A.
LATAR
BELAKANG
Konseling realita merupakan suatu
bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk bantuan
langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor di
sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental
konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang
bersangkutan. Konseling realita lebih menekankan masa kini, maka dalam
memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh mungkin pada masa lalunya,
sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana konseli dapat memperoleh
kesuksesan pada masa yang akan datang.
Konseling realita
dicetuskan oleh William Glasser yang lahir pada tahun 1925. Pada tahun 1961,
Glasser mempublikasikan konsep Reality Therarapy
dalam bukunya Mental Health or Mental
Illness. Dalam pandangannya Glasser mempunyai pandangan bahwa semua manusia
memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis.
Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia
sedangkan kebutuhan psikologis yaitu: kebutuhan dicintai dan mencintai, dan kebutuhan
akan pengharagaan terhadap dirinya
Kedua kebutuhan
tersebut dapat digabungkan dan disebut sebagai kebutuhan identitas. Kebutuhan
identitas mempunyai dua arah, yang pertama adalah jika individu mengalami
keberhasilan individu tersebut akan mencapai identitas kesuksesan yang disebut
sebagai Success Identity. Sedangkan
individu yang mengalami kegagalan disebut sebagai Failure Identity. Pada dasarnya failure
identity ini dibangun oleh individu yang tidak mempunyai tanggung jawab
karena menolak keberadaan realita sosial, moral maupun dunia sekitarnya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimanakah perkembangan tingkah laku
manusia berdasarkan konseling realita?
2.
Apa tujuan diadakannya konseling realita?
3.
Bagaimanakah karakteristik konseling
realita?
4.
Apa peran konselor dan konseli dalam
konseling realita?
5.
Bagaimanakah prosedur dan teknik dalam
konseling realita?
C.
TUJUAN
PENULISAN
1.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan
tingkah laku manusia, yaitu tingkah laku yang menyimpang dan pribadi ideal
berdasarkan konseling realita
2.
Untuk mengetahui tujuan diadakannya
konseling realita
3.
Untuk mengetahui karakteristik konseling
realita
4.
Untuk mengetahui dan memahami apa saja
peran seorang konselor dan konseli dalam konseling realita
5.
Untuk mengetahui dan bisa
mengimplementasikan prosedur dan teknik dalam konseling realita
D.
PEMENUHAN
KEBUTUHAN DASAR
Glasser berpandangan bahwa pemenuhan
kebutuhan dasar (cinta dan harga diri) merupakan peristiwa belajar. Orang yang telah terpenuhi kebutuhannya (pribadi ideal) akan
dapat memerintah kehidupanya sendiri menggunakan prinsip 3 R (Right, Responsibility, dan Reality), yaitu:
1)
Right,
yang dimaksud dengan Glasser adalah ada ukuran atau norma yang diterima secara
umum dimana tingkah laku dapat diperbandingkan.
2)
Responsibility, prinsip ini merupakan kemampuan untuk mencapai sesuatu kebutuhan dan
untuk berbuat dalam cara yang tidak merampas keinginan orang lain dalam
memenuhi kebutuhan mereka.
3)
Reality,
dalam hal ini orang harus memahami bahwa ada dunia nyata dari bahwa mereka
harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam kerangka kerja tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya Glasser memperluas uraian
tentang kebuuhan dasar manusia. Dalam hal ini Glasser berpandangan bahwa
manusia elalu berupaya mengendalikan dunia dan dirinya untuk memuasan kebutuhan
dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut adalah kebutuhan untuk bertahan hidup dan
melanjutkan keturunan, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan untuk memperoleh
kekuasaan, kebutuhan untuk memperoleh kebebasan , dan kebutuhan untuk
memperoleh kesenangan.
Kebutuhan
unuk bertahan hidup dan memperoleh keturunan merupakan kebutuhan fisiologis
manusia yang berupa kebutuhan untuk memelihara kehidupan dan kesehatan yang
baik. Kebutuhan untuk memiliki merupakan kebutuhan manusia untuk melibatkan
dirinya dengan orang lain dan mencintai serta dicintai orang lain. Kebutuhan
memperoleh kebebasan merupakan kebutuhan untuk membuat pilihan dalam kehidupan.
Kebuthan untuk memperoleh kekuasaan merupakan kebutuhan untuk memperoleh
prestasi, status, pengakuan, dan membuat orang lain mematuhinya. Kebutuhan
untuk memperoleh kesenangan mrupakan kebutuhan manusia untuk menikmati
kehidupan, tertawa, dan menikmati humor. Semua kebutuhan diatas disebut
kebutuhan psikologis kecuali kebutuhan bertahan hidup dan melanjukan keturunan.
E.
PRIBADI
YANG MENYIMPANG
Terdapat beberapa konsep pribadi yang menyimpang
dalam konseling realita, yaitu:
1)
Identitas
gagal (failure identity)
Individu
gagal memenuhi salah satu atau semua kebutuhan dasar dan gagal terlibat dengan
orang lain sebagai prasyarat biologis memuaskan kebutuhan dasar.
2)
Perbuatan
tidak Pas
Seseorang
yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya akan lari dari dunia kenyataan
objektif, mereka tidak dapat mengamati segala sesuatu sebagaimana adanya. Secara sederhana, perbuatan yang tidak pas ini
digambarkan oleh Hansen sebagai individu yang kurang terlibat dengan orang
lain, tidak pernah belajar untuk berbuat secara bertanggung jawab. Atau tidak
dapat berbuat atas landasan prinsip 3 R’s (Right,
Responsibility, dan Reality).
3)
Keterlibatan
dengan diri
Kekurangan keterlibatan dengan orang lain akan mempengaruhi pada
kekurangmampuan memenuhi kebutuhan dan lebih jauh orang akan mengarah ke
pengaburan kebutuhan itu.
4)
Kegagalan
orang tua atau orang yang bermakna
Terpenuhinya kebutuhan bergantung pada orang tua
dan orang yang bermakna. Orang tua yang tidak melibatkan diri secara tepat
harus merasa bertanggung jawab atas kegagalan anaknya.
5)
Individu
tidak belajar
Tingkah
laku gagal pada dasarnya sebagai hasil dari anak-anak yang tidak belajar untuk
memenuhi kebutuhannya melalui terlibat dengan orang lain. Jika individu telah
belajar bagaimana memnuhi kebutuhan dan ternyata keadaan berubah dan
mempengaruhi kemampuannya untuk berbuat, maka bukan keadaan yang mempengaruhi
melainkan sebagai fungsi kurang terlibatnya individu dengan orang lain.
F.
TUJUAN
KONSELING
Pada dasarnya tujuan dari konseling realita adalah sama
dengan tujuan dari kehidupan manusia yaitu membantu individu untuk mencapai success identity. Untuk mencapai success identity diperlukan suatu rasa
tanggung jawab dari individu, untuk mencapinya individu harus mencapai kepuasan
terhadap kebutuhan personal. Untuk memenuhi kepuasan terhadap kebutuhan
tersebut perlu diperhatikan 3R yaitu reality
(kenyataan), right (hal yang baik), responsible (tangung jawab). Secara
garis besar, tujuan konseling realita adalah:
1) Menolong individu agar mampu mengurus diri
sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2) Mendorong konseli agar berani bertanggung
jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan
keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3) Mengembangkan rencana-rencana nyata dan
realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4) Perilaku yang sukses dapat dihubungkan
dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan
nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5)
Terapi ditekankan pada disiplin dan
tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
G.
KARAKTERISTIK
KONSELING REALITA
Bebarapa karakteristik yang mendasari pelaksanaan
konseling Realita:
1)
Penekanan
pada pilihan dan tangung jawab
Konselor
realita menekankan pada pentingnya pilihan dan tangung jawab individu dalam
berperilaku. Karena individu memilih apa yang ia lakukan berarti
bahwa individu tersebut hendaknya bertangung jawab terhadap perilaku yang
dipilihnya. Untuk itu konselor hendaknya membantu individu menyadari adanya
fakta bahwa individu tersebut bertangung jawab terhadap apa yang dilakukanya.
2)
Penolakan
terhadap transferensi
Konselor
realita berupaya menjadi dirinya sendiri dalam proses konseling.
Untuk itu, ia dapat mengunakan hubungan untuk mengajar
para konseli bagaima berinteraksi dengan orang lain dalam hidup mereka.
Transferensi merupakan cara konselor dan konseli menghindar untuk menjadi diri
mereka sendiri dan memiliki apa yang dikerjakan saat ini. Hal tersebut tidak
realistis bagi konselor untuk menjadi orang lain dan bukan menjadi dirinya
sendiri.
3)
Penekanan
konseling pada saat sekarang
Beberapa
konseli datang ke konseling yakin bahwa masalahnya berawal dari masa lalu dan
mereka harus merevisi masa lalu tersebut agar mereka dapat terbantu melalui
konseling. Glasser menyakini bahwa kita adalah produk dari masa lalu tetapi
kita bukan korban masa lalu kecuali kita memilih untuk menjadi korban masa lalu
tersebut. Glasser tidak menyetujui pandangan bahwa kita harus memahami dan
merevisi masa lalu agar dapat berfungsi dengan baik saat ini. Menurutnya,
kesalahan apapun yang dibuat pada masa lalu tidaklah berhubungan dengan masa
sekarang. Kita dapat memuaskan kebutuhan kita pada saat sekarang.
Walaupun demikian konseling realita tidak menolak
sepenuhnya masa lalu. Jika konseli ingin bicara tentang keberhasilan masa
lalunya atau hubungan yang baik pada masa lalu, konselor akan mendengarkan
karena hal tersebut mungkin diulang pada masa sekarang. Konselor akan
mengunakan waktu hanya secukupnya bagi kegagalan masa lalu konseli untuk
menyakinkan para konseli bahwa konselor tidak menolajk mereka.
4)
Penghindaran
dari pemusatan perilaku bermasalah
Pemusatan
pada gejala-gejala perilaku bermasalah akan melindungi konseli dari kenyataan
hubungan saat ini yang tidak memuaskan. Oleh kerena itu konselor realita
meluangkan waktu sesedikit mungkin terhadap gejala-gejala perilaku bermasalah
tersebut karena hal tersebut hanya berlangsung selama gejala-gejala tersebut
diperlukan untuk menangani hubungan yang tidak memuaskan atau ketidakpuasan
pemenuhan kebutuhan dasar.
5)
Penentangan pandangan tradisional tentang penyakit mental
Konselor
realita menolak pandangan tradisional bahwa orang yang memiliki gejala masalah
fisik dan psikologis adalah orang sakit secara mental. Glasser memperingatkan
orang-orang untuk berhati-hati terhadap psikiatri yang dapat membahayakan bagi
kesehatan fisik dan mental. Disamping itu, ia mengkritik penetapan psikiatrik
yang banyak bersandar pada klasifikasi dan statistik ganguan mental untuk
diagnosis dan pemberian bantuanya.
H.
PERAN
KONSELOR
Konselor berperan sebagai:
1.
Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a)
menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang
ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan
sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam
ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
2.
Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan
terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan
objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
3.
Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan
kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan
memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya
akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
4.
Guru; yang berusaha mendidik konseli agar
memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
5.
Pengikat janji (contractor); artinya peranan
konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup
kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Sedangkan konseli dalam konseling
realita adalah konseli yang:
1.
Memusatkan pada tingkah laku
2.
Membuat dan menyepakati rencana
3.
Mengevaluasi tingkah laku sendiri
4.
Belajar kecanduan positif
I.
PROSEDUR
KONSELING
Konseling realita dapat menjadi
pandangan hidup (way of life) bagi
beberapa orang. Ivey, mengatakan bahwa setiap sesi konseling dan terjadi dimana
saja. Ivey juga membagi konseling menjadi 4 fase, yaitu:
a.
Fase 1: Keterlibatan (Involvement)
Glasser
menekankan pentingnya konselor untuk mengkomunikasikan perhatian kepada
konseli. Perhatian tersebut diwujudkan dalam bentuk kehangatan hubungan,
penerimaan, penghayatan, dan pemahaman terhadap konseli. Salah satu cara
terbaik untuk menunjukan perhatian konselor terhadap konseli tersebut sepenuh
hati. Di samping itu, untuk mempercepat komunikasi antara konselor dan konseli
ialah penggunaan topik netral pada awal pertemuan, khususnya yang berkaitan
dengan kelebihan konseli.
b.
Fase 2: Pemusatan pada Tingkah Laku saat Sekarang, bukan pada Perasaan (Focus
on Present Behavior rather than on Feeling)
Pemusatan
pada tingkah laku saat sekarang bertujuan untuk membantu konseli agar sadar
terhadap apa yang dilakukan yang menjadikannya mengalami perasaan atau masalah
seperti yang dirasakan atau dialami saat sekarang. Glasser menyadari bahwa
tingkah laku manusia itu terdiri atas apa yang ia lakukan, pikirkan, rasakan,
dan alami secara fisiologis. Keempatnya berkaitan, namun Glasser lebih
menekankan pada apa yang dilakukan daan dipikirkan individu daripada apa yang
dirasakan dan dialami secara fisiologis. Hali ini terjadi karena sukar bagi
kita untuk mengubah perasaan dan pengalaman fisiiologis seseorang tanpa
mengubah apa yang dilakukan dan dipikirkan terlebih dahulu.
c.
Fase 3: Belajar Kembali (Relearning)
Pertama,
Pertimbangan
Nilai (Value Judgment)
Konseli
perlu dibantu menilai kualitas apa yang dilakukannya dab menentukan aapakah
tingkah laku tersebut bertanggung jawab atau tidak. Maksudnya, setelah konseli
menyadaru tingkah lakunya yang menyebabkan ia mengalami masalah seperti yang
dihadapinya sekarang, kemudian ia hendaknya dibantu oleh konselor untuk menlai
apakah yang dilakukan itu dapat mencapai tujuan hidupnya dab memenuhi kebutuhan
dasarnya. Tanpa adanya kesadaran konseli mengenai ketidakefektivan tingkah
lakunya dalam mencapai tujuan hidupnya maka tidak mungkin ada perubahan pada
diri konseli tersebut.
Kedua,
Perencanaan
Tingkah Laku yang Bertanggung Jawab (Planning Responsible Behavior)
Konselor
bersama-sama dengan konseli membuat rencaana tindakan efektif yang akan
mengubah tingkah laku yang tidak bertanggung jawab kearah tingkah laku yang
bertanggungjawab sehingga konseli tersebut dappat mencapai tujuan yang
diharapkan. Rencana tindakan yang efektif berupa rencana yang sederhana, dapat
dicapai, terukur, segera, dan terkendali oleh konseli.
Ketiga,
Kesepakatan
(Commitment)
Glasser
yakin bahwa suatu rencana akan bermanfaat jika konseli membuat suatu komitmen
khusus untuk melaksanakan rencana yang telah disususnnya atau dibuatnya.
Komitmen tersebut dapat dibuat secara lisab dan/ atau secara tulisan.
d.
Fase 4: Evaluasi
Tiada
kata Ampunan (No-Excuse)
Karena
tidak semua rencana dapat berhasil, maka konselor tidak perlu mengeksplorasi
alasan-alasan mengapa konseli gagal dalam melakukan rencana yang dibuatnya. Oleh
karena itu, konselor
memusatkan perhatian pada pengembangan rencana baru yang
lebih cocok pada konseli untuk mencapai tujuan.
Membatasi
Hukuman (Eliminate Punishment)
Konselor yang berorientasi konseling realita tidak akan
memberikan hukuman pada konseli yang gagal melaksanakan rencananya sebab
hukuman tidak akan mengubah tingkah laku melainkan akan memperkuat identitas
gagal konseli. Glasser menekankan pentingnya konselor
memberikan kesempatan bagi konseli untuk mengalami kosekuensi alamiah atau
akibat logis dari kegagalannya. Untuk itu, konselor mendorong konseli untuk
bertangung jawab atas rencananya sendiri
J.
TEKNIK
KONSELING
a.
Terlibat
dalam permainan peran dengan konseli
b.
Menggunakan humor
c.
Mengkonfrontasikan
tingkah laku konseli yang tidak relistis
d.
Membantu
konseli dalam merumuskan rencana-rencana perubahan yang spesifik
bagi tindakan
e.
Bertindak sebagai model dan guru
f.
Menentukan
batas-batas dan struktur konseling yang pas
g.
Menggunakan
“verbal shock”/terapi kejutan verbal
atau sarkasme yang tepat untuk menentang konseli
dengan tingkahlakunya yang tidak realistis
h.
Melibatkan
diri dengan konseli dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif
i.
Tidak
menerima alasan-alasan tingak laku yang
tidak bertangung jawab
j.
Memberikan
pekerjaan rumah untuk dilaksanakan konseli pada waktu antara pertemuan satu
dengan pertemuan lainya
k.
Membuat
kesepakatan sebagai kontrak antara konselor dan konseli
K.
STRATEGI
WDEP
Wubbolding
sebagai seorang juru bicara terkemuka konseling realita mengemukakan prosedur
konseling realita dengan sistem WDEP. Sistem tersebut terdiri atas empat tahap yaitu:
a.
What (keinginan)
W
berarti keinginan, kebutuhan, dan perserpsi konseli. Pada tahap W, konselor
mengidentifikasi apa yang diinginkan konseli dalam kehidupan dengan mengajukan
pertanyaan seperti “Apa yang kamu inginkan?”(dari belajar, keluarga,
teman-teman, dan lain-lain).
b.
Doing
(melakukan)
D
berarti apa yang dilakukan konseli dan arah yang dipilih dalam hidupnya. Pada
tahap tersebut, konselor membantu konseli mengidentifikaasi apa yang
dilakukannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan dengan mengajukan pertanyaan
antara lain ”Apa yang kamu lakukan?” dan mengidentifikasi arah hidupnya dengan
mengajukan pertanyaan “Jika kamu terus menerus melakukan apa yang kamu lakukan
sekarang, akan kemana kira-kira arah hidupmu?”
c.
Evaluating (penilaian)
E
berarti melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan akhir-akhir ini. Pada
tahap ini, konselor membantu konseli melakukan penilaian diri untuk menentukan
keefektivan apa yang dilakukan bagi pencapaian kebutuhannya. Untuk itu, konselor dapat
menggunakan pertanyaan antara lain “Apakah yang kamu lakukan akhir-akhir ini
dapat membantumu memenuhi keinginanmu?”
d.
Planning (merencanakan)
P
berarti membuat rencana perubahan perilaku. Pada tahap ini, konselor membantu
konseli merencanakan pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab bagi
pencapaian kebutuhannya. Perencanaan dibuat berdasarkan hasil evaluasi perilaku
pada tahap sebelumnya. Dalam tahap tersebut, konselor dapat mengajukan
pertanyaan misalnya, “Apa yang akan kamu lakukan agar dapat memenuhi
keinginanmu?”. Agar
rencana tersebut efektif maka perencanaan tindakan yang dibuat berupa rencana
yang sederhana, dapat dicapai, terukur, segera, dan terkendali oleh konseli.
No comments:
Post a Comment