Berbakti dengan Ilmu

"Dalam meraih keberhasilan akan penuh dengan tantangan"

December 7, 2017

KONSELING REALITA WILLIAM GLASSER

A.      LATAR BELAKANG
Konseling realita merupakan suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang bersangkutan. Konseling realita lebih menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Konseling realita dicetuskan oleh William Glasser yang lahir pada tahun 1925. Pada tahun 1961, Glasser mempublikasikan konsep Reality Therarapy dalam bukunya Mental Health or Mental Illness. Dalam pandangannya Glasser mempunyai pandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis. Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia sedangkan kebutuhan psikologis yaitu: kebutuhan dicintai dan mencintai, dan kebutuhan akan pengharagaan terhadap dirinya
Kedua kebutuhan tersebut dapat digabungkan dan disebut sebagai kebutuhan identitas. Kebutuhan identitas mempunyai dua arah, yang pertama adalah jika individu mengalami keberhasilan individu tersebut akan mencapai identitas kesuksesan yang disebut sebagai Success Identity. Sedangkan individu yang mengalami kegagalan disebut sebagai Failure Identity. Pada dasarnya failure identity ini dibangun oleh individu yang tidak mempunyai tanggung jawab karena menolak keberadaan realita sosial, moral maupun dunia sekitarnya.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.             Bagaimanakah perkembangan tingkah laku manusia berdasarkan konseling realita?
2.             Apa tujuan diadakannya konseling realita?
3.             Bagaimanakah karakteristik konseling realita?
4.             Apa peran konselor dan konseli dalam konseling realita?
5.             Bagaimanakah prosedur dan teknik dalam konseling realita?
C.      TUJUAN PENULISAN
1.             Untuk mengetahui bagaimana perkembangan tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku yang menyimpang dan pribadi ideal berdasarkan konseling realita
2.             Untuk mengetahui tujuan diadakannya konseling realita
3.             Untuk mengetahui karakteristik konseling realita
4.             Untuk mengetahui dan memahami apa saja peran seorang konselor dan konseli dalam konseling realita
5.             Untuk mengetahui dan bisa mengimplementasikan prosedur dan teknik dalam konseling realita
D.      PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
Glasser berpandangan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (cinta dan harga diri) merupakan peristiwa belajar. Orang yang telah terpenuhi kebutuhannya (pribadi ideal) akan dapat memerintah kehidupanya sendiri menggunakan prinsip 3 R (Right, Responsibility, dan Reality), yaitu:
1)        Right, yang dimaksud dengan Glasser adalah ada ukuran atau norma yang diterima secara umum dimana tingkah laku dapat diperbandingkan.
2)        Responsibility, prinsip ini merupakan kemampuan untuk mencapai sesuatu kebutuhan dan untuk berbuat dalam cara yang tidak merampas keinginan orang lain dalam memenuhi kebutuhan mereka.
3)        Reality, dalam hal ini orang harus memahami bahwa ada dunia nyata dari bahwa mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam kerangka kerja tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya Glasser memperluas uraian tentang kebuuhan dasar manusia. Dalam hal ini Glasser berpandangan bahwa manusia elalu berupaya mengendalikan dunia dan dirinya untuk memuasan kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut adalah kebutuhan untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk memperoleh kekuasaan, kebutuhan untuk memperoleh kebebasan , dan kebutuhan untuk memperoleh kesenangan.
     Kebutuhan unuk bertahan hidup dan memperoleh keturunan merupakan kebutuhan fisiologis manusia yang berupa kebutuhan untuk memelihara kehidupan dan kesehatan yang baik. Kebutuhan untuk memiliki merupakan kebutuhan manusia untuk melibatkan dirinya dengan orang lain dan mencintai serta dicintai orang lain. Kebutuhan memperoleh kebebasan merupakan kebutuhan untuk membuat pilihan dalam kehidupan. Kebuthan untuk memperoleh kekuasaan merupakan kebutuhan untuk memperoleh prestasi, status, pengakuan, dan membuat orang lain mematuhinya. Kebutuhan untuk memperoleh kesenangan mrupakan kebutuhan manusia untuk menikmati kehidupan, tertawa, dan menikmati humor. Semua kebutuhan diatas disebut kebutuhan psikologis kecuali kebutuhan bertahan hidup dan melanjukan keturunan.
E.       PRIBADI YANG MENYIMPANG
Terdapat beberapa konsep pribadi yang menyimpang dalam konseling realita, yaitu:
1)        Identitas gagal (failure identity)
Individu gagal memenuhi salah satu atau semua kebutuhan dasar dan gagal terlibat dengan orang lain sebagai prasyarat biologis memuaskan kebutuhan dasar.
2)        Perbuatan tidak Pas
Seseorang yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya akan lari dari dunia kenyataan objektif, mereka tidak dapat mengamati segala sesuatu sebagaimana adanya. Secara sederhana, perbuatan yang tidak pas ini digambarkan oleh Hansen sebagai individu yang kurang terlibat dengan orang lain, tidak pernah belajar untuk berbuat secara bertanggung jawab. Atau tidak dapat berbuat atas landasan prinsip 3 R’s (Right, Responsibility, dan Reality).
3)        Keterlibatan dengan diri
Kekurangan keterlibatan dengan orang lain akan mempengaruhi pada kekurangmampuan memenuhi kebutuhan dan lebih jauh orang akan mengarah ke pengaburan kebutuhan itu.
4)        Kegagalan orang tua atau orang yang bermakna
Terpenuhinya kebutuhan bergantung pada orang tua dan orang yang bermakna. Orang tua yang tidak melibatkan diri secara tepat harus merasa bertanggung jawab atas kegagalan anaknya.
5)        Individu tidak belajar
Tingkah laku gagal pada dasarnya sebagai hasil dari anak-anak yang tidak belajar untuk memenuhi kebutuhannya melalui terlibat dengan orang lain. Jika individu telah belajar bagaimana memnuhi kebutuhan dan ternyata keadaan berubah dan mempengaruhi kemampuannya untuk berbuat, maka bukan keadaan yang mempengaruhi melainkan sebagai fungsi kurang terlibatnya individu dengan orang lain.
F.       TUJUAN KONSELING
Pada dasarnya tujuan dari konseling realita adalah sama dengan tujuan dari kehidupan manusia yaitu membantu individu untuk mencapai success identity. Untuk mencapai success identity diperlukan suatu rasa tanggung jawab dari individu, untuk mencapinya individu harus mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personal. Untuk memenuhi kepuasan terhadap kebutuhan tersebut perlu diperhatikan 3R yaitu reality (kenyataan), right (hal yang baik), responsible (tangung jawab). Secara garis besar, tujuan konseling realita adalah:
1)  Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2)      Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3)  Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4)    Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5)        Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
G.      KARAKTERISTIK KONSELING REALITA
Bebarapa karakteristik yang mendasari pelaksanaan konseling Realita:
1)             Penekanan pada pilihan dan tangung jawab
Konselor realita menekankan pada pentingnya pilihan dan tangung jawab individu dalam berperilaku. Karena individu memilih apa yang ia lakukan berarti bahwa individu tersebut hendaknya bertangung jawab terhadap perilaku yang dipilihnya. Untuk itu konselor hendaknya membantu individu menyadari adanya fakta bahwa individu tersebut bertangung jawab terhadap apa yang dilakukanya.
2)             Penolakan terhadap transferensi
Konselor realita berupaya menjadi dirinya sendiri dalam proses konseling. Untuk itu, ia dapat mengunakan hubungan untuk mengajar para konseli bagaima berinteraksi dengan orang lain dalam hidup mereka. Transferensi merupakan cara konselor dan konseli menghindar untuk menjadi diri mereka sendiri dan memiliki apa yang dikerjakan saat ini. Hal tersebut tidak realistis bagi konselor untuk menjadi orang lain dan bukan menjadi dirinya sendiri.
3)             Penekanan konseling pada saat sekarang
Beberapa konseli datang ke konseling yakin bahwa masalahnya berawal dari masa lalu dan mereka harus merevisi masa lalu tersebut agar mereka dapat terbantu melalui konseling. Glasser menyakini bahwa kita adalah produk dari masa lalu tetapi kita bukan korban masa lalu kecuali kita memilih untuk menjadi korban masa lalu tersebut. Glasser tidak menyetujui pandangan bahwa kita harus memahami dan merevisi masa lalu agar dapat berfungsi dengan baik saat ini. Menurutnya, kesalahan apapun yang dibuat pada masa lalu tidaklah berhubungan dengan masa sekarang. Kita dapat memuaskan kebutuhan kita pada saat sekarang. Walaupun demikian konseling realita tidak menolak sepenuhnya masa lalu. Jika konseli ingin bicara tentang keberhasilan masa lalunya atau hubungan yang baik pada masa lalu, konselor akan mendengarkan karena hal tersebut mungkin diulang pada masa sekarang. Konselor akan mengunakan waktu hanya secukupnya bagi kegagalan masa lalu konseli untuk menyakinkan para konseli bahwa konselor tidak menolajk mereka.
4)             Penghindaran dari pemusatan perilaku bermasalah
Pemusatan pada gejala-gejala perilaku bermasalah akan melindungi konseli dari kenyataan hubungan saat ini yang tidak memuaskan. Oleh kerena itu konselor realita meluangkan waktu sesedikit mungkin terhadap gejala-gejala perilaku bermasalah tersebut karena hal tersebut hanya berlangsung selama gejala-gejala tersebut diperlukan untuk menangani hubungan yang tidak memuaskan atau ketidakpuasan pemenuhan kebutuhan dasar.
5)              Penentangan pandangan tradisional tentang penyakit mental
Konselor realita menolak pandangan tradisional bahwa orang yang memiliki gejala masalah fisik dan psikologis adalah orang sakit secara mental. Glasser memperingatkan orang-orang untuk berhati-hati terhadap psikiatri yang dapat membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental. Disamping itu, ia mengkritik penetapan psikiatrik yang banyak bersandar pada klasifikasi dan statistik ganguan mental untuk diagnosis dan pemberian bantuanya.
H.      PERAN KONSELOR
Konselor berperan sebagai:
1.        Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
2.        Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
3.        Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
4.        Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
5.        Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Sedangkan konseli dalam konseling realita adalah konseli yang:
1.         Memusatkan pada tingkah laku
2.         Membuat dan menyepakati rencana
3.         Mengevaluasi tingkah laku sendiri
4.         Belajar kecanduan positif
I.         PROSEDUR KONSELING
Konseling realita dapat menjadi pandangan hidup (way of life) bagi beberapa orang. Ivey, mengatakan bahwa setiap sesi konseling dan terjadi dimana saja. Ivey juga membagi konseling menjadi 4 fase, yaitu:
a.         Fase 1: Keterlibatan (Involvement)
Glasser menekankan pentingnya konselor untuk mengkomunikasikan perhatian kepada konseli. Perhatian tersebut diwujudkan dalam bentuk kehangatan hubungan, penerimaan, penghayatan, dan pemahaman terhadap konseli. Salah satu cara terbaik untuk menunjukan perhatian konselor terhadap konseli tersebut sepenuh hati. Di samping itu, untuk mempercepat komunikasi antara konselor dan konseli ialah penggunaan topik netral pada awal pertemuan, khususnya yang berkaitan dengan kelebihan konseli.
b.         Fase 2: Pemusatan pada Tingkah Laku saat Sekarang, bukan pada Perasaan (Focus on Present Behavior rather than on Feeling)
Pemusatan pada tingkah laku saat sekarang bertujuan untuk membantu konseli agar sadar terhadap apa yang dilakukan yang menjadikannya mengalami perasaan atau masalah seperti yang dirasakan atau dialami saat sekarang. Glasser menyadari bahwa tingkah laku manusia itu terdiri atas apa yang ia lakukan, pikirkan, rasakan, dan alami secara fisiologis. Keempatnya berkaitan, namun Glasser lebih menekankan pada apa yang dilakukan daan dipikirkan individu daripada apa yang dirasakan dan dialami secara fisiologis. Hali ini terjadi karena sukar bagi kita untuk mengubah perasaan dan pengalaman fisiiologis seseorang tanpa mengubah apa yang dilakukan dan dipikirkan terlebih dahulu.
c.         Fase 3: Belajar Kembali (Relearning)
Pertama, Pertimbangan Nilai (Value Judgment)
Konseli perlu dibantu menilai kualitas apa yang dilakukannya dab menentukan aapakah tingkah laku tersebut bertanggung jawab atau tidak. Maksudnya, setelah konseli menyadaru tingkah lakunya yang menyebabkan ia mengalami masalah seperti yang dihadapinya sekarang, kemudian ia hendaknya dibantu oleh konselor untuk menlai apakah yang dilakukan itu dapat mencapai tujuan hidupnya dab memenuhi kebutuhan dasarnya. Tanpa adanya kesadaran konseli mengenai ketidakefektivan tingkah lakunya dalam mencapai tujuan hidupnya maka tidak mungkin ada perubahan pada diri konseli tersebut.
Kedua, Perencanaan Tingkah Laku yang Bertanggung Jawab (Planning Responsible Behavior)
Konselor bersama-sama dengan konseli membuat rencaana tindakan efektif yang akan mengubah tingkah laku yang tidak bertanggung jawab kearah tingkah laku yang bertanggungjawab sehingga konseli tersebut dappat mencapai tujuan yang diharapkan. Rencana tindakan yang efektif berupa rencana yang sederhana, dapat dicapai, terukur, segera, dan terkendali oleh konseli.
Ketiga, Kesepakatan (Commitment)
Glasser yakin bahwa suatu rencana akan bermanfaat jika konseli membuat suatu komitmen khusus untuk melaksanakan rencana yang telah disususnnya atau dibuatnya. Komitmen tersebut dapat dibuat secara lisab dan/ atau secara tulisan.
d.         Fase 4: Evaluasi
Tiada kata Ampunan (No-Excuse)
Karena tidak semua rencana dapat berhasil, maka konselor tidak perlu mengeksplorasi alasan-alasan mengapa konseli gagal dalam melakukan rencana yang dibuatnya. Oleh karena itu, konselor memusatkan perhatian pada pengembangan rencana baru yang lebih cocok pada konseli untuk mencapai tujuan.
Membatasi Hukuman (Eliminate Punishment)
Konselor yang berorientasi konseling realita tidak akan memberikan hukuman pada konseli yang gagal melaksanakan rencananya sebab hukuman tidak akan mengubah tingkah laku melainkan akan memperkuat identitas gagal konseli. Glasser menekankan pentingnya konselor memberikan kesempatan bagi konseli untuk mengalami kosekuensi alamiah atau akibat logis dari kegagalannya. Untuk itu, konselor mendorong konseli untuk bertangung jawab atas rencananya sendiri
J.        TEKNIK KONSELING
a.         Terlibat dalam permainan peran dengan konseli
b.         Menggunakan humor
c.         Mengkonfrontasikan tingkah laku konseli yang tidak relistis
d.         Membantu konseli dalam merumuskan rencana-rencana perubahan yang spesifik bagi tindakan
e.         Bertindak sebagai model dan guru
f.          Menentukan batas-batas dan struktur konseling yang pas
g.         Menggunakan “verbal shock”/terapi kejutan verbal atau sarkasme yang tepat untuk menentang konseli dengan tingkahlakunya yang tidak realistis
h.         Melibatkan diri dengan konseli dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif
i.           Tidak menerima alasan-alasan tingak laku yang  tidak bertangung jawab
j.           Memberikan pekerjaan rumah untuk dilaksanakan konseli pada waktu antara pertemuan satu dengan pertemuan lainya
k.         Membuat kesepakatan sebagai kontrak antara konselor dan konseli
K.      STRATEGI WDEP
Wubbolding sebagai seorang juru bicara terkemuka konseling realita mengemukakan prosedur konseling realita dengan sistem WDEP. Sistem tersebut terdiri atas empat tahap yaitu:
a.         What (keinginan)
W berarti keinginan, kebutuhan, dan perserpsi konseli. Pada tahap W, konselor mengidentifikasi apa yang diinginkan konseli dalam kehidupan dengan mengajukan pertanyaan seperti “Apa yang kamu inginkan?”(dari belajar, keluarga, teman-teman, dan lain-lain).
b.         Doing (melakukan)
D berarti apa yang dilakukan konseli dan arah yang dipilih dalam hidupnya. Pada tahap tersebut, konselor membantu konseli mengidentifikaasi apa yang dilakukannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan dengan mengajukan pertanyaan antara lain ”Apa yang kamu lakukan?” dan mengidentifikasi arah hidupnya dengan mengajukan pertanyaan “Jika kamu terus menerus melakukan apa yang kamu lakukan sekarang, akan kemana kira-kira arah hidupmu?”
c.         Evaluating (penilaian)
E berarti melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan akhir-akhir ini. Pada tahap ini, konselor membantu konseli melakukan penilaian diri untuk menentukan keefektivan apa yang dilakukan bagi pencapaian kebutuhannya. Untuk itu, konselor dapat menggunakan pertanyaan antara lain “Apakah yang kamu lakukan akhir-akhir ini dapat membantumu memenuhi keinginanmu?”
d.         Planning (merencanakan)
P berarti membuat rencana perubahan perilaku. Pada tahap ini, konselor membantu konseli merencanakan pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab bagi pencapaian kebutuhannya. Perencanaan dibuat berdasarkan hasil evaluasi perilaku pada tahap sebelumnya. Dalam tahap tersebut, konselor dapat mengajukan pertanyaan misalnya, “Apa yang akan kamu lakukan agar dapat memenuhi keinginanmu?”. Agar rencana tersebut efektif maka perencanaan tindakan yang dibuat berupa rencana yang sederhana, dapat dicapai, terukur, segera, dan terkendali oleh konseli.

No comments: