Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

December 6, 2017

Kesadaran Tanggung Jawab



Pengertian Kesadaran Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah perilaku yang menentukan bagimana individu bereaksi terhadap situasi setiap hari yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral (Raths, 1978). Tanggung jawab merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dirinya dengan cara yang tidak merugikan, merampas atau mengorbankan orang lain dalam memenuhi kebutuhan mereka (Glesser dalam Rosjidan, 1994).
Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja atau tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Tirtaraharja dan Sulo (2008) membagi wujud tanggung jawab diantaranya: 1) tanggung jawab kepada diri sendiri, berarti menanggung tuntutan kata hati misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. 2) tanggung jawab kepada masyarakat, artinya menaggung tuntutan norma-norma sosial. 3) tanggung jawab kepada Tuhan yaitu tanggung jawab menaggung tuntutan norma-norma agama.
Menurut Cooper & Sawaf (2002) kesadaran tanggung jawab mempunyai manfaat sebagai berikut: 1) Dapat melatih individu menjadi lebih sigap dan waspada dalam bertindak. 2) Dapat menjadi lebih serius. 3) Dapat menjadi lebih diperhitungkan. 4) Dapat mempraktekkan semua nilai yang baik tanpa ragu. 5) Dapat menjadikan individu jarang membuat keputusan yang gegabah yang berakhir dengan akibat buruk pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar. 6) Menjadikan individu makin jujur secara emosi kepada diri sendiri dan orang lain. 7) Menjadikan individu mengerahkan perhatian yang lebih terhadap apa yang dikerjakan dan perilakunya. 8) Menjadikan individu tidak berbuat atau mengatakan sesuatu yang menyakiti diri sediri dan orang lain.
Individu bisa dikatakan memiliki kesadaran tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, jika individu tersebut memiliki beberapa ciri-ciri tingkah laku seperti:
1)             Menerima tanggung jawab. Mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya.
2)             Berorentasi tujuan. Individu dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara rasional, tidak atas dasar paksaaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang dimilikinya.
3)             Penerimaan sosial, yaitu individu dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
4)             Berorentasi keluar, artinya individu bersifat resfek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedualian terhadap situasi dan masalah-maslah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berfikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan menngorbankan orang lain
5)             Dapat mengontrol emosi, merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustasi, depresi, atau stres secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak)
6)             Mengakui kekurangan dan kesalahan, menerima akibat dari kesalahan yang dilakukan. Tanggung jawab, kesiapan individu untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Mau menerima resiko secara wajar dan tidak melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
7)             Memiliki komitmen terhadap tugas atau kewajiban. Yang ditandai dengan adanya ketetapan dan keteguhan terhadap dorongan-dorongan negatif dari luar yang tidak sesuai dengan prinsip yang dimilikinya.
8)             Memiliki rasa percaya diri. Hal ini terbentuk saat sesorang mengenali kemampuannya dan memiliki kepercayaan untuk melakukan apa yang mampu dikerjakan sendiri.
9)             Memiliki jiwa disiplin. Kedisiplinan mengajarkan pada siswa tentang siapa yang harus bertanggung jawab untuk memutuskan sikap yang layak bagi mereka dan siapa yang bertanggung jawab dalam menyakinkan bahwa mereka bersikap layak di masyarakat (Cooper & Sawaf, 2000).
Daftar Pustaka
Raths, L. E., Harmin, M. & Simon, S. B. 1978. Velues and Teaching: Working with Velues in the clasroom, second edition. Colombus: Charles E Merrill Publishing Company.
Rosjidan. 1994. Modul Pendekatan-pendekatan Konseling Kelompok. Malang. IKIP. FIP. BKP
Tirtaraharja, U & Sulo, L. 2008. Pengantar pendidikan. Jakarta. Rineka Cipta.
Cooper, R. K., dan Sawaf, A. 2002. Executive EQ Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Keterampilan Berkomunikasi



Pengertian Keterampilan Berkomunikasi
Keterampilan komunikasi merupakan simbol dan sikap tubuh dalam menyatakan ide, menyatakan pikiran, mengungkapkan pendapat, mengungkapkan perasaan, mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, menyatakan pertayaan, menerima kritikan dan komentar dari orang lain, serta memiliki keterampilan negosiasi dalam berkomunikasi secara verbal maupun non verbal (Van Reusen, 1996).
Komunikasi meliputi pengirim pesan, penerima pesan, pesan atau informasi, media, dan umpan balik. Informasi dapat berupa bahasa atau simbol yang disampikan melalui media tertulis atau tidak tertulis atau melalui lambang dan gambar. Umpan balik berguna bagi pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan yang disampaikan kepada penerima pesan sudah dimengerti atau belum, sehingga terdapat kesamaan presepsi atara pengirim pesan dan penerima pesan (Rakhmat, 2009).
Dalam buku Understanding Human Communication oleh Adler dan Rodman (2006), menjelaskan dalam proses komunikasi atara dua orang atau lebih terdapat beberapa elemen mendasar yang perlu di mengerti antara lain:
a)        Tujuan, gagasan, dan perasaan pesan, cara mengirim pesan, dan pesan yang akan dikirim.
b)        Simbol pesan dari pengirim: memaknai ide, perasaan dan maksud pesan yang dikirimkan dengan tepat
c)        Mengirimkan pesan kepada penerima pesan
d)        Tahap memaknai pesan
e)        Pemaknaan oleh penerima pesan yaitu menginterprestasikan maksud pesan yang disampaiakan. Interprestasi penerima pesan tergantung bagaimana penerima pesan memahami isi pesan dan maksud pengirim pesan.
f)         Tanggapan pribadi penerima pesan untuk mengiterprestasikan pesan
g)        Gangguan-gangguan dalam proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Gangguan yang dimakasud adalah beberapa aspek yang mempengaruhi proses komunikasi. Gangguan pada pengirim pesan seperti sikap, prasangka, kerangka berfikir, kesesuaian bahasa atau ekspresi dari pesan. Gangguan pada penerima pesan berupa sikap, latar belakang, pengalaman yang mempengaruhi proses pemahaman pesan. Pada saluran komunikasi bentuk gangguan seperti: 1) situasi lingkungan, apakah tenang, atau ramai. 2) masalah pengucapan seperti: gagap, dan 3) perilaku-perilaku yang mengganggu, seperti kecenderungan mengomel dan lain-lain (Adler & Rodman, 2006).
Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif manalkala kedua belah pihak yaitu pengirim dan penerima pesan terjadi kesamaan dalam meninterprestasikan pesan, maka komunikasi tersebut dapat dikatakan sebagai komunikasi yang tidak efektif (Rakhmat, 2009).
Dalam mengungkapkan pendapat, perasaan, mendengarkan apa yang dikatakan orang lain, menyatakan pertayaan harus dikemukakan secara verbal kepada orang lain secara langsung, jujur, tidak menyakiti orang lain dan sesuai dengan situasi. Ada bebrapa alasan mengapa mengungkapkan pendapat, ide persaaan kepada orang lain itu sangat penting karena dapat: 1) meingkatkan konsep diri yang positif, 2) meningkatkan keterampilan komunikasi, 3) dapat memberi kepuasan pada hubungan antara pribadi, 4) orang lain dapat mengenal diri anda dengan lebih baik (Rakhmat, 2009).
Daftar Pustaka
Adler, R. B. & Rodman, G. 2006. Understanding Human Communication, Ninth Edition. New York. Oxford University Press.
Rakhmat, J. 2009. Psikologi Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Van Reusen, A. K. 1996. The Self-Advocacy Strategy for Education and Transition Planning. Journal Intervention in School and Clinic. Vol. 32.  No.1: 49 – 54.

November 27, 2017

MODEL EXPERIENTIAL LEARNING DAVID KOLB



A.  Pengantar
Salah satu aspek penting dalam sebuah pelatihan adalah pemilihan model pelatihan. Berdasarkan kajian yang dilakukan maka model pelatihan yang dianggap mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam mengelola emosi adalah model experiential learning. Alasan pemilihan model pembelajaran ini adalah karena experiential learning merupakan model pembelajaran yang holistik. Disebut holistik karena memperhatikan aspek-aspek yang dipandang penting dalam sebuah pembelajaran yaitu afektif, kognitif dan emosi.
Experiential learning mendefinisikan belajar sebagai proses bagaimana pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh kombinasi pemahaman dan mentransformasikan pengalaman (Kolb, 1984). Experiential learning ini adalah proses belajar, proses perubahan yang menggunakan pengalaman sebagai media belajar atau pembelajaran. Experiential learning adalah pembelajaran yang dilakukan melalui refleksi dan juga melalui suatu proses pembuatan makna dari pengalaman langsung. Experential learning berfokus pada proses belajar pada masing-masing individu. Experiential learning adalah suatu pendekatan yang dipusatkan pada siswa yang dimulai dengan landasan pemikiran bahwa orang-orang belajar yang terbaik itu adalah dari pengalaman.
Siklus empat langkah dalam experiential learning untuk proses belajar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1) concrete experience (emotions), 2) reflective observation (watching), 3) abstract conceptualization (thinking) dan 4) active experimentation (doing). Adapun penjelasan singkat dari langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Concrete experience (emotions), adalah belajar dari pengalaman-pengalaman yang spesifik dan peka terhadap situasi.
2.    Reflective observation (watching), adalah mengamati sebelum membuat suatu keputusan dengan mengamati lingkungan dari persepektif-persefektif yang berbeda dan memandang berbagai hal untuk memperoleh suatu makna.
3.    Abstract conceptualization (thinking), adalah analisa logis dari gagasan-gagasan dan bertindak sesuai pemahaman pada suatu situasi.
4.    Active experimentation (doing), adalah kemampuan untuk melaksanakan berbagai hal dengan orang-orang dan melakukan tindakan berdasarkan peristiwa, termasuk pengambilan resiko.
Adapun gambaran siklus empat langkah dalam experiential learning David Kolb (1984) bisa dilihat pada gambar berikut:
Gambar: Siklus empat langkah dalam experiential learning David Kolb
Gambar tersebut memperlihatkan proses belajar dimulai dari pengalaman konkret yang dialami seseorang. Pengalaman tersebut kemudian direfleksikan secara individu. Melalui proses refleksi, seseorang berusaha memahami apa yang terjadi atau yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar proses konseptualisasi atau proses pemahaman yang mendasari pengalaman yang dialami serta perkiraan kemungkinan pengaplikasiannya dalam situasi atau konteks yang lain (baru). Maksudnya adalah kemungkinan belajar melalui pengalaman-pengalaman nyata dan kemudian direfleksikan dengan mengkaji pengalaman tersebut.
Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian-pengertian baru atau konsep-konsep abstrak. Pengertian dan konsep abstrak itu menjadi petunjuk bagi terciptanya pengalaman atau prilaku-prilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikatagorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikatagorikan dalam proses penerapan (taking action).

B.  Tahapan Dalam Pelatihan Model Experiential Learning
Pemilihan model pelatihan yang sesuai akan memberikan kontribusi yang sangat penting, apakah sebuah pelatihan dapat diterima atau tidak. Pemilihan model pelatihan dengan menggunakan experiential learning mengandung beberapa aspek, antara lain: 1) pengetahuan (konsep, fakta, informasi), 2) aktivitas (penerapan dalam kegiatan), dan 3) refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu) (Kolb, 1984). Materi-materi dalam panduan pelatihan keterampilan mengelola emosi dengan model experiential learning untuk siswa SMA ini merupakan materi yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan mengelola emosi marah, emosi takut dan emosi sedih.
Adapun pemilihan model belajar yang mencakup tiga aspek keterampilan tersebut merupakan bagian penting dalam menentukan sebuah metode pelatihan mengelola emosi, apakah efektif atau tidak. Tujuan akhir dari pelatihan keterampilan mengelola emosi adalah agar siswa mampu untuk mengontrol reaksi emosional terhadap pemicu-pemicu spesifik secara selektif sehingga siswa memiliki transfer of leraning, dengan begitu diharapkan mereka dapat mentransfer keterampilan mengelola emosi kedalam situasi di luar pelatihan atau dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya model belajar lainnya, dalam menerapkan model experiential learning konselor harus memperbaiki prosedur agar pembelajarannya berjalan dengan baik. Adapun menurut Hamalik (2001), beberapa hal yang harus diperhatikan dalam model belajar experiential learning, adalah sebagai berikut:
1.    Guru merumuskan secara seksama suatu rencana pengalaman belajar yang bersifat terbuka (open minded) mengenai hasil yang potensial atau memiliki seperangkat hasil-hasil tertentu.
2.    Guru harus bisa memberikan rangsangan dan motivasi pengenalan terhadap pengalaman.
3.    Siswa dapat bekerja secara individual atau bekerja dalam kelompok-kelompok kecil atau keseluruhan kelompok di dalam belajar berdasarkan pengalaman.
4.    Para siswa ditempatkan pada situasi-situasi nyata, maksudnya siswa mampu memecahkan masalah dan bukan dalam situasi pengganti.
5.    Siswa aktif berpartisipasi didalam pengalaman yang tersedia, membuat keputusan sendiri, menerima konsekuensi sesuai berdasarkan keputusannya.
6.    Siswa menyajikan pengalaman yang telah dituangkan kedalam tulisan, sehubungan untuk memperluas pengalaman belajar dan pemahaman siswa dalam melaksanakan pertemuan yang nantinya akan membahas bermacam-macam pengalaman tersebut.
Sesuai dengan model belajar experiential learning untuk membangkitkan emosi peserta pelatihan ada delapan cara yang bisa digunakan menurut Ekman (2003), dalam panduan pelatihan keterampilan mengelola emosi dengan model experiential learning untuk siswa SMA adalah sebagai berikut:
1.    Penilaian reflektif, bertujuan agar penilaian yang sifatnya otomatis tidak berperan di dalam mengelola emosi.
2.    Mengingat kembali suatu peristiwa yang berkaitan dengan emosi, tujuannya untuk memberi kesempatan belajar bagaimana merekonstruksi apa yang terjadi dalam kehidupan kita sehingga dapat kesempatan untuk merubah apa yang membuat kita emosional.
3.    Imajinasi, tujuannya melatih kembali dalam pikiran kita dan mencoba cara-cara lain untuk mengembalikan apa yang tengah terjadi, sehingga hal itu sesuai dengan yang biasa yang kita anggap sulit.
4.    Membicarakan pengalaman emosional masa lalu, tujuannya adalah menyebabkan kita untuk mengenali kembali emosi yang pernah dialami.
5.    Mengalami kembali perasaan yang kita punyai dalam episode emosional masa lalu.
6.    Menceritakan peristiwa yang membuat terbentuknya emosi tujuannya agar orang yang mendengarkannya bisa ikut larut dan berempati.
7.    Kekerasan norma.
8.    Memunculkan pengalaman emosional, yang mengubah fisiologi dengan mengambil penampakan sebuah emosional, (bukanlah cara yang paling umum untuk mengalami emosi).
Berdasarkan model experiential learning yang digunakan maka tahapan pelatihan keterampilan mengelola emosi terdiri atas empat tahapan. Adapun penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut:
1.    Concrete experience (emotions)
Tahap pengalaman nyata dilaksanakan dengan mengajak peserta latihan mengalami situasi yang tidak menyenangkan yang memungkinkan emosi-emosi negatif muncul. Situasi diciptakan melalui permainan, film, dan cerita pendek (cerpen) yang sesuai dengan jenis perasaan yang dilatihkan.
2.    Reflective observation (watching)
Tahapan observasi refleksi didapatkan melalui kegiatan observasi yang dilakukan siswa terhadap emosi-emosi yang mereka alami pada saat pelatihan dan mengidentifikasi penyebab terjadinya emosi.
3.    Abstract konceptualization (thinking)
Tahap konseptualisasi abstrak merupakan tahapan untuk memahami emosi-emosi yang telah direfleksikan. Melalui pemahaman tersebut peserta diharapkan mempunyai konsep baru yang dapat diterapkan bila menghadapi emosi tersebut dalam kehidupan nyata. Konsep baru tersebut berupa keterampilan mengelola emosi dengan merubah pikiran-pikiran negatif menjadi pikiran-pikiran positif, kemudian diimplementasikan dalam pengelolaan emosi dan tingkah laku yang positif.
4.    Active experimentation (doing)
Tahap eksperimentasi aktif merupakan tahap pemberian kesempatan kepada peserta pelatihan agar menerapkan pemahaman materi yang diperoleh pada pelatihan keterampilan mengelola emosi untuk diterapkan pada situasi yang sesungguhnya. Peserta pelatihan diberi tugas mencatat situasi yang dialami pada saat mengalami emosi (marah, takut, sedih) dengan menuliskanya pada format-format yang sudah disediakan.

C.  Daftar Pustaka
Kolb, D.A. 1984. Experiential Learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall
Hamalik, O. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Ekman, P. 2003. Emotions Revealed: Recognizing Faces and Feeling to Improve Comunication Andemotional Life 1sted. New York: Time Books Henry Holt and Company LLC.