhan individu. Dengan demikian kita menjadi fokus terhadap apa yang kamu suka atau tidak, apa yang baik kamu lakukan, apa ketrampilanmu, dan apa yang pereka anggap penting dengan pekerjaan dan jurusan. Interview pertama biasanya digunakan untuk mendapat informasi tentang dirimu—terutama pengalaman masa lalumu dan reaksi terhadap jurusan yang kamu ambil apakah beda dengan keinginanmu, pekerjaanmu terdahulu, dan sebagainya. Ini sangat penting guna menentukan tujuan dan rencanamu. Jika perlu adan ada serangkaian tes.
Klien : Em… Ya, sanga mengerti.
Konselor : Itulah sebabnya mengapa kita perlu membicarakan pengalaman SMAmu. Juga harapan dan impianmu agar memberi gambaran terhadap apa yang kamu suka.
8. Pola Komunikasi
Budaya mengakibatkan adanya beda komunikasi dari kamum minoritas. Hal ini merugikan dalam terapi. Klien diharapkan klien aktif dibandingkan konselor. Bagi Amerikan Indian, Asia Amerika, dan Hispak, masalah komunikasi menjadi masalah tersendiri. Ketiga kelompok di atas lebih banyak diam karena mereka menghormati yang lebih tua atau yang berwenang. Dalam budaya keluarga, peran dominant orang tua masih kuat. Sehingga mereka cenderung berbicara singkat. Terapis terpaksa menerjemahkan apa maksud dari perkataan klien.
Nilai Keterikatan Kelas
Bagi terapis yang berasal dari latar belakang kelas menengah ke atas akan mengalami kesulitan berhadapan dengan klien yang berlatar belakang miskin, yang hidup dengan upah rendah, pengangguran, dibawah gaji minimal, tidak punya tabungan, dan makan makanan yang tidak mencukupi. Konsultasi biasanya tentang kebutuhan makan dan tempat tinggal. Contoh:
Jimmy Jones adalah seorang anak laki-laki negro berusia 12 tahun. Dia direferensi oleh gurunya Bu Peterson karena selama di dalam kelas dia nampak apatais, aneh, dan kurang minat terhadap pelajaran. Guru lain melaporkan dia tidak perhatian, suka berhayal dan kadang tidur di dalam kelas.
Setelah 6 bulan konseling, konselor menyadari akar masalah Jimmy. Dia berasal dari keluarga yang sangat miskin yang hidup serba kekurangan baik makan maupun tidur. Akibatnya adalah dia kehilangan motivasi. Kemiskinan telah memaksa anak untuk bekerja pada usia dini, sebagai jasa pengantar, semir sepatu, dan pekerjaan lainnya yang menyerap energinya ketika dia di sekolah. Guru dan konselor melihat dia sebagai anak yang tidak punya motivasi dan cenderung nakal.
Dari diagnosa dapat kita ketahui bahwa gangguan jiwa lebih banyak diakibatkan karena factor kemiskinan. Lorion menemukan psikiatris lebih suka klien dari kaum putih dan umumnya status sosioekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan kaum minoritas. Harapan klien yang berasal dari sosioekonomi rendah biasanya berbeda dengan harapan terapis. Masalah mereka lebih banyak tentang hidup dan harapan sehari-hari. Pertemuan diusahakan singkat dan penedek. Sehingga ada ungkapan “standar waktu kaum minoritas.”
Harapan mereka adalah diberi saran. Namun terapis mengharapkan klien menceritakan dinamika pribadinya yang mengakibatkan klien bingung dan frustasi. Mereka mengharapkan sesuatu yang jelas dan cepat.
Karena lingkungan social klien dan terapis berbeda maka apabila klien tidak memahami proses terapi, terapis menyalahkan klien. Akibatnya adalah klien jadi resis dan terapi tidak berkelanjutan.
Atkinson, Morten dan kawan-kawan menyompulkan: etnis minoritas punya pendapatan terbatas dan tidak cukup untuk membayar konsultasi dibandingkan dengan kaum Eropa Amerika. Sehingga, untuk mendapat bantuan psikologis, mereka lebih menggantungkan pada pemerintah yang non profit.
Kendala Bahasa
Masyarakat barat sangat monolingual. Penggunaan bahasa Inggris standar menjadi tidak adil bagi mereka yang berasal dari kaum minoritas yang tidak fasih dalam bahasa Inggris. Kesalahpahaman masalah bahasa sering terjadi pada kaum minoritas. Dan tentu saja mereka tidak mungkin menggunakan bahasa mereka sendiri karena jelas tidak dipahami terapis.
Romero (1985) menyatakan bahwa konseling psikologis harus bisa berinteraksi dengan klien yang tidak dapat menggunakan bahasa Inggris standar. Kelemahan bahasa lain dari terapis mengakibatkan terhambatnya proses konseling dan terapi.
Pemerataan Dan Stereotip: Beberapa Peringatan
Nilai-nilai budaya direfleksikan dalam karakteristik umum dari konseling. Karakteristik ini disimpulkan dan dapat dibandingkan dengan empat ras/etnik kelompok minoritas; Indian-Amerika, Asian-Amerika, Negro, dan Hispanic. Meskipun hal ini kritis bagi terapis untuk memiliki pengertian dasar tentang karakteristik umum dari konseling dan psikoterapi dan budaya-spesifik nilai-nilai hidup dari grup yang berbeda, terlalu generalisasi dan stereotip sangat berbahaya. Sebagai contoh, mendaftar ras/etnik kelompok minoritas akan berbagi semua atau beberapa ciri saja. Selanjutnya, kecenderungan yang muncul jangka pendek dan krisis pendekatan intervensi dan kurangnya orientasi teknik verbal berbeda dari daftar ciri umumnya.
Kesan pertama akan dibentuk agar sesuai dengan interpretasi dangeneralisasi tentang tingkah laku manusia. Penggeneralisasian ini diperlukan oleh kita; tanpa itu, kita akan menjadi berbuat tidak efektif. Meskipun, panduan mereka untuk perilaku kita, berpedoman pada literatur dalam situasi yang baru, dan mereka harus terbuka dalam perubahan dan tantangan. Pada dasarnya tahapan ini generalisasi tetaplah generalisasi atau menjadi stereotipe. Stereotipe didefinisikan sebagai prasangka yang kita jaga tentang semua orang dari anggota kelompok istimewa, apakah kira-kira akan didefinisikan sebagai rasial, agama, jenis kelamin atau lainnya. Keyakinan dalam merasakan karakteristik kelompok digunakan pada semua anggota tanpa memandang variasi karakter individu. Stereotip berbahaya adalah mereka yang tidak mempan kecaman logita atau pengalaman. Semua informasi masukan disortir sesuai dengan pertimbangan kami. Misalnya, seseorang yang kuat, anti semit akan menyalahkan Yahudi yang pelit, dalam waktu bersamaan mereka dituduh memanipulasi kekayaan yang mereka pakai untuk menarik perhatian.
Implikasi Bagi Praktek Klinis
Profesi Kesehatan Mental harus mengakui batasan budaya, batasan kelas, dan hambatan bahasa, hal itu mungkin klien dari kaum minoritas menempatkan berada pada posisi yang merugikan. Beberapa saran bagi pengembangan klinis antara lain :
  1. Mengakui karakteristik umum dari konseling dan psikoterapy; Jelas, bahwa layanan kesehatan mental tumbuh dari konteks fakta budaya dan diilhami dengan asumsi dan nilai-nilai yang tidak boleh dipergunakan pada semua kelompok;
  2. Ketahui, bahwa kita terus meningkatkan multi bahasa nasional dan kebutuhan bahasa dari pekerjaan klinis menempatkan kaum minoritas pada tempat yang merugi. Sensitif dan siap memberikan atau memberi nasehat untuk layanan multi bahasa.
  3. Mempertimbangkan kebutuhan penyediaan layanan konseling masyarakat agar mencapai populasi minoritas. Dengan kata lain, konseling multikultural yang efektif harus melibatkan peran dan aktivitas lingkungan alamiah klien (sekolah, gereja, tetangga, tempat bermain, dan lain-lain) dari pada hanya dalam klinik kesehatan mental.
  4. Menyadari bahwa masalah dan keprihatinan kelompok minoritas dikaitkan pada sistem dan kekuatan eksternal lebih baik dari pada masalah internal psikologi. Kemiskinan, diskriminasi, prasangka-prasangka, tekanan karena status imigrasi, dan keempat indikasi bahwa konselor harus lebih efektif dalam membantu klien untuk berbagi dengan kekuatan ini dibandingkan dengan eksplorasi diri dan pendekatan pengetahuan yang mendalam.
  5. Sembari teori konseling dan psikoterapi memberikan penjelasan tentang tipe-tipe tindakan dan peran yang dimainkan oleh terapis, ini mungkin minimal membantu klien minoritas. Beberapa pendekatan pasif harus diperluas dalam peran dan tingkah laku, diorientasikan pada action dan pendidikan alamiah. Sebagai profesional helping, anda harus memperluas variasi dalam merespon bantuan.
  6. Berhati-hati tidak akan teralu umum atau stereotip. Mengetahui karakteristik kelompok secara umum dan panduan berbeda dari memegang dengan kuat pertimbangan sederhana. Dengan kata lain, mengetahui bahwa tentunya kelompok Afrika-Amerika, dan Asia-Amerika dapat berbagi nilai-nilai umum dan pandangan hidup tidak seperti semua orang Asia-Amerika.
  7. Sikap arogan tidak hanya mengganggu orang-orang yang dilayani, tapi juga membatasi sikap kerja dan perbedaan populasi budaya.

No comments: